Fionn
Suasana rumah sudah kembali seperti kuburan ketika gue kembali. Fxck. Mungkin memang kata itulah yang cocok untuk menggambarkan situasi di dalam bangunan ini. Kuburan.
Tempat orang-orang mengubur apa yang pernah hidup.
Yep. That's it.
Di sinilah keluguan gue soal hidup terkubur. Orang-orang yang membangun rumah inilah yang meruntuhkan ilusi yang gue punya sebelumnya soal keluarga. Orang tua gue sendirilah yang menjadi dalang dari semua kebobrokan moral yang gue punya.
Bagaimana gue akan menjadi seseorang yang bermoral sementara orang-orang yang seharusnya menjadi contoh buat gue saja moralnya pada minus begitu?
Pikiran gue terus saja berkeliaran ke mana-mana ketika gue berjalan ke arah dapur. You know, dapur yang ada hanya sebagai pajangan saja karena tidak pernah ada yang benar-benar memasak di sini. Dan gue pun mengunjungi tempat ini entah berapa kali dalam seminggu. Itu pun kalau gue sedang ingin menyusahkan diri gue sendiri untuk mengambil sesuatu yang padahal bisa gue dapatkan dari dalam kamar. Boleh jadi sesuatu yang ada di dalam lemari pendingin di sana ataupun bisa gue pesan lewat interkom.
Easy peasy.
Namun, tidak sekarang. Entah kenapa gue melangkah ke dapur ini.
"Selamat malam, Tuan Muda."
Shxt. Gue agak terkejut tatkala mendengar suara itu. Ketika gue menoleh, tahu-tahu Bi Sumi sudah berdiri di belakang gue. Kapan dia muncul di sana? Kenapa dia tidak menimbulkan suara saat bergerak? "Malam, Bi," jawab gue setelah berdeham. Gue kembali melanjutkan langkah menuju kulkas.
"Tuan Muda ternyata belum tidur, ya? Atau, apakah Anda baru saja datang? Ada yang bisa Bibi bantu, Tuan? Mau Bibi buatkan makan malam? Apakah yang Tuan Muda inginkan?" berondong wanita lanjut usia yang sudah menjadi kepala pelayan di Casa de Haas jauh sebelum gue lahir.
Gue tidak perlu mempertimbangkan tawaran dari Bi Sumi karena gue tidak sedang ingin makan apa pun. Gue hanya ingin melanjutkan tidur gue yang terganggu oleh Aldi.
Si Dipshxt benar-benar tidak bisa tidur dengan tenang. I guess kedua kembaran itu sama-sama tidak bisa membiarkan gue beristirahat sedikit pun jika gue berada di dekat mereka.
"Gak usah, Bi. Thanks. Saya cuma mau ngambil minum doang." Gue menunjukkan botol air mineral yang baru saja gue ambil.
"Oh?" resah Bi Sumi. "Apakah persediaan di dalam lemari pendingin di kamar Tuan Muda sudah habis? Apakah ada yang Tuan perlukan lagi? Silakan buatkan saja list-nya, Tuan Muda. Dan tolong tinggalkan di atas nakas. Saya akan minta salah seorang pelayan untuk membelikannya besok."
How nice, huh? Ada para pelayan yang selalu bersiap siaga untuk memenuhi semua kebutuhan gue. Ada kepala pelayan yang menanyakan apa keinginan gue. Berani-beraninya gue mengharapkan sesuatu dari orang tua gue sementara mereka sudah membayar orang untuk melakukan tugas mereka itu, kan?
How dare I? Dasar anak tidak tahu terima kasih!
Well ....
"Oke." Gue menjawab sekenanya menyadari dengan sepenuhnya bahwa besok pagi tidak akan ada list apa-apa yang gue tulis dan gue tinggalkan di atas nakas.
Setelah itu gue berbalik. Bi Sumi menunduk dan mengucapkan selamat malam. Ucapan dia hanya gue balas dengan lambaian tangan. Buat apa? Toh, gue tidak akan selamat dari malam ini.
Gue daki tangga besar yang mengimbangi besarnya rumah ini. Kenapa coba mereka capek-capek membangun rumah sebesar ini? Kenapa coba harus membuang-buang uang hanya demi pengakuan orang lain semata?
Fxck them all. Yang ada hal-hal berlebihan ini malah mengundang lintah-lintah drakula dan golddigger seperti laron yang mengerubungi cahaya lampu di malam hari.
Namun, percuma saja gue menyayangkan sikap dan keputusan mereka karena nyatanya itulah yang mereka kehendaki. Ketenaran. Menjadi perbincangan banyak orang. Pemujaan. Hal yang paling Arnold Pierre Haas dan Monalisa Haas sukai yaitu melihat dari ujung hidung mereka kepada orang-orang dengan keadaan ekonomi lebih rendah dari mereka.
Dan itu secara harfiah adalah semua orang di kota ini.
Fxck. I hate how shallow my parents are.
****
"Bro, lo udah lihat belum?" Hamish menodongkan pertanyaan itu ke gue bahkan sebelum gue sempat benar-benar ke luar dari mobil.
Gue tidak segera menjawab pertanyaan dia karena kalau dia betul-betul ingin tahu, dia akan menunggu. Biarkan dia menunggu. Gue sedang tidak terlalu mood untuk meladeni kecerewetan teman gue yang satu ini.
Setelah gue mengambil tas yang tadi gue lempar ke bangku penumpang, gue mengunci mobil menggunakan key fob dan berjalan menuju ke lobi gedung utama SMA Taruna Nusantara tanpa mengambil pusing soal Hamish. Dia pasti akan mengekor langkah gue.
Betul saja. Tak lama kemudian si Hamish sudah berjalan di samping gue. Kakinya yang lebih pendek mencoba menyesuaikan langkah dengan lebih cepat. "Bro, lo udah lihat belum?"
Sudut bibir gue tersungging sedikit. Gue tidak habis pikir dengan sikap putus asa yang dia miliki. Kenapa ada orang se-desperate dia, sih? Sungguh menyedihkan.
"Lo udah lihat pengumuman soal pemilihan ketua OSIS?"
Hal itu menangkap perhatian gue. Gue menghentikan langkah. "Ketua OSIS?"
"Iya." Cowok yang memiliki potongan rambut shaggy itu mengangguk-angguk, membuat rambut panjangnya ikut bergoyang-goyang. "Pengumumannya ada di mading, tuh. Gue rasa di majalah online sekolah juga udah di-post."
"Hm." Gue serta-merta mengeluarkan ponsel dari saku celana dan langsung masuk ke laman majalah online sekolah. And there it is. Pengumuman pendaftaran calon Ketua OSIS SMA Taruna Nusantara tahun pelajaran ini.
Interesting.
"Anak-anak yang lain udah datang belum?" Gue pada akhirnya menoleh ke arah si Hamish.
"Udah, pada ada di loker mereka."
Tanpa banyak bicara, gue kembali berjalan ke deretan loker-loker siswa yang ada di ujung koridor depan.
"Woi, man. Kapan pulangnya lo? Pas gue bangu tahu-tahu lo udah gak ada," sapa Aldi yang sedang bersandar pada lemari besi itu.
Gue hanya mengedikkan bahu. Gue malas banyak bicara. Lagipula gue tidak berutang penjelasan apa pun pada si Dipshxt ini.
"Eh, kalian udah baca pengumuman yang baru?" Hamish mengulang kalimatnya lagi, meski kali ini dengan penonton yang lebih banyak.
Mario mengangguk. "Soal pendaftaran calon ketua OSIS, kan?"
"He-eh." Si Gondrong Menyedihkan itu menggoyangkan kepalanya ke atas dan ke bawah.
"Bodo amat lah, gue gak tertarik," tukas Aldi. "Ketua OSIS apaan? Cuma bikin capek doang."
"Yeaah," beo Hamish.
"Yee. Itu, sih, menurut elo yang mageran. Kalau menurut gue, gak ada salahnya dicoba. Ini, kan, tahun terakhir kita di sekolah. Hitung-hitung buat seru-seruan sebelum tamat. Ya, gak, ya?" Mario membagi his two cents.
"Ha! Benar juga kata lo." Hamish kembali menyatakan persetujuannya terhadap pendapat Mario yang sama sekali berbeda dengan pendapat Aldi yang juga disetujuinya sebentar ini.
Fxcking hell. Kenapa gue bisa berakhir dengan orang yang tidak berpendirian seperti dia? How pathetic.
Gue memperhatikan ekspresi ketiga teman gue itu. Aldi si Dipshxt tidak mempedulikan pendapat Mario. Mario juga tidak peduli dengan sikap tidak acuhnya Aldi. Sedangkan Hamish tetap true to his pathetic and desperate self.
"Gue mau nyalonin diri."
Semua mata tiba-tiba saja tertuju ke arah gue.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Ocean Eyes 😍
nyalon jadi ketua OSIS modal populer doang lo 😏
2023-02-07
0
Yuyu
nyalon dong wkwk
2023-02-05
0
Yuyu
mau nyalon apa nyalon niiiih
2023-02-05
0