Fionn
Seketika saja si seksi Cheri melesat sepanjang driveway Casa de Haas dan menikung ke kanan untuk masuk ke jalanan. Mendekati gerbang masuk ke gated community tempat gue tinggal, gue menelepon Aldi, salah satu dari sahabat gue di sekolah. Suara panggilan yang sedang disambungkan ke luar dari speaker mobil dan memenuhi kabin hypercar gue itu.
"Oi." Terdengar jawaban dari seberang sana. "What's up?"
"Yo, Di. Di mana lo?" Gue bertanya sambil mengendalikan setir dengan lebih hati-hati. Sekarang gue sudah berada di jalan raya. Tidak memungkinkan rasanya melesat saat kondisi lalu lintas ramai seperti ini.
"Gue? Gue lagi ada di rumah. Kenapa emang?" Dia memberi tahu. Nada bingung ada di dalam suaranya.
Pantas saja Aldi bingung. Gue tahu dia sudah ada di rumahnya karena gue yang mengantarkan that jackxss itu pulang. "Good, good. Gue udah on the way ke rumah lo, nih!" Gue memelankan mobil karena lampu lalu lintas di depan sana baru saja berubah merah.
Beberapa saat berlalu dalam diam sebelum dia bersenandung. "Ooooh, trouble in paradise, huh?" Aldi mencemooh. Di antara sekian banyak yang gue anggap teman, hanya dia satu-satunya yang gue biarkan untuk tahu bagaimana kondisi rumah gue yang sebenarnya. Kalau tidak, gue mau lari ke mana lagi, coba?
"Paradise, my xss. There's no such place like a fxcking paradise," rutuk gue dengan rahang terkatup. Dan gue pun bukan asal merutuk. Gue yakin bahwa tidak ada tempat semacam surga di atas bumi ini. Gue bahkan tidak yakin kalau surga itu benar-benar ada. Siapa tahu dia hanya dibuat untuk menjadi bahan dongengan untuk anak kecil saja, kan?
Siapa tahuuu.
Siapa tahuuu.
Si Dipshxt malah tertawa.
Benar-benar seorang dipshxt teman gue yang satu ini.
"Chill out, ma men. Chill out. Siapa, sih, yang udah piss on your Cheerios? Hah?" godanya lagi.
Saat ini gue betul-betul tergoda untuk melemparkan umpatan bokap gue tadi kepada Aldi. Namun, jika gue melakukan itu, berarti gue sama tidak kreatifnya dengan mereka, dong.
So, dengan misi untuk menjadi lebih dari mereka, agar gue tidak disamakan dengan mereka karena gue tidak mau, gue hadiahkan saja kata yang lain untuk dia. "Arschloch!"
Kali ini kakahannya yerydengar nyaring melalui speaker. Sepertinya dia senang sekali gue panggil dengan sebutan xsshole.
Dasar Dipshxt.
"Oke, oke, oke. Gue ada di rumah. You know that. Langsung masuk aja kalau lo udah sampai. Gue lagi main, nih. Udah pewe. Malas ke luar."
"Copy that. Bye." Tanpa basa-basi gue matikan sambungan telepon kami.
Gue tahu Aldi dan gue cocok karena kami sama-sama dipshxt.
****
"Hai, Fionn."
Langkah gue terhenti ketika mendengar suara lembut itu. Dari balik tonggak besar yang menopang atap teras rumah keluarga Simatupang muncul seorang gadis berkulit putih mulus, berkaki jenjang, dan bertubuh tinggi. Dia berdiri di sana, sengaja berkacak pinggang dengan sebelah tangan gue yakin karena ingin memamerkan lekukan tubuhnya yang ada di tempat-tempat yang penting. Sast tangan kanannya terparkir di pinggang, jari telunjuk tangan kirinya sibuk menggulung ujung rambut yang dikuncir kuda tinggi di atas kepala.
Lekuk tubuh dan rambut pirang kuning jagung buatan salon yang sudah begitu familier bagi tangan gue.
Gadis itu mulai berjalan melenggak-lenggok dengan menggunakan telapak kaki bagian depannya, satu trik yang gue perhatikan sering dilakukan oleh wanita-wanita untuk meningkatkan bentuk bokong mereka. Langkah diseret secara perlahan dengan harapan lawan jenis melihatnya sebagai sesuatu yang seksi dan menggoda.
Kenapa, sih, cewek-cewek tipe begini itu terlalu mudah ditebak? Kenapa mereka selalu menggunakan jurus yang sama dan berharap diberi label anti-mainstream?
Fiuh. Satu lagi hal yang gue rasa sangat, sangat, sangat membosankan.
Namun, gue tidak boleh membiarkan cewek di depan gue ini sampai tahu apa yang sebenarnya ada di dalam kepala gue. Kalau tidak, bisa berabe urusannya.
Gadis itu kini sudah ada di hadapan gue, tubuhnya melekat ke tubuh bagian depan gue. Bau parfum yang menyengat seketika menyekap indra penciuman. Gue yakin gue akan mual-mual jikalau gue tidak pandai-pandai mengambil napas melalui mulut.
Ujung kuku yang menjadi objek dan sumber mata pencaharian para pekerja nail art itu menggaruk otot pectoralis major gue dari atas baju kaus Henley yang gue pakai. Sentuhan dia membuat otot gue tersebut berkontraksi.
Itu cuma reaksi tubuh gue terhadap sentuhannya saja. Bukan berarti secara spesifik gue menyukai apa yang dia lakukan.
Buuut, hush hush! Sekali lagi gue bilang, gadis yang sekarang menempel pada gue seperti cicak ini tidak perlu tahu pendapat gue yang sebenarnya.
"Kamu kangen aku, ya?" bisik dia di dekat telinga gue. Dia sengaja membuat bibirnya menyentuh daun telingga gue ketika dia berbicara.
Come oooon. She couldn't be more obvious than this.
Gue serta-merta memasang senyum yang paling gue banggakan dan mengangguk. "Hu-uh," gumam gue sebaik yang gue bisa dengan hidung yang masih bekerja keras untuk memblokir udara yang membawa baunya masuk.
"Masa, sih, udah kangen aja sama aku? Kita, kan, baru ketemuan tadi di sekolah. Atau jangan-jangan kamu ...." Dia sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya dan mengganti bagian kalimat yang hilang dengan sunggingan nakal di bibir yang sudah mendapatkan filler itu.
Fxck. Gue benar-benar benci dengan tipikal cewek yang murah meriah begini. Mudah ditebak. Mudah cara mendapatkannya. Asal lo punya harta dan tahta, lo bisa mendapatkan dia dengan sekali lirik saja.
Namun, ada kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Kalau tidak ada cewek-cewek seperti dia di dunia ini, maka cowok-cowok berengsxk seperti gue akan kelimpungan. Bagaimana tidak? Siapa lagi yang akan memenuhi kebutuhan kami tanpa diperjuangkan terlebih dahulu? Bagaimana cara kami mencari makan untuk ego kami kalau mereka yang hobi "bersedekah" ini sirna dari muka bumi?
Oleh karena itu gue terpaksa mengikuti permainan dia. "Yeah." Gue mencondongkan tubuh gue ke depan, memposisikan bibir gue di dekat telinga dia, dan balik berbisik, "Jangan-jangan gue ...."
Kurang lebih gue melakukan apa yang dia lakukan.
Si gadis, sesuai dengan perhitungan gue, terkikik genit dan memukul dada gue dengan tidak kalah ganjennya. Dia menutup bibirnya yang tengah mengeluarkan tawa dengan telapak tangan. Kemudian dia memukul dada gue lagi. "Ah, kamu ini bisa aja. Iiiih."
Yeah. Iiih. Gue mencegat tangan itu sebelum sekali lagi meng-abuse tubuh gue. Gerakan itu gue lakukan masih dengan edisi flirting yang penuh kepura-puraan. "Gimana kalau ini tangan berhenti mukul aku biar dia bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih bisa dinikmati, hm?"
Mata dia seketika membesar. Gue kagum dengan effort yang dikeluarkan oleh gadis ini untuk terlihat imut sekaligus hot, seksi dan dalam waktu yang bersamaan terkesan innocent. Namun, akhirnya tetap percuma saja. We all knows that this girl has no innocent bone in her entire body.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Lakuna 21
gitu amat jadi cewek blueeek
2023-02-09
1
Ocean Eyes 😍
ceweknyaaa 🤮🤮🤮
2023-02-07
0
Yuyu
iiih ceweknya siapa sih? kok sikapnya gitu?
2023-02-02
0