Menjaga jarak dengan sahabat

Dalam perjalanan pulang, Nina terus menangis hingga matanya bengkak. Iki sengaja mengajak Nina pulang karena di jam kedua nanti tidak ada guru yang masuk. Guru Matematika tidak masuk hari ini lantaran wanita tua itu ke luar Kota bersama rekan guru dari sekolah yang lain.

"Nina," panggil Iki pelan.

"Hmm," sahut Nina terisak.

"Bisa diam nggak? Kamu dari tadi menangis terus. Apa sih yang kamu tangisi?" tanya Iki heran. Dia sudah sering mengingatkan Nina untuk tidak berkeliaran di jam sekolah karena setiap hari Satpol PP selalu melakukan rajia. Tapi gadis cantiknya itu tidak mau mendengar.

"Aku malu, Iki! Mereka nggak langsung membawa kami ke sekolah, mereka masih berkeliling di pasar, banyak orang yang melihat aku dan Haikal," jawab Nina.

Iki hanya menghela napas panjang. Diam dan fokus mengendarai kenderaan roda duanya. Memasuki kompleks, Iki berhenti sebentar membeli tahu rebus dan pentolan Mas Juki yang kebetulan masih ada.

"Mas, tahunya sepuluh ribu dan pentolannya lima ribu. Sambal pedas ya," kata Iki yang di balas senyum oleh Mas Juki.

Iki menatap Nina yang menutup wajahnya, dia hanya bisa menatap Nina tanpa bisa berbuat lebih jauh seperti memeluk atau menyeka air mata wanita itu. Dia memang sahabat Nina, tapi dia tidak berani memeluk Nina. Dulu, Iki pernah membopong Nina, tapi itu saat Nina jatuh pingsan di sekolah..

"Mas, ini tahu dan pentolannya." Mas Juki menyerahkan pesanan Iki.

Iki menerimanya kemudian menghampiri Nina. "Pegang ini." Iki mengulurkan tangan pada pada Nina dan Nina langsung mengambil kresek berisi tahu dan pentolan.

Menghidupkan motor, Ini mengendarai motornya hingga di depan rumah. Baik Nina dan Iki langsung turun, mereka ke taman tepatnya di bawa pohon mangga yang rindang. Ada kursi taman dan juga meja, bahkan ada ayunan. Iki duduk di kursi, begitu juga dengan Nina.

"Nina, Iki, kok kalian sudah pulang. Nina, kamu kenapa?" Mama Sarah menghampiri Iki dan Nina.

"Tadi ada yang main voli, Mah. Bolanya kena muka Nina. Sakit, ya Nina nangis. Karena nggak diam juga, Iki ajak Nina pulang karena memang Ibu Andi nggak masuk, Mah." Nina menjelaskan.

Mama Sarah mengangguk paham. "Ya sudah, jangan menangis lagi. Kamu kek anak kecil aja."

Iki hanya diam, dia tidak suka Nina yang selalu berbohong. "Tante, ayo makan, ada tahu dan pentolan," ajak Iki seraya mengambil tahu dari dalam kresek.

"Silahkan, Iki. Oh ya, Tante ke pasar dulu ya. Nina, jangan lupa lihat cucian Mama." Mama Sarah berjalan menuju garasi. Mengeluarkan satu motor Scoopy dari sana lalu ke pasar.

Malam kembali menyapa, Nina cekikan di kamar sambil berbalas pesan dengan Haikal. Gombalan Haikal berhasil membuat Nina berbunga bunga. Hingga pesan terakhir Haikal membuat Nina berpikir cukup lama.

"Maaf, Haikal. Aku dan Iki itu berteman sejak kecil, dan kami juga bertetangga. Sulit bagiku untuk menjaga jarak dengannya," balas Nina pada pesan Haikal.

"Tapi aku nggak suka kamu dekat dengan dia. Dia terlalu sok tampan, sok keren, sok perhatian gitu sama kamu. Aku nggak suka lihat cara dia memperlakukan kamu!" pesan masuk dari Haikal.

"Dia memang seperti itu. Ayolah, Haikal. Aku rasa kamu juga mengenalnya," tulis Nina lagi.

Haikal tak membalas pesan dari Nina. Tentu hal itu membuat Nina sedih. Nina mendekatkan telinga di dinding, mendengar apakah ada pergerakan di kamar sebelah atau tidak ada. Nina tersenyum setelah mendengar Iki bersiul.

"Iki, baca pesanku ya," pinta Nina. Lalu ia mengetik sesuatu kemudian mengirimnya pada Iki. Tak berapa lama, Iki membalasnya.

"Jika itu maumu, oke. Aku tidak akan menyapamu apalagi sampai menganggap mu teman," tulis Iki.

Nina terdiam, dia memanggil Iki namun Iki tak menjawab. Nina melakukan panggilan WhatsApp hingga panggilan biasa namun Iki tidak menjawab panggilan telepon dari Nina. Boleh dikata Nina mendengar ponsel Iki berdering. Sementara di kamar sebelah, Iki berada di lantai satu mengerjakan tugas sekolah. Awalnya dia berencana mengajak Nina tapi pesan Nina yang tadi membuat Iki kecewa. Hanya karena orang baru, Nina meminta Iki untuk tidak dekat dengannya saat di Sekolah.

"Terserah kamu saja, mau disakitin atau diapakan itu urusan kamu. Malas aku," gumam Iki yang sebenarnya mendengar ponselnya berdering.

Pukul sebelas malam, Iki selesai mengerjakan tugas matematika. Dia juga selesai mengerjakan materi tentang kejuruan. Meregangkan otot lengan juga otot leher, lalu mengatur buku-bukunya. Menguap berulang kali, Iki memilih naik ke kamar tanpa melihat ponselnya lebih dulu. Larut malam sekitar jam tiga, Iki bangun mengisi daya ponselnya. Dia melihat puluhan panggilan tak terjawab dari Nina juga belasan pesan dari Nina.

"Pasti pesannya aneh-aneh lagi," gumam Iki. Menyalakan lampu belajar, Iki mulai belajar hingga pagi menyapa. Iki memang suka bangun larut malam untuk belajar. Dia lebih nyaman belajar di waktu sunyi. Semalam dia hanya kesal pada Nina, hingga otaknya berjalan lancar. Hasilnya, dua tugas selesai ia kerjakan.

Pagi hari, Nina bersiap siap ke sekolah. Begitu juga dengan Iki di rumahnya. Nina sarapan pagi bersama kedua orang tuanya, dan juga adiknya, berbeda dengan Iki yang hanya sendiri. Nina menatap sekilas orang tuanya. "Mah, boleh aku bawa motor sendiri?" Menatap sang Mama serius.

"Bukannya kamu sama Iki. Motor Iki rusak?" tanya Mama Sarah.

"Nggak, Mah. Aku hanya nggak mau jadi beban Iki. Kasihan dia, dia mau jalan-jalan tapi harus pulang karena aku yang nggak Mama bolehin jalan-jalan saat pulang sekolah," jelas Nina berbohong.

Mama Sarah menghela napas panjang. Wanita itu membenarkan perkataan putrinya. "Ya sudah, ambil kuncinya di lemari samping pintu."

Tersenyum, Nina segera beranjak dari kursi. Mencium Mama dan Papa nya, kemudian mengambil kunci motor. Keluar di luar, Nina berpapasan dengan Iki yang baru akan mengeluarkan motornya dari garasi.

"Ayo," ajak Iki. Dia berniat mengantar Nina sampai dekat sekolah, biar kekasih Nina tidak cemburu lagi.

"Nggak perlu, mulai sekarang aku bawa motor sendiri!" ketus Nina segera menghampiri motor Scoopy miliknya. Dia kesal, kesal karena Iki tidak menjawab panggilan darinya. Bahkan Iki tidak membaca pesan darinya.

Iki menghela napas panjang, menghembuskannya pelan. Menunggu Nina keluar dari pekarangan rumah, Iki menyempatkan waktu untuk menerima panggilan telepon dari orang tuanya. "Hallo, Ma, bagaimana?" tanya Rifki.

"Mama yang harusnya nanya. Bagaimana? Kamu jadi pinda sekolah, kan?" tanya Mama Riana.

"Sepertinya jadi, Ma. Hanya saja wali kelas kami lagi di Luar Kota. Jadi aku nggak bisa mengurus sekarang. Nanti aku hubungi Mama, sekarang aku mau ke sekolah dulu," jelas Rifki.

Nina yang akan menghidupkan mesin motornya menoleh menatap Iki. Kesal, dia segera mengeluarkan motornya dari garasi. Bahkan dia melaju tanpa mengenakan helem juga menunggu Iki terlebih dahulu. Tiba di sekolah, Nina tak menegur Iki. Dan Iki pun tak menegur Nina karena itu yang Nina mau, menjaga jarak demi kenyamanan hati Haikal.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!