Pertengkaran Di Pagi Hari

Sepanjang sarapan paginya, Anesha memilih diam. Sungguh, kenyataan jika pagi ini Kania sudah pulang kerumahnya membuat Anesha kesal.

Harusnya hari ini sang ayah bisa bergantian mengantarnya ke sekolah, namun nyatanya Ayahnya lagi-lagi lebih memilih mengantar sang keponakan di bandingkan putrinya sendiri.

"Pakde, Kania minta uang boleh?" tanya Kania di sela-sela sarapan pagi mereka.

"Uang untuk apa? Bukannya kemarin Pakdemu sudah memberikan kamu uang dua ratus ribu?" Kali ini bukan Ayah yang menjawab, melainkan Naumi, sang ibu.

Wanita paruh baya itu nampak kesal saat lagi-lagi keponakannya meminta uang pada sang suami. Padahal baru semalam suaminya mengatakan jika telah memberi uang untuk keponakannya itu.

"Kemarinkan udah buat jajan sama beli kuota Bude," jawab Kania. Wajahnya nampak sedih, sebuah ekspresi yang sama seperti biasanya saat gadis itu meminta uang jajan. Dan biasanya Ayahnya akan selalu memberi berapapun yang gadis itu minta tanpa banyak bertanya.

"Ini buat jajan. Di hemat ya."

Sesuai dugaan Anesha, Ayahnya akan memberi apapun yang Kania minta. Padahal jika dirinya yang meminta, Ayahnya akan bertanya dulu dengan detail akan dipergunakan untuk apa uang yang Anesha minta.

"Yah, kenapa di kasih uang lagi." Ibu menyambar uang yang di ulurkan Ayah untuk Kania. Wanita dengan daser batik nan lusuh itu nampak marah sekaligus tak terima.

"Kamu apa-apaan sih Naumi. Itu uang untuk Kania. Kenapa kamu ambil?" tanya Ayah balik marah.

"Kamu itu terlalu memanjakan Kania Yah. Jadi dia gak bisa hemat. Bagaimana bisa uang dua ratus ribu habis dalam satu hari. Padahal jika untuk kebutuhan rumah, beli beras dan lauk, uang dua ratus ribu bisa cukup untuk kita berempat makan dua hari lebih."

Ibu makin emosi, saat Ayah hendak merebut uang seratus ribu di tangannya.

"Naumi." Sentak Ayah. Pria berusia kepala empat lebih itu nampak geram dengan tingkah sang istri. "Sini uangnya Naumi. Itu untuk Kania."

"Gak akan aku berikan!" balas Naumi dengan tegas.

"Apa hak mu. Itu uang hasil kerja kerasku mengantar pelanggan. Mau aku apakan uang itu, itu urusanku. Jadi kembalikan uang itu sekarang atau...."

"Atau apa?" tantang Naumi dengan suara mulai meninggi hingga semakin menyulut emosi sang suami.

"Kau!?" Ayah sudah mengangkat tangannya hendak menampar wanita yang dinikahinya belasan tahun lalu.

"Apa? Mau tampar aku? Tampar sini." Naumi kembali menantang dengan menepuk pipi kirinya berulang kali.

"Dasar kau istri tak...."

"Stop!" Anesha menggebrak meja sembari berteriak cukup kencang hingga berhasil menghentikan pertengkaran kedua orang tuanya.

"Kalian kenapa sih, tiap hari ribut terus. Bisa tidak sehari saja kalian berdamai. Anesha capek liat kalian kayak gini," ujar Anesha dengan suara bergetar menahan tangis.

"Diam kamu Nesha. Jangan ikut campur," sahut Ayah dengan menatap tajam putrinya yang kini mulai berani padanya.

"Ayah yang diam. Ayah sekarang udah gak kayak dulu lagi. Ayah jahat."

"Tutup mulutmu Nesha." Bentak Ayah dengan kedua mata melotot dan menatap tajam putrinya. "Jangan pernah ikut campur urusan Ayah kalau untuk makan saja kamu masih minta sama Ayah."

Brak

Anesha berdiri sembari mendorong kasar kursinya ke belakang hingga jatuh ke lantai. Lebih baik dia mengalah dan pergi dari sini dari pada terus beradu mulut dengan Ayahnya yang mungkin tak akan berakhir.

"Bu, Anesha berangkat sekolah dulu." Anesha hanya pamit pada Naumi. Lalu benar-benar pergi meninggalkan tempat itu setelah menatap tajam kearah Kania yang masih setia duduk di kursinya.

Marah dan benci. Itu yang Anesha rasakan saat melihat Kania. Gadis dengan tubuh tinggi itu benar-benar membuat rumahnya bak seperti neraka. Tak ada lagi ketenangan ataupun kedamaian seperti sebelum gadis menyebalkan itu datang.

Setelah beberapa ratus meter berjalan dari rumahnya, Anesha melihat sang ayah dan Kania melintas.

Tak ada sapaan, ataupun bunyi klakson sebagai tanda basa-basi. Mereka bedua lewat begitu saja seolah tak saling mengenal dengan Anesha.

Atau mungkin mereka tak melihat Anesha? Ah, rasanya itu mustahil, karena Anesha berjalan di trotoar tepat di sebelah motor ayahnya yang melintas.

Atau mngkin saja Ayahnya masih marah dengan kejadian beberapa saat yang lalu.

Tak mau terlalu memikirkan hal menyakitkan yang baru saja terjadi, Anesha memilih mempercepat langkahnya karena jika tidak, dia bisa terlambat tiba di sekolah.

...***...

"Assalamu'alaikum Bu." Anesha mengulurkan tangan lalu mencium punggung tangan ibunya.

Sepulang sekolah, gadis itu memilih mampir ke tempat jualan Ibunya. Anesha sendiri merasa aneh, karena hal ini tak pernah dirinya lalukan sebelum-sebelumnya. Apalagi saat pergi ke tempat jualan sang Ibu, Anesha harus melewati rumah mereka terlebih dahulu.

"Kok gak langsung pulang. Kenapa?" tanya Ibu heran, saat melihat putrinya masih memakai seragam sekolah lengkap dengan tas dan sepatunya.

"Cuma pengen mampir aja bu," jawab Anesha apa adanya.

"Mau ibu buatin es campur? Kamu pasti capek abis jalan dari sekolah," tawar Ibu yang kini terlihat fokus hendak meracik semangkuk es campur khusus untuk putrinya.

"Gak usah Bu," tolak Anesha. Dia tak mau untung jualan ibunya berkurang karena dia ikut menikmati es campurnya.

Walau sejujurnya Anesha juga sangat menginginkan minuman dingin nan menyegarkan itu, namun Anesha masih bisa tahan. Lagi pula disini juga ada air putih banyak yang bisa Anesha minum sepuasnya untuk menghilangkan rasa hausnya.

"Udah gak pa-pa. Kamu duduk disana aja. Biar Ibu bikinin."

Pada akhirnya Anesha menganggukan kepalanya. Lalu duduk di salah satu kursi plastik yang di ada di sana.

Ini kemarin tempat duduk Om baik. Anesha bergumam dalam hati saat mengingat tempat yang di dudukinya adalah kursi yang sama dengan pengunjung baiknya kemarin.

Aku harus sukses dan menghasilkan uang banyak, biar aku bisa kayak Om baik kemarin. Yang dengan mudahnya bisa memberikan uangnya pada orang-orang yang membutuhkan.

Tekat Anesha untuk sukses tumbuh semakin besar. Om baik hati kemarin benar-benar memotifasinya untuk hidup lebaik baik dan berguna untuk orang lain.

Kalau udah dewasa nanti, Aku ingin mempunyai suami seperti Om baik hati. Tampan, dermawan dan kaya raya. Uh, memang paket komplit.

"Anesha, kenapa senyum-senyum sendiri gitu Nak?" tanya Ibu yang datang dengan membawa semangkuk es campur untuk putrinya. "Ini di minum dulu, Ibu sengaja kasih es batunya yang banyak."

"Makasih bu." Anesha menatap mangkuk es campurnya dengan wajah berbinar. Ibunya memang sangat tahu jika dia menyukai es campur dengan es batu yang banyak.

"Ya udah abisin ya. Ibu mau cuci mangkok bekas pembeli dulu."

Anesha tersenyum dan menganggukan kepalanya sembari menatap sang ibu. Hingga akhirnya senyum itu langsung hilang saat pandangan matanya tak sengaja melihat sudut mata Ibunya yang lebam.

"Bu, luka apa ini? Apa Ayah mukul Ibu?"

Terpopuler

Comments

Tatik Tabayy

Tatik Tabayy

🥰😍💗

2023-03-19

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 65 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!