Anesha nampak kaget mendengar apa yang Ayahnya katakan. Kalau Kania belum makan, lalu siapa yang menghabiskan masakannya. Tak mungkinkan ada kucing masuk dan menggondol satu mangkok besar sayur asemnya.
Anesha sendiri yakin, bahkan sangat yakin kalau dirinya sudah memasak untuk makan malam mereka. Ini adalah hal rutin yang dia lakukan setiap pulang sekolah. Jadi tak mungkin Anesha melupakan hal sepenting ini.
"Kita tanya lagi pada Kania. Ibu pengen denger sendiri dia ngomong," putus Ibu sembari berjalan ke arah kamar Kania yang berada di ruangan paling belakang rumah ini.
"Percuma kamu ke kamarnya. Kania pergi." Ucapan Ayah membuat langkah Ibu terhenti. Ia berbalik dengan pandangan langsung tertuju pada suaminya.
"Dia sudah izin padaku untuk menginap di rumah temannya."
"Lagi?" tanya ibu tak percaya. Ini sudah kesekian kalinya Kania menginap di rumah temannya. Bahkan jika tak menginap, anak adik iparnya itu akan selalu pulang larut malam dengan alasan belajar kelompok.
"Memangnya kenapa kalau Kania nginep di rumah temannya?" tanya Ayah dengan kedua matanya yang sudah menatap tajam pada sang istri.
"Kania sudah terlalu sering menginap di rumah temannya. Ini sangat tidak baik," balas Ibu tak suka.
Bukan tanpa alasan Ibu mengatakan hal seperti ini. Karena beberapa hari yang lalu Anesha sempat mendengar sang Ibu di hina tetangga sebelah karena tak bisa menjaga keponakannya dengan baik, padahal orang tua Kania telah memberi amanat penuh untuk menjaga anak gadisnya.
"Ini semua salah kalian berdua." Maki ayah sembari menunjuk istri dan anaknya bergantian. "Kalau saja kalian berdua bisa bersikap baik pada gadis itu, dia tak akan mungkin memilih menginap di rumah temannya. Kalian berdualah yang membuatnya tak betah di rumah ini."
Setelah puas marah-marah pada istri dan anaknya, Ayah langsung masuk kedalam kamarnya dengan membanting pintu dengan cukup kencang bahkan sampai menimbulkan suara cukup keras.
Brak
Anesha dan Ibunya hanya bisa mengelus dada. Sejak kedatangan Kania di rumah ini enam bulan yang laku, Anesha merasa rumahnya bukan lagi tempat ternyaman.
Ayah dan Ibunya sering bersitegang. Hingga puncaknya bisa Anesha lihat tadi malam dan saat ini. Anesha merasa tak mengenali Ayahnya lagi. Pria paruh baya itu bukan lagi sosok lembut dan penyayang seperti yang dirinya kenal selama ini.
"Bu, kenapa dengan Ayah? Kenapa Ayah jadi suka marah-marah seperti ini?" tanya Anesha sedih. Dia merindukan sosok Ayahnya gang dulu. Ayah yang setiap pagi-pagi sekali sudah memanasi motor butut miliknya hanya demi bisa mengantar Anesha sekolah.
Sekarang? Jangan harap. Setelah kedatangan Kania di rumah ini, Anesha tak pernah lagi di antar sekolah oleh Ayahnya.
Pria paruh baya itu lebih memilih mengantar sang keponakan dari pada putrinya sendiri. Bahkan dengan tega meminta Anesha pergi ke aekolah dengan jalan kaki. Awalnya Ayahnya mengatakan jika dia harus mengalah karena Kania tak tau daerah sekitar sini. Ayahnya takut Kania tersesat.
Beberapa minggu setelahnya, Anesha mulai protes kenapa hanya dirinya yang berangkat sekolah denhan jalan kaki, sedangkan Kania terus di antar oleh Ayahnya. Padahal saat ini sekolah mereka sama, kenapa Kania tak jalan kaki bersamanya saja. Hingga akhirnya jawaban dari sang Ayah membuat Anesha malas untuk kembali protes.
Kasian Kania. Saat tinggal bersama orang tuanya dulu, Kania tak pernah jalan kaki saat pergi sekolah. Dia tak terbiasa. Kamu sebagai kakak harus mengalah pada adikmu.
Sebelumnya Kania memang lahir dan hidup di keluarga yang berkecukupan. Orang tuanya memiliki sebuah toko bangunan yang cukup besar di kota.
Kehidupannya sejak kecil selalu tercukupi. Apapun yang Kania minta pasti akan orang tuanya turuti, hingga akhirnya membuat Kania tumbuh menjadi sosok yang manja.
Setahun yang lalu nasib buruk menimpa keluarga mereka. Toko bangunan yang selama ini mereka bangga-banggakan justru hangus terbakar di lalap si jago merah. Begitupun dengan rumah mereka yang memang berada tepat di sebelah toko bangunan.
Semuanya mulai berbalik. Keluarga Kania yang awalnya hidup kecukupan kini harus merasakan perihnya hidup tanpa memiliki apapun.
Hingga akhirnya Kania terpaksa di titipkan pada Ayah Anesha yang tak lain adalah kakak kandung ibu Kania.
Saat ini orang tua Kania sedang berjuang bangkit membangun usahanya kembali. Mereka berdua berjanji akan menjemput Kania lagi saat usahanya kembali berjaya seperti sedia kala.
"Bu, kenapa Ayah berubah? Ayah udah gak sayang lagi sama kita?" tanya Anesha lagi, karena sejak tadi ibunya hanya diam membisu tanpa menjawab pertanyaan darinya.
Ibu mengusap kepala Anesha dengan lembut. "Kenapa kamu berpikir seperti itu? Ayah masih sayang kok sama kita."
"Tapi sikap Ayah tadi...."
"Jangan di pikirkan. Ayah kamu mungkin lagi kecapekan. Sekarang kamu masuk kamar. Lanjutin belajarnya. Besok masih ujian kan?"
Anesha pasrah. Untuk saat ini dia tak mau mencecar Ibunya.
Dengan langkah gontai, Anesha berjalan masuk ke dalam kamarnya. Benar kata Ibu, dia harus belajar. Atau prestasinya akan turun dan berimbas dengan di cabutnya bea siswa yang selama ini dia dapatkan.
...***...
Anesha baru saja selesai bersiap-siap pergi ke sekolah saat mendengar suara tawa Ayahnya dari arah dapur.
Apa Ayah udah gak marah lagi?
Dengan senyum yang mengembang, Anesha menyambar tas punggungnya. Kebetulan semalam Kania menginap di rumah temannya, jadi hari ini Anesha bisa meminta Ayahnya untuk mengatar dirinya ke sekolah.
Ah, Anesha sudah tak sabar berpegangan dengan memeluk pinggang Ayahnya saat di atas motor. Dia bahkan juga tak sabar ingin menyenderkan kepalanya di punggung lebar pria kesayangannya itu.
"Pagi Yah, Bu..." Sapa Anesha begitu tiba di meja makan. Dia mendudukan tubuhnya di kursi plastik yang sudah usang karena di makan usia.
Anesha menatap sarapan pagi mereka yang sudah tertata rapi di atas meja makan. Semua masakan ini dimasak oleh Ibunya dan tentu saja Anesha juga ikut membantu. Karena membantu memasak sarapan adalah salah satu kegiatan rutin bagi Anesha setelah bangun tidur.
"Mau minum air putih atau teh hangat?" tanya ibu dengan membawa empat piring kosong.
Anesha sendiri nampak heran kenapa ada empat piring. Padahal saat ini di rumah hanya ada mereka bertiga.
Tak mau ambil pusing, Anesha pun memilih langsung menjawab pertanyaan sang Ibu. "Air putih aja Bu. Biar sehat."
Setelah melihat Ibunya pergi mengambil air minum, Anesha menatap sang ayah yang tengah fokus dengan ponsel di tangannya. Ponsel keluaran lama yang sengaja di beri karet karena batrainya yang sudah mengembung.
"Yah...."
"Hmm...." Ayah hanya berdehem sebagai jawaban. Pria paruh baya itu bahkan tetap fokus dengan ponselnya tanpa sedikit pun melirik sang putri yang tengah mengajaknya berbicara.
"Kalau hari ini Nesha minta di anter ke sekolah, Ayah gak keberatan kan?" tanya Anesha penuh harap.
Ayah yang sejak tadi fokus ke arah ponselnya kini sudah beralih menatap Anesha. "Gak bisa Sha. Kamu jalan kaki seperti biasa aja."
"Kenapa?" Anesha kecewa. Tapi dia ingin tahu alasan kenapa Ayahnya menolak mengantarnya ke sekolah.
"Kenapa masih nanya. Kamu kan tahu Ayah biasa nganter adikmu."
"Tapi sekarang Kania gak ada di sini Yah."
"Siapa bilang?" Bersamaan dengan pertanyaan sang Ayah, Kania tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar mandi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Tatik Tabayy
hmm kira2 da pa y
2023-03-19
0