Anesha masih menatap lekat pria itu setelah mendengarkan jawaban darinya. Sebuah jawaban sederhana yang sungguh membuat Anesha kagum.
Biar keyakinan ibu semakin teguh, kalau rezeki itu tak akan tertukar, selagi kita tetap berusaha, Tuhan pasti akan memberi jalan rezeki-Nya.
Tak sampai disana, Anesha juga masih di buat tak percaya saat pria itu memberikan semangat pada ibunya. Padahal mereka hanyalah dua orang asing yang tak sengaja di pertemukan oleh takdir sebagai penjual dan pembeli.
Tanpa Anesha sadari, bibirnya tertarik keatas hingga membentuk senyuman saat melihat wajah teduh pria dewasa itu.
Pria yang saat ini memakai kemeja berwarna navi dengan lengan yang di gulung itu sepertinya memiliki darah keturunan orang asing.
Anesha bisa menyimpulkan seperti itu karena melihat bentuk tubuhnya yang yang tinggi tegap. Kulitnya putih bersih tanpa ada goresan sedikitpun yang dapat Anesha lihat. Selain itu ia juga memiliki rahang tegas, dengan hidung mancung dan bibir tipis. Dia juga memiliki alis yang sedikit tebal. Kombinasi yang pas untuk wajah tampan seorang pria. Bahkan visulnya bisa dibilang hampir sempurna.
Deg
Jantung Anesha tersentak kaget saat tiba-tiba pria itu beralih menatapnya. Dia tersenyum sangat ramah, namun bukannya membalas senyuman itu, Anesha justru membuang pandangan.
Ditatap sedemikian rupa oleh seorang pria asing membuat jantungnya berdebar-debar. Sungguh sangat aneh.
"Bu, saya sudah selesai." Pri itu sudah berdiri tepat di belakang ibunya yang tengah asik memandangi air hujan yang jatuh di atas gerobaknya.
"Eh, sudah selesai." Ibu menengok kebelakang dan bangkit dari duduknya.
"Iya Bu sudah. Berapa Bu?" tanya pria itu ingin membayar es campurnya.
Ibu tersenyum ramah. "Sepuluh ribu mas."
"Sepuluh ribu?" Pria itu nampak kaget seolah tak percaya dengan harga yang di berikan Ibu Anesha.
"Iya Mas."
"Murah sekali Bu. Padahal dapetnya banyak banget. Apa ibu bisa untung dengan menjual es campur semurah ini." Pria itu nampak merogoh kantong celananya lalu mengambil sebuah dompet kulit berwarna coklat gelap.
"Alhamdulillah masih dapat untung walaupun gak banyak."
Pria itu tersenyum sembari menganggukan kepalanya. Lalu setelahnya dia mengulurkan uang pada Naumi sebelum akhirnya langsung bergegas pergi dengan sedikit berlari karena hujan masih cukup deras.
"Eh, Mas ini uangnya kebanyakan," teriak Ibu sembari memanggil pria yang sudah berdiri tepat di samping mobilnya.
"Kembaliannya buat Ibu aja," balasnya juga dengan berteriak sebelum akhirnya pergi meninggalkan tempat itu dengan mobilnya.
"Alhamdulillah."
Anesha yang melihat wajah bahagia Ibunya pun memilih mendekat. Dia ingin tahu berapa uang yang di berikan pria itu hingga membuat Ibunya sebahagia ini.
"Emang Om tadi ngasih uang berapa Bu? Seratus ribu?" tanya Anesha. Karena setaunya selembar uang kertas dengan nilai mata uang terbesar di negaranya adalah seratus ribu rupiah.
"Ibu gak tau Nak. Coba kita hitung bersama." Ibu memperilahtkan satu gepok uang ditangannya. Dan hal itu tentu saja membuat Anesha kaget. Dia pikir Om baik hati tadi hanya memberi selembar uang dengan pecahan besar. Namun ternyata Anesha salah, karena di tangan ibunya terdapat berlembar-lembar uang bergambar bapak proklamator.
"Satu, dua, tiga.....sepuluh. Ada sepuluh lembar," kata Ibu begitu selesai menghitung lembar demi lembar uang kertas di tangannya.
"Alhamdulillah," ucap kami bersamaan.
"Semoga Mas yang tadi di berikan kesehatan dan semakin di lancarkan rezekinya." Do'a Ibu dengan tulus. Dan Anesha hanya mengaminkan saja. Semoga do'a Ibu terkabulkan. Karena orang sebaik Om tadi sangat pantas mendapat do'a terbaik.
Mereka pulang saat jam sudah menunjukan angka delapan malam. Dan seperti dugaan Anesha tadi, dagangan Ibu tak habis. Walaupun sudah berjualan sampai larut malam, tapi mereka masih belum bisa menjual seluruh es campurnya.
Tapi tak masalah karena dagagan Ibu hanya tinggal sedikit. Mungkin tujuh porsi lagi. Lagi pula nanti sisanya bisa mereka minum sendiri atau di bagikan ke tetangga yang mau.
Hujan memang sudah berhenti beberapa saat setelah Om dermawan itu pergi. Dan setelahnya dagangan Ibu mulai kembali di kerumuni oleh pembeli. Sepertinya Om tadi benar-benar pembawa rezeki untuk mereka hari ini.
Dari kejauhan Anesha melihat rumah sederhana milik orang tuanya sudah diterangi oleh lampu yang menyala. Itu tandanya sang ayah sudah ada di rumah.
Di depan teras, Anesha bisa melihat sebuah motor butut tua milik ayahnya yang mungkin sudah seusianya. Motor bersejarah yang biasa ayahnya pakai untuk mencari sesuap nasi untuk mereka.
Ayah Anesha bekerja sebagai tukang ojek. Beliau biasa mangkal di pertigaan yang tak jauh dari tempat tinggal mereka.
"Assalamualaikum, yah kami pulang," ucap Ibu setelah membuka pintu kayu yang terlihat sudah tak kokoh lagi.
Tak ada jawaban, padahal Ayah tengah duduk di ruang tamu dengan sebatang rokok di tangannya. Ya, malam ini Anesha kembali melihat Ayahnya merokok.
Ibu berjalan masuk ke arah dapur dengan membawa beberapa alat dagangannya yang harus di cuci. "Yah, kalau ada yang mengucap salam itu dijawab. Bukannya Ayah tau jika menjawab salam itu hukumnya wajib?"
Bukannya menjawab pertanyaan Ibu, Ayah justru menggebrak meja hingga mengentikan langkah Anesha dan Ibunya.
"Jam segini baru pulang. Kalian dari mana saja?" tanya Ayah dengan nada tinggi.
Anesha kaget. Ayahnya tak pernah berbicara dengan nada setinggi ini. Apalagi saat ini Ayahnya tengah menatap Anesha dan sang ibu dengan sorot mata tajam.
Ibu mengusap punggung Anesha. Dia tahu jika saat ini putrinya tengah ketakutan melihat Ayahnya yang bersikap tak seperti biasanya.
"Kami jualan seperti biasa. Ayah tahu itu." Ibu menjawab pertanyaan sang Ayah dengan tenang.
"Terserah kalian mau pulang jualan sampai jam berapapun aku tak peduli, tapi setidaknya siapkan makan malam untukku dan Kania. Aku lelah mengantar pelanggan kesana kemari. Tapi saat pulang justru tak ada apapun yang bisa aku makan. Apa kalian pikir aku tidak lapar?" tanya Ayah dengan sedikit menyentak.
Ibu menatap Anesha. Biasanya putrinya itu akan menyiapkan makan malam terlebih dahulu sebelum membantunya berjualan. Apa hari ini Anesha lupa?
"Nesha udah masak dengan bahan-bahan yang ibu beli, sayur asem sama tempe goreng," jawab Anesha tak mau di salahkan. Bukan ibunya, tapi ayahnya. Karena Anesha tahu ibunya tak akan pernah menyalahkannya.
"Jangan bohong kamu. Di meja makan gak ada masakan apapun," sahut Ayah.
"Aku gak bohong yah."
"Sudah, mungkin Kania yang sudah menghabiskan masakan Anesha," ujar Ibu menengahi.
"Kamu jangan main tuduh Kania." Ayah kembali membentak ibu. Bahkan ia sudah menunjuk-nunjuk wajah ibunya dengan jari telunjuk.
"Ibu gak nuduh. Tapi yang ada di rumah ini hanya ada kita berempat. Ibu dan Anesha jualan. Di rumah hanya ada keponakan kamu itu. Lalu siapa lagi tersangkanya kalau bukan Kania."
"Cukup. Kamu pikir keponakanku pencuri sampai kamu berani-beraninya menyebut Kania sebagai tersangka," sentak Ayah tak terima. "Asal kalian tahu, aku sudah bertanya pada Kania. Dan dia bilang kalau dia juga belum makan sejak pulang sekolah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Tatik Tabayy
lnjut kak
2023-03-19
0
Tatik Tabayy
bgs cerita.nya
2023-03-19
0