Klek ....
"Ini kamau kamu, Rinna. Mama sudah mendekornya sendiri," ucap Maya, bersemangat melihat bagaimana reaksi Rinna saat melihat hasil dekorasinya.
Lantas Maya kehilangan senyumannya dengan cepat saat melihat kedua manik mata Rinna yang membulat, terlihat kaget tapi ke arah yang negatif.
"Kenapa? Kamu tidak senang dengan kamarnya?" tanya Maya, menunjukkan ekspresi dingin.
Rinna mengerjabkan matanya, menatap ekspresi ketus Maya dengan senyuman manis.
"Suka. Mama kan sudah mendekornya untuk Rinna. Terima kasih, Ma. Aku akan menggunakan kamar itu dengan baik," ujar Rinna, berusaha tetap tenang.
Maya kembali tersenyum, berjalan ke arah Rinna dengan langkah ringan dan memeluknya erat.
"Kamu memang anak yang baik. Mama tidak salah, kan? Memilih anak sepertimu," seru Maya, menunjukkan hawa berbeda yang membuat Rinna tidak nyaman.
Namun Rinna hanya tersenyum dan berjalan dengan langkah berat, memasuki kamarnya.
"Istirahatlah, Mama akan memanggilmu saat makan malam sudah siap," ucap Maya, melambaikan tangan saat Rinna menutup pintu kamarnya dengan tatapan tegang.
"Iya, Ma!" jawab Rinna, sebelum pintu itu benar-benar tertutup rapat.
Klek!
Rinna menghela napas dalam, menolehkan kepalanya ke atas dan menatap mahluk berwajah hitam dengan mata berdarah yang berdiri terbalik di langit-langit kamarnya.
"Ah, kenapa pula aku melihat hal seperti ini di hari pertama? Padahal aku bukan anak indigo, tapi aku melihatnya lagi!" batin Rinna, memejamkan matanya beberapa saat sebelum berbalik dan menuju ranjang.
Rinna duduk di tepi ranjang, menatap mahluk lain yang duduk di seberang sisi ranjangnya, memunggungi Rinna sambil bergumam tak jelas.
Rinna menatap sekeliling dengan tatapan tenang, berusaha menjaga ekspresi wajahnya agar tak terlihat aneh dan mengundang para mahluk itu.
Tap ... tap ... tap ....
Suara langkah kaki terdengar dari atap kamarnya, membuat jantung Rinna berdebar kencang.
Ya, siapa yang tak takut jika mendengar suara seperti itu? Suara langkah kaki dengan mahluk berwujud nyata, yang berjalan terbalik di atas kepala Rinna.
"Penghuni baru, aku akan mengawasimu. Rumah ini adalah wilayah kami," ucap wanita berwajah gosong, yang berjalan-jalan di atas kamarnya itu.
Rinna hanya menghela napas dalam dan berusaha merebahkan dirinya, berusaha tak menghiraukan keberadaan mereka.
Deg!
Begitu Rinna membuka mata, wajah wanita bernanah itu muncul di depannya. Hanya berjarak 5 cm dari wajahnya, sampai-sampai membuat Rinna bisa melihat setiap detail mahluk melata yang hidup di pori-pori kulitnya.
"Aku sudah bilang, dia bisa melihat kita, Yuni!" ucap wanita itu, dengan suara berat dan serak.
Rinna bangkit dari tempatnya, turun dari ranjangnya dengan cepat dan berjalan ke arah pintu dengan langkah tertatih, berusaha keluar dari sana.
Klek!
Rinna menghela napas lega saat dia bisa keluar dari dalam kamarnya, namun siapa sangka jika kedua Kakak lelaki, yang belum berkenalan dengannya itu, berdiri di depan kamarnya dengan tatapan datar. Seakan tengah menunggunya keluar dari sana dengan yakin.
"Keluar juga. Bagaimana? Kamarnya bagus?" tanya Atha, berjalan mendekatinya dan menatap wajah pucat Rinna dengan tatapan mengamati.
Rinna menelan ludahnya susah, memalingkan wajahnya dari tatapan tak bersahabat Arta dengan segera. "Ba-bagus kok, Kak. Aku suka, ha-hahaha," jawabnya, canggung.
Atha menaikkan sebelah alisnya, menatap kelakar Rinna yang tampak ketakutan dengan sinis. "Kamu yakin?" tanyanya, mendekatkan wajahnya, bahkan kedua hidung mereka sampai nyaris bersentuhan.
Rinna tersudut dengan tubuh Atha yang menekan pelan tubuhnya ke pintu, menatap sikap Atha yang tampak aneh saat memperlakukannya.
"I-iya. Tidak apa, kok. Haha," jawab Rinna, tanpa melihat wajah Atha yang terus memandangnya dengan tatapan mengerikan.
"Jika kamu tidak nyaman, kamu bisa tidur bersamaku di kamar. Aku bisa memelukmu saat kamu takut," bisik Atha, membuat Rinna geli.
Kedua tangan Rinna sudah menahan tubuh Atha agar keduanya tetap menjaga jarak, walau tidak sampai 10 cm.
"Ti-tidak perlu. Aku bisa mengurusnya sendiri. To-tolong jangan bersikap seperti ini, Kak!" seru Rinna, setengah berteriak sambil mendorong tubuh Atha menjauh darinya.
Atha terhentak mundur, menatap Rinna yang takut dengannya, dengan tatapan mengejek. "Jangan panggil aku Kakak, aku tidak memiliki adik!" ucapnya, tegas.
Deg!
Rinna terpaku, menatap Atha dengan kedua mata yang membulat lebar. "Ta-tapi, Mama–"
"Itu hanga keinginan Mama. Bukan keinginanku! Aku tidak akan pernh melihatmu menjadi adik. Aku akan tetap melihatmu sebagai perempuan asing yang bertamu di rumah ini!" Atha mengulas senyuman culas. "Jadi bersikaplah sopan pada Tuan Rumah dan jangan banyak bertingkah! Atau aku bisa menerkammu agar diam," celetuknya, sambil berjalan pergi meninggalkan Rinna.
Glek ....
Rinna menelan ludahnya susah, menatap kepergian Atha dengan tatapan gusar dan mengalihkan tatapannya pada Arta yang terus diam dan memperhatikan mereka.
"Apa?" tanya Arta, memutar roda kursi rodanya ke arah Rinna, mendekati gadis itu dengan tatapan biasa.
"Ka-kamu juga–"
Arta menggelengkan kepalanua pelan, menolak alibi Tinna yang bahkan belum keluar dari mulutnya.
"Tenang saja, aku tidak akan mengusuikmu seperti Atha." Arta menghela napas lelah dan menatap Atha yang mengawasi mereka dari lantai dua, tepat di depan kamarnya berada. "Aku bukan orang resek yang kekurangan kegiatan. Aku orang sibuk, jadi kamu tidak perlu khawatir akan diriku!"
Rinna menghela napas lega dengan lembut, menunjukkan rasa syukurnya dengan menatap Arta, lembut.
"Terima kasih, Kak. Aku merasa tenang mendengarnya," ucap Rinna, benar-benar tulus.
Arta mengangguk dan menatap ke arah belakang Rinna dengan tatapan memperhatikan. "Apa di dalam sana kamu punya banyak teman?" tanyanya, seakan mengerti apa yang ada di dalam sana.
Rinna diam, menatap wajah Arta dengan canggung. Tak lama setelah itu, Rinna menggeleng, tak ingin membuat Arta khawatir karena hal itu.
"Tidak ada. Kakak tenang saja. Em ... Kak A–"
"Arta! Aku Arta, dan tadi Atha. Wajah kami hampir mirip, ya? Taoi kamu bisa mengenali kami dengan melihat tahi lalat ini." Arta menunjuk tahi lalat kecil yang ada di kelopak matanya. "Atha tak mempunyai ini. Jadi kamu bisa membedakannya dengan mudah, kan? Lagi pula, style berpakaian kami berbeda. Jadi, aku kira kamu tidak akan terlalu bingung," paparnya, dengan senyuman lembut yang menyertai.
"Ah, baik Kak Arta. Terima kasih sudah menjelaskannya. Lalu, yang ingin aku katakan tadi. Apa Kakak tidak istirahat? Sepertinya tadi Kakak lagi tidur siang, tapi terbangun karena Mama memanggil," ucap Rinna, menjelaskan.
"Jika aku tidak bangun dan meneruskan tidur, Mama akan membuatku tenggelam besok pagi. Haha, jadi aku harus bangun. Kamu tidak perlu memikirkannya, aku sudah tidak mengantuk sekarang," jelas Arta, mengulas senyum masam. "Kamu mau jalan-jalan denganku? Aku akan memperkenalkan rumah ini padamu."
Rinna yang sempat terdiam karena kalimat awal Arta, kini langsung menganggukkan kepalanya mendengar Arta akan mengajaknya berkeliling.
"Jika tidak merepotkan Kakak, aku akan pergi denganmu," ucap Rinna bersemangat.
"Baiklah, ayo pergi."
Rinna mengikuti langkah Arta, menatap lelaki itu dari belakang dengan tatapan waspada. "Rumah ini lebih aneh dari dugaanku. Menakutkan!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments