Wajah Tak Bersahabat

Anesha merasakan usapan lembut di lengannya dengan di iringi suara merdu sang ibu. "Nesha, bangun nak ini sudah pagi."

"Bentar lagi Bu, Nesha masih ngantuk." Bagaiamana tidak mengantuk jika dirinya saja baru terlelap beberapa jam yang lalu. Anesha masih ingin tidur, sebentar saja. Setelah itu Anesha janji akan segera bangun dan membatu ibunya memasaka di dapur seperti biasanya.

"Kamu yakin mau tidur sebentar lagi? Ini sudah jam enam lebih. Apa kamu tidak takut teambat?"

Mendengar kata jam enam lebih membuat kedua mata Anesha terbuka dengan sempurna. Kantuknya memang masih ada, namun sudah sedikit menghilang.

"Kenapa ibu baru bangunin aku? Aku bisa terlambat." Anesha turun dari ranjang, lalu menyambar handuk yang tergantung di belakang pintu.

Anesha bergegas keluar kamar dan menuju kamar mandi yang berada tepat di samping dapur.

Naumi yang melihat tingkah putrinya hanya bisa menggelengkan kepala. "Baru bangunin? Ckk... padahal ini sudah ketiga kalinya ibu bangunin kamu."

Naumi memang sudah membangunkan putrinya seperti biasa, mulai pukul setengah lima. Namun Anesha justru sama sekali tak terusik. Putrinya itu tertidur terlalu lelap. Naumi memakluminya, apalagi semalam Anesha tidur larut malam.

Selesai mandi dan bersiap-siap, Anesha duduk di meja makan. Bergabung dengan Ayah dan Ibunya.

Anesha menatap menu sarapannya yang bisa di bilang cukup istimewa dari biasanya. Nasi goreng dan telur mata sapi.

Anesha menelan salivanya. Dia sudah tak sabar menikmati sarapannya pagi ini.

"Jangan makan dulu. Panggil dulu adikmu Kania," perintah sekaligus larangan sang ayah membuat Anesha menghentikan pergerakan tangannya.

Kania adalah sepupunya. Anak dari adik bungsu ayah Anesha. Gadis seusia Anesha itu sudah enam bulan ini tinggal di rumahnya. Bahkan Kania juga pindah di sekolah yang sama dengannya.

"Kania tak ada di rumah. Bukannya ibu sudah bilang dia menginap di rumah temannya."

"Ckk..." Ayah berdecak kesal. Lalu setelahnya dia bangkit meninggalkan meja makan tanpa menyentuh sedikitpun makanannya.

"Ayah kenapa sih Bu?" tanya Anesha sedih. Apalagi pagi ini ayahnya menunjukan wajah tak bersahabat.

"Udah, biarin abaikan aja Ayahmu itu. Sekarang lebih baik kamu sarapan. Kalau tidak, kamu bisa terlambat."

Mendengar kata terlambat membuat Anesha bergegas menyelesaikan sarapannya. Dia harus segera berangkat, karena jarak rumah dan sekolahnya lumayan jauh. Anesha harus berjalan kaki kurang lebih dua puluh menit untuk bisa sampai di sekolahnya.

...***...

Dengan sedikit berlari Anesha menembus derasnya hujan siang ini. Walaupun sudah menggunakan payung, Anesha harus merelakan kaosnya sedikit basah. Karena payung yang dia gunakan merupakan payung tua yang sebenarnya sudah berlubang di beberapa sisi.

"Nesha, kenapa kesini Nak?" Naumi menarik putrinya agar segera berteduh di tenda terpal tempat dirinya berjualan.

Wanita paruh baya itu terlihat khawatir saat melihat tubuh Anesha yang sedikit basah.

"Nesha mau bantuin Ibu jualan. Ini Nesha bawakan baju hangat. Diluar sini sangat dingin." Anesha mengulurkan kresek berwarna hitam dan Naumi langsung menerimanya.

Anesha tersenyum saat ibunya membuka dan mengeluarkan jaket yang ia bawakan. Tanpa diminta Anesha membantu Naumi memakai pakaian hangat agar tubuh renta wanita yang telah melahirkannya itu tak lagi kedinginan.

"Kamu juga pake jaketmu." Anesha menganggukan kepala. Dia memang sengaja menaruh jaketnya di dalam plastik, karena jika memakainya saat berjalan kesini, sudah di pastikan jaket itu akan basah terkena air hujan.

Hari ini kota tempat tinggal mereka memang di guyur hujan begitu lebat bahkan sejak siang tadi. Tapi walaupun hujan, Anesha tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa. Membantu sang ibu berjualan es campur setelah pulang sekolah.

"Hari ini jualannya sepi ya Bu?" Anesha bertanya saat melihat toples-toples jualan ibunya masih terisi penuh. Bahkan terlihat seperti belum berkurang sama sekali.

"Alhamdulillah tadi sebelum hujan sudah laku dua." Anesha menatap wajah teduh ibunya yang tengah tersenyum. Bagaimana Anesha tak kagum, jika disaat seperti ini saja ibunya masih mensyukuri semua nikmat dan rejeki yang Tuhan berikan.

"Setelah hujan, gak ada yang beli lagi?" tanya Anesha lagi.

Naumi menatap putrinya dengan senyum yang masih terukir di wajahnya. "Bukan gak ada Nak. Tapi belum ada. Namanya juga jualan, kadang sepi kadang juga rame. Coba kita tunggu sampai nanti malam ya. Semoga hujan segera reda dan jualan kita bisa habis."

Anesha menganggukan kepala sembari menggosok-gosokan kedua telapak tangannya agar tetap hangat. Hujan semakin lebat dan rasanya dagangan ibunya kali ini tak akan bisa habis. Kalau sudah begitu, nanti saat di rumah sang ibu pasti akan membagikan sisa jualan mereka pada para tetangga.

Cukup lama duduk diam menunggu pembeli datang. Bahkan entah sudah berapa kali Anesha menguap. Hawa dingin membuatnya ingin tidur dan bergelung di bawah selimut hangat. Namun itu hanya akan ada di dalam angannya saja. Karena Anesha tak mungkin membiarkan ibunya berjualan sendiri disini.

Sore ini jalanan cukup sepi, hingga tiba-tiba sebuah mobil sedan berhenti tepat di samping gerobak jualan es mereka.

Mobil dengan plat B yang menandakan jika pemiliknya bukan berasal dari kota kecil mereka. Mungkin seseorang di dalam sana ingin bertanya arah atau alamat. Karena dilihat dari mewahnya mobil sedan itu, rasanya sangat tak mungkin jika pemilik mobil itu berniat membeli es campur yang hanya di jual di pinggir jalan.

Tak lama berselang, pintu kemudi terbuka. Seorang pria dewasa dengan tubuh tinggi tegap keluar dari dalam mobil dan berlari ke arah tenda Naumi sembari menutup kepalanya dengan tangan.

"Permisi Bu, es campurnya masih ada?" tanya pria tersebut setelah berdiri di sisi gerobak milik ibu Anesha.

"Masih mas."

"Saya mau satu Bu. Minum disini aja."

"Baik mas."

Mendengar ada yang memsan es campur ibunya, membuat Anesha lantas berdiri dari duduknya. Anesha mempersilakan pria yang mungkin berusia dua kali lipat dari usianya itu untuk duduk di kursi plastik yang memang mereka sediakan.

Biasanya akan ada beberapa pembeli yang ingin meminum es campur mereka di sini. Namun karena seharian ini hujan, sepertinya pria kaya ini merupakan pembeli pertama yang duduk disana.

Anesha mengambil satu mangkok kaca, bersiap meracik satu porsi es campur untuk pembeli pertamanya hari ini.

"Sudah biar Ibu saja." Naumi menahan pergerakan tangan putrinya. "Lebih baik kamu belajar saja. Besok masih ujian akhir semester bukan?"

Kalau Ibu sudah melarang dan memberi perintah, Anesha tak akan bisa menolak. Anesha pun memilih kembali duduk di kursiku. Membuka tas lalu mulai membaca buku catatan yang memang sengaja ia bawa.

Belajar adalah hal wajib bagi Anesha. Dimanapun dan kapanpun dia pasti akan menyempatkan diri untuk belajar. Hal itu tentu saja membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Anesha selalu mendapat peringkat pertama di sekolah. Dan saat melihat senyum bangga kedua orang tuanya, Anesha merasakan kebahagiaan yang luar biasa besar di hatinya.

Anesha melirik sekilas saat ibunya mengantarkan pesanan pria kaya itu. Hingga pertanyaan yang sang ibu lontarkan pada pembelinya membuat Anesha cukup penasaran. Penasaran dengan jawabannya.

"Hujan-hujan kok beli es mas," tanya Naumi sembari tertawa, namun Anesha bisa melihat kedua mata ibunya mulai berkaca-kaca.

Episodes
Episodes

Updated 65 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!