Aqila berjalan dengan gontai, tangannya sesekali menyeka air mata yang sudah bercampur keringat itu, ia tidak menyangka kalau hidupnya akan seperti ini. Kehidupannya yang memang jauh dari kata bahagia karena tidak lagi memiliki orang tua dan kini hanya tinggal bersama Bibi dan Pamannya. Yang sesekali sang Bibi menunjukan ketidaksukaan terhadapnya.
Ia memandang rumah sederhana milik adik dari mendiang ayahnya itu, yang tak lain adalah bibinya. Ia merasa tidak lagi memiliki keberanian untuk menginjakan kakinya disana, lalu kemana harus dia pergi, bahkan saat ini ia merasa tidak lagi memiliki harga diri.
Ditangannya ada sebuah cek yang dia dapati dari pria yang telah merenggut kesuciannya, yang bahkan tidak ia ketahui rupanya. Ia tersenyum miris mengingat bagaimana bodohnya dia yang bisa menyerahkan mahkota berharganya dengan tidak sadar.
"Kak Jeni." Aqila menyebutkan satu nama yang dia rasa bisa ia mintai tolong untuk menampungnya sementara, karena dia benar-benar tidak memiliki keberanian untuk pulang.
Dengan hanya berbekal uang seadanya yang hanya cukup untuk ongkos angkutan umum, Aqila bertekad untuk pergi kerumah senior tempat ia bekerja paru waktu. Jaraknya yang tidak terlalu jauh dari sekolahnya tapi lumayan jauh dari tempat dia saat ini berada.
Sesampainya disana, Aqila langsung mengetuk pintu yang tertutup rapat itu, tapi sayang, rumah kontrakan itu terlihat sedang tidak ada orang. Aqila tertunduk dengan sedih, dia harus kemana lagi, sedangkan dia tidak lagi memiliki uang.
Dia melihat bangku kayu yang rapuh, kakinya terasa lelah terlebih lagi rasa nyeri dipangkal pahanya masih terasa, ia mengambil inisiatif untuk duduk disana menginstirahatkan kakinya atau memang ia akan menunggu seniornya pulang.
Satu jam dan lamanya tiga jam, ia masih berada disana, perutnya yang sejak tadi berbunyi karena lapar ia terus abaikan, bahkan kerongkongannya sudah terasa kering karena memang sedari pagi ia belum memakan dan minum apa-apa.
"Aqila?" suara yang membuat Aqila tersenyum lega dan langsung mengangkat kepalanya.
"Kamu sedang apa disini?" tanya orang itu yang tak lalin adalah orang yang sejak tadi ditunggu Aqila, yaitu Jeni.
"Aku, emmm..., aku-"
"Ah! Masuk dulu, yuk!" ajak Jeni pada Aqila yang menagngguk dan mengikuti langkah Jeni yang sedang memutar kunci rumah dan masuk kedalamnya.
"Duduklah, aku taruh ini dulu kebelakang," ucap Jeni yang meninggalkan Aqila dikursi ruang tv.
Aqila duduk dengan gelisah, ia bingung harus bicara bagaimana untuk meminta seniornya itu agar mau memberikan tupangan untuknya, disela-sela lamunannya, Jeni kembali dengan air putih yang dia bawakan untuk Aqila.
"Minum dulu," ucapnya dan Aqila hanya mengangguk lalu menenggaknya hingga setengah gelas.
"Kamu nunggu dari kapan?"
"Dari tadi, Kak."
"Aku semalam pulang ke Ibuku, kamu?" ucapan Jeni terhenti ketika menyadari kalau Aqila saat ini memakai pakaian yang beebeda dari biasanya. "Kamu dari mana? kenapa pakai pakaian seperti ini?"
"Ceritanya panjang Kak, aku juga mau meminta tolong pada Kakak."
"Tolong? tolong apa, coba cerita," tuntut Jeni yang penasaran dengan apa yang terjadi pada Aqila.
Aqila pun menceritakan semuanya, bahkan ia tidak mau menutupi bahwa dia sudah kehilangan kehormatannya dengan tanpa sadar karena minuman yang diberikan teman sekolahnya. Wajah Jeni tersirat keterkejutan, tai ia terus menyimak cerita Aqila.
"Jadi begitu Kak, aku juga datang kesini ingin meminta tolong pada Kakak, agar mau memberikan aku tumpangan untuk sementara." Lirih Aqila yang sungguh merasa malu karena menceritakan semuanya.
"Qil kamu boleh tinggal disini, karena memang aku juga hanya tinggal sendiri, kebetulan kita juga 'kan satu tempat kerja, tapi aku mau kamu harus mengikuti aturan ku kalau mau tinggal disini, bagaimana?" Aqila tersenyum senang, ia merasa lega ternyata seniornya mau memberikan tumpangan.
Walaupun Jeni mengatakan ia harus mengikuti aturannya tapi menurut dia itu hal yang sangat wajar.
"Baik kak, aku akan bayar setengah kontrakan kaka dari gaji ku,'' kata Aqila.
"Eh! tidak perlu, semua kontrakan ini Ayahku yang punya, aku diminta tinggal disini sekaligus untuk jaga kontrakan, hehe."
"Kalau begitu aku yang akan bantu-bantu bersih-bersih rumah, bagaimana?"
"Emmm..., kalau itu aku setuju!" seru Jeni.
Aqila pun pergi membersihkan diri karena Jeni yang menyuruhnya, dan Jeni juga memberikan beberaa pakaian lamanya untuk Aqila kenakan. Aqila sangat senang karena masih ada orang baik seperti Jeni, yang dia kenal sebagai seniornya di tempatya bekerja, dimana awalnya ia menilai Jeni dengan orang yang galak tapi penilaiannya salah.
Keesokannya. Aqila yang sudah bersiap untuk pergi kesekolah karena harus menghadiri pengambilan ijaza, di antar oleh Jeni karena memang hari ini Jeni megambil sift 2 untuk bekerja. "Kakak benar mau mengantarkan aku?"
"Iya, ayok!"
Sesampainya disekolah, baru saja Aqila turun dari angkutan umum, beberpa pemilik pasang mata yang sedang berkumpul didepan gerbang utama menatap sinis pada Aqila. Yang disana ada tiga orang gadis yang membuat Aqila tidak sadarkan diri bahkan sekaligus membuat dia kehilangan kehormatan-nya.
"Apa dia masih punya muka?" bisik salasatu dari mereka dan didengar oleh Aqila.
"Ya, dia 'kan memang tidak punya rasa malu," timpal gadis bernama Bela.
"Qil, ayok!" ucap Jeni yang baru selesai membayar ongkos angkutan umum.
"Iya kak."
"Eh Qil! teraktir dong, pasti hasil tadi malam banyak ya? hahahah!" ejek gadis yang berada digerombolan Bela.
Jeni yang mendengarnya mendengus kesal, karena baginya seorang anak yang bersekolah disekolahan elit seperti ini tidaklah pantas berkata seperti itu. Matanya memicing pada salasatu anak yang ikut tertawa bersama, senyum jahilnya tersirat lalu berhenti tepat disamping mereka.
"Adik cantik, apa kalian sudah merasa benar? ingat diantara kalian ada yang menjadi simpanan pria berumur lho, dan aku memiliki foto mesra-mesranya." Mendengar itu, semua anak terdiam dengan wajah yang pias. Seakan-akan membetulkan apa yang Jeni katakan.
*
*
Di sebuah gedung pencakar langit, terdapat seorang pria tampan dengan kursi kebesarannya. Sedang berbincang dengan seseorang yang sepertinya sangat akrab dengannya.
"Dirgantara? jadi nama panggilan mu ganti, Bim?" tanya orang itu.
"Aku hanya ingin suasana baru saja," sahut pria pemilik ruangan itu. Ya dia adalah Bima Dirgantara Houten.
"Emmm..., kalau begitu kapan kau akan berkunjung kerumah adikmu, Alvino semakin lucu lho," ucap temannya yang menceritakan seorang bernama Alvino yang merupakan anak dari adik perempuan Bima Dirgantara Houten.
"Aku belum menemukan waktu yang pas, oh ya Rik, aku titip ini untuknya." Dirga memberikan sebuah kotak kecil pada temannya yang bernama Erik Noel. Dan langsung diterimanya.
"Kalau begitu aku pamit dulu, masih ada pekerjaan yang harus ku urus."
Dirga ikut mengantarkan temannya yag bernama Erik itu sampai kedepan ruangan tapi baru saja mereka membuka pintu, seseorang akan mengetuknya dengan dua orang dibelakangnya.
"Selamat siang Tuan. Maaf Kelien kita sudah datang," ucap seorang wanita yang berpakaian formal karena dia adalah sekertaris Dirga.
Dirga dan Erik melongok dua orang yang berdiri dibelakang wanita sekertaris itu.
"Kau?!" tunjuk Erik pada Wanita cantik yang berdiri dibelakang sekertaris Dirga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Nur Inayah
kuat Qil balas semua perbuatan teman2 muh yg menjebak
2023-05-21
1
Aditya HP/bunda lia
kau, ... siapa kau. 🤔🤔
2023-02-12
0