Kimaya
"Maya, kamu sudah pulang?" Terdengar suara lemah dari dalam kamar utama.
Aku mengembuskan napas dengan pelan. Setelah memastikan pintu depan terkunci rapat, aku segera menuju ke sana. Dari pintu yang terbuka, selalu terbuka, tampak tubuh ibu terbaring di ranjang.
Ibu.
Ibuku.
Apakah benar dia adalah ibuku?
Aku ragu karena ... wanita yang terbaring si aats tempat tidur orang tuaku itu tidak terlihat seperti Ibu. Ibuku tidak kurus, badannya padat berisi. Wajahnya memang tirus, akan tetapi bukan tanpa daging seperti ini. Kulitnya kuning langsat, bukan putih pucat. Banyak yang salah dari penampilan wanita yang ada di atas tempat tidur orang tuaku itu.
Meskipun begitu, dia adalah ibuku. Ibu yang sudah melawan serangan penyakit menahun yang dideritanya. Ibu yang masih berjuang melawan sel-sel kanker yang bersikeras mengambil alih hidupnya. Ibu yang ... setelah menjalani dua kali 6 siklus kemoterapi dan satu kali pembedahan Mastektomi kini memilih untuk menunggu.
Menunggu siapa yang akan datang terlebih dahulu; apakah ajal atau keajaiban untuk sembuh.
I hate that.
"Hai, Sayang. Kamu sudah pulang?" Ibu mengulang pertanyaan yang sama saat aku tidak menjawab pertanyaannya di saat kali pertama.
Well, mau dijawab apa lagi? Dia sudah melihat aku bersiri di depannya. Dia sudah bertanya langsung kepadaku. Otomatis keberadaanku menjadi jawaban dari pertanyaannya sendiri, kan?
I hate this thought. Kuhapus segera pemikiran jahat itu dari dalam kepala.
Aku kemudian menempelkan sebuah senyum secukupnya ke arah Ibu. Sambil terus berjalan mendekat padanya, aku menjawab, "Udah, Bu."
"Ayahmu mana?" Ibu berusaha mengangkat kepalanya untuk menengok ke arah luar kamar. Kepala yang ditutup dengan scarf itu pun terangkat meski sedikit.
Itulah cerminan bagaimana lemahnya Ibu.
Itulah kenapa aku masih tidak terima kalau sosok yang terbaring lemah di atas tempat tidur orang tuaku ini adalah ibuku.
Sekali lagi aku memaksa bibirku untuk membentuk sesuatu yang terlihat seperti sebuah senyuman. "Ayah masih di sekolah, Bu. Ada rapat."
Mendengar jawabanku, Ibu mendesah. "Aaah. Iya. Ini hari pertama sekolah, ya? Ibu lupa."
Suara Ibu benar-benar terdengar seperti embusan angin. Karena, memang begitulah adanya. Saat Ibu berbicara, yang sebagian besar ke luar dari tenggorokannya adalah udara. Sedangkan sisa-sisanya hanyalah berupa bunyi yang bisa diproduksi oleh pita suara yang sudah lusuh dihantam obat dan pengobatan lain.
Itu sangat menakutkan. Ibu terdengar seperti makhluk dari dunia lain. Ibu terdengar seperti hantu.
Walaupun pikiranku berkata lain, aku tetap berusaha untuk menjaga senyum di wajahku. Meskipun aku betul-betul berang dengan kenyataan yang keluarga kami hadapi sekarang, aku tetap berusaha untuk nampak ikhlas dan menerima di depan Ibu.
Marah-marah begini, aku masih sangat mencintai ibuku. Sangat, sangat, sangat cinta Ibu.
Lagi-lagi aku memberikan senyum padanya. "Gak apa-apa, Bu," kataku sembari duduk di kursi plastik yang sengaja diletakkan Ayah di dekat kasur. "Ibu sudah makan?"
"Sudah."
"Banyak?"
"Lumayan."
"Oke." Aku mengangguk. Kusurukkan helaan dan embusan napas di balik senyum. Aku tahu, Ayah tahu, kami semua tahu apa arti kata lumayan itu bagi Ibu.
Lumayan adalah ketika perut Ibu tidak bisa menerima makanan yang dimasukkan ke sana. Lumayan adalah ketika Ibu susah menelan. Lumayan adalah ketika Ibu hampir tidak makan sama sekali.
Aku harus membicarakan ini dengan Ayah dan Bu Pika, caregiver yang menemani Ibu di rumah ketika kami berada di sekolah. Sepertinya sudah datang waktu untuk mengganti makanan Ibu dengan liquid.
Damn. Aku sadar aku terdengar sok tahu sebentar ini. Namun, itulah aku. Sok tahu.
Tidak bisa diam.
Harus segera menemukan pemecahan masalah.
Tidak sabaran.
Apa yang bisa kuperbuat?
"Kalau tidak sama Ayah, berarti kamu tadi pulang naik angkot, ya?" Ibu bertanya lagi. Mencari bahan agar percakapan tetap terjadi.
Aku rasa aku bisa paham dengan sikap Ibu itu. Sudah seharian dia sendiri di sini. Meski ada BunPika yang menemani, tentu rasa dan bahan percakapannya tidak sama. Dengan Bu Pika, topik pembahasan mereka akan berputar di sekitar cerita sinetron India yang tayang di televisi Indonesia hingga beribu-ribu episode tersebut. Hal yang tidak akan pernah Ibu alami jika sedang bersamaku ataupun Ayah.
"Iya, Bu." Aku menyahut. "Dan sebelum Ibu bertanya lagi, iya, maaih. Ongkosnya masih sama dengan semester kemarin. Lima ribu rupiah."
Ibu seketika tergelak tanpa mengeluarkan suara. Bukannya tak ingin, akan tetapi lebih kepada tak mampu. Untuk berbicara saja sudah susah, apalagi untuk tertawa.
Tidak lama gelak Ibu berubah menjadi helaan napas yang yang tersendat-sendat diselingi batuk-batuk kecil.
Aku segera mencondongkan tubuh ke depan. Kugenggam tangan yang tinggal kulit pembungkus tulang itu, kuremas pelan untuk memberi tahu Ibu bahwa aku ada di sampingnya. Kutunggu hingga Ibu bisa menguasai jalan napasnya lagi.
Setelah itu, kusodorkan gelas berisi air putih. Ibu menyesap airnya melalui pipet. Semua gerakan dilakukan dengan sangat, sangat, sangat lambat.
Shxt. Bola mataku rasanya mulai memanas.
Aku berdeham untuk membersihkan tenggorokan dari rasa-rasa yang mengumbat. "Hm. Bu. Maya mau ke kamar dulu, ya? Ganti baju sekalian mau mengerjakan pe-er."
"Oh?" lirih Ibu dengan sedikit rasa terkejut sebagai campurannya. Dari mata yang sudah mulai kehilangan sinar itu bisa kulihat gurat-gurat kecewa. "Oke. Oke." Ibu menambahkan di kalakian.
Tidak secara kebetulan aku tidak mengakui aci apa yang kulihat di sana. Tidak secara kebetulan aku tidak menghiraukannya. Aku memilih bersikap seperti itu karena ... aku tidak mau membebani Ibu dengan perasaanku sendiri. Aku tidak mau menjadikan keadaan yang dialami Ibu sebagai sesuatu soal aku. Aku tidak tidak akan bersikap seegois itu.
Kukecup kening Ibu dengan lembut sebelum berdiri dan berbalik. Kuberikan kekuatan ekstra pada setiap langkah yang kuambil. Aku tidak ingin Ibu melihatku goyah.
Di dapur, aku mendapati Bu Pika sedang hanyut dalam suatu bacaan di layar ponselnya. Aku tahu wanita paruh baya itu sedang asyik membaca dari ekspresi serius di wajahnya. Juga kacamata baca yang tertonggok di pangkal hidung.
"Hai, Bu Pik," sapaku menggunakan nama panggilan yang kuberikan khusus pada wanita itu.
"Hai, Maya." Dia menyahut sembari menanggalkan lensa pembantu dari depan matanya itu. "Gimana kabar ibumu?"
Pertanyaan standar setelah aku mengunjungi Ibu. "Dia ... baik, aku rasa," jawabku sambil mengedikkan bahu.
Bu Pika menghadiahiku sebuah senyum penuh iba.
Aku benci senyum itu.
Dia lalu mengulurkan tangannya, menjangkau tanganku yang kuletakkan di atas counter dapur, dan mendaratkan beberapa kali tepukan kecil penuh simpati di sana.
Aku benci tepukan itu.
Kuberi Bu Pika senyuman yang sama dengan yang kuberikan pada Ibu tadi. Kutarik tanganku dari atas meja. Kemudian aku berdiri dan berpamitan menggunakan kalimat yang sama pula.
Aku benci hidup seperti ini.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Lakuna 21
duh dari jijik di bab sebelumnya jadi sedih ginii
mengaduk.emosi banget sih
2023-02-09
3
Black Rose
kenapa emaknya harus sakit sih
2023-02-07
0
Ocean Eyes 😍
oh noooooo
2023-02-07
0