Bola Cahaya

Malam hari.

Jarum jam menunjukkan pukul satu dini ketika Nura terbangun tiba-tiba. Mulanya Nura hanya ingin ke kamar mandi. Namun selepas dari kamar mandi, entah kenapa ia malah melangkah keluar dan duduk di bale belakang rumah.

Suasana malam itu masih sangat gelap sebenarnya. Namun tak ada rasa takut yang menghampiri Nura.

Ia justru lebih senang dengan suasana malam. Waktu dimana ia bisa bebas dari mendengar suara menyebalkan nya Kak Eci sekaligus juga bisa melihat hamparan bintang dan bulan di langit.

Bukankah itu menyenangkan?

Seperti malam ini.

Nura duduk dengan posisi tangan memeluk kaki dan kepala ditengadahkan ke atas. Ia asyik menatapi titik-titik cahaya yang bertebaran cantik di langit sana.

Ia pun menikmati dering merdu para jangkrik yang kini mungkin sedang bertengger pada batang padi-padi di hadapannya.

Ah ya! Rumah Nura memang diapit oleh dua bangunan alam. Dua bangunan alam itu antara lain area persawahan di belakang rumah serta sungai yang memisahkan rumah Nura dengan jalan besar di hadapan.

Di samping kanan dan kiri rumahnya, berdiri rumah-rumah lainnya yang memanjang hingga 3 kilometer jauhnya. Rumah-rumah di pinggir kali itu memang termasuk bangunan ilegal. Meski begitu, sejauh ini belum ada aparat hukum yang bergerak untuk menertibkan lingkungan ilegal itu.

Kembali ke Nura yang kini tengah serius menatapi salah satu bintang. Bintang yang diamati oleh Nura itu posisinya berada di sebelah tenggara dekat dengan posisi bulan sabit di atas sana.

Ia menilai, bintang itu adalah bintang yang paling sering berkedap-kedip. Nura pun menduga bahwa bintang itu berkedap-kedip untuknya. Seolah bintang itu sedang menyapa ia yang saat itu masih kesal lantaran urusan 'sepatu butut'.

Maka kemudian, Nura pun balas mengedap-ngedipkan matanya dengan serius.

Kedap. kedip. Kedap. Kedip.

Jika saja Kak Eci melihat tingkahnya saat ini, bukannya tidak mungkin jika Kak Eci akan meledekinya 'anak aneh'. Dulu saja Kak Eci menjulukinya 'anak aneh' hanya karena mengajak bicara si Ono, kucing kampung belang hitam yang sering mampir ke rumah mereka.

Saat itu Nura sangat kesal hingga kelepasan melemparkan sendal ke kakaknya. Sayangnya, kejadian itu dilihat Emak sehingga ia dan Kak Eci pun dihukum untuk memasak air bersama.

Itu bukanlah hukuman yang ringan. Karena berkali-kali mereka harus bolak-balik mengambil air dari sungai ke dapur.

Beruntung Nura hanya ditugaskan untuk menjaga api tungku saja agar tetap menyala. Walau begitu, tetap saja ia harus berpanas-panas ria di depan tungku jadinya.

Seperti itulah. Oleh karena itulah sekesal-kesalnya Nura pada Kak Eci, ia berjanji untuk tidak melemparkan benda apapun lagi. Karena jika Emak tahu, bisa-bisa ia akan dihukum berat lagi.

Bersama Kak Eci pula! gak-gak lagi deh!.

Kembali ke Nura yang kini masih mengedip-kedipkan matanya ke bintang terang di atas langit.

Kegiatan itu cukup membuatnya merasa mengantuk. Apalagi udara malam itu tak sedingin biasanya.

Maka wajar saja jika beberapa menit kemudian Nura malah tertidur di bale. Lihat saja matanya yang kini mengedip lemah.

Dap...

Dip...

Dap...

...

Dip...

...

Dap...

....

...

Dip....

...

...

...

Dap...

...

...

Dip...

...

...

TUK.

Tetiba saja Nura merasa kesakitan setelah dirasanya kepalanya seperti dilempari sesuatu. Ia kemudian mendapati sebuah batu seukuran jempol yang berada tak jauh dari posisinya duduk.

Nura lalu mengambil batu itu. Setelah diamati baik-baik, batu itu ternyata memiliki garis berwarna merah yang membentuk simbol huruf "nun" Arab.

Warna merah pada simbol di batu itu nampak cemerlang di kegelapan malam. Sehingga Nura pun langsung mengagumi batu itu.

Kemudian, tetiba saja ia melihat kilasan cahaya yang berlalu cepat di jalan setapak sawah, sekitar 12 meter di depannya.

Nura yakin bahwa tadi ada 'sesuatu' di jalan yang kini kembali gelap dan sunyi.

Maka demi mengentaskan rasa penasarannya, Nura pun berdiri dan mulai berjalan ke jalan setapak itu. Sebelumnya Nura menyimpan batu yang ditemukannya tadi ke dalam saku bajunya.

Dengan berani, Nura melangkah ke jalan setapak di sawah. Ia lalu mengikuti jalan setapak itu. Hingga kemudian dilihatnya sebuah cahaya berlalu di tikungan sebelah kanan ujung jalan setapak sana.

Nura pun menggegaskan langkah. Penasaran pada apa sebenarnya cahaya yang dilihatnya itu.

Ketika Nura sudah sampai di tikungan kanan jalan, ia tak mendapati apapun di sana. Hanya ada jalan setapak lagi yang lurus membatasi dua area sawah.

Di sekitar Nura hanya ada padi-padi setinggi pundaknya yang diam seolah sedang balik memperhatikan Nura.

Nura kemudian melanjutkan langkahnya dengan perlahan. Ia memperhatikan keadaan sekitarnya dengan cermat. Berharap cahaya tadi akan muncul kembali.

Harapan Nura terkabulkan. Ia kemudian melihat kembali cahaya itu muncul di tikungan sebelah kiri di hadapannya. Ia pun bergegas berlari untuk mengejar cahaya tersebut.

Nura begitu ingin menangkap sumber cahaya yang sudah membuatnya sangat penasaran seperti ini.

Nura terus berlari dan berlari di jalan setapak area persawahan itu. Ia bahkan tak mempedulikan sudah berapa tikungan yang dilewatinya tadi.

Kanan. Kiri. Kanan. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kiri. Kanan.. ah! sudah tak terhitung!

Nura terus berlari dan berlari sampai akhirnya ia merasa letih juga. Ia hampir-hampir sudah tak mampu berlari lagi.

Nura pun kemudian berhenti berlari.

Dengan posisi ruku ia mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Ia menyesalkan karena ia tak membawa air minum.

Lagipula, siapa pula yang akan menduga bahwa ia akan mengejar cahaya aneh hingga sejauh ini.

Nura pun mengeluh ketika menyadari bahwa ia harus berjalan jauh lagi nanti ketika pulang. Dan itu tentulah akan sangat meletihkan.

Nura akhirnya menyalahkan cahaya yang sudah menyesatkannya hingga ke tempat ini. Jika bukan karena cahaya itu, sudah tentu Nura kini telah kembali ke kasurnya. Tidur lelap.

Tapi coba lihat sekarang? Di area sawah mana pulaaaa kini dia berada?

Kemudian, Nura kembali berdiri tegak dan melihat sekeliling. Hanya sawah dan sawah saja lah yang dilihatnya sejauh ia melempar pandangan.

"Emak..." Nura memanggil Emak-nya. Tapi sunyi lah yang menjawab.

"Emaak...." Lagi. Kesunyian yang menjawab Nura.

"Emaakk...hiks."

Nura kembali memanggil Emak. Kali ini diikuti oleh isakan tertahan.

Nura kemudian jongkok dan menangis. Mulai menggerung-gerung memanggil Emak-nya. Ia ingin pulang.

Tapi ia tak tahu ke arah mana ia harus melangkah. Dan ia kian kencang menangis ketika menyadari bahwa ia hanya seorang diri di kegelapan ini. Hingga kemudian...

Cahaya yang tadi menarik Nura hingga ke tempat ini, tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Cahaya itu sebesar bola sepak yang berpendar-pendar dan melayang di atas tanah sekitar satu meter di hadapannya.

Pada mulanya Nura terkejut mendapati cahaya yang dicari-cari olehnya kini malah menampakkan diri.

Tangis Nura pun berhenti dan kini ia tengah mengagumi kehangatan yang terpancar dari cahaya itu. Ia lalu berdiri dan ingin menggapai cahaya itu dengan tangan kanannya.

Tapi kemudian ia dibuat terkejut ketika mendengar sebuah suara datang dari arah cahaya itu berada.

"Maaf," ucap suara asing tersebut.

Nura terperangah. Menatap heran pada bola cahaya di hadapan nya.

'Bola cahaya itu sungguhan bicara?!' tanya Nura keheranan di dalam hati.

***

Terpopuler

Comments

Lee

Lee

Dimana kah emaknya Nura thor? lanjut

2023-02-16

0

Mommy QieS

Mommy QieS

gift 🌹 untuk mu, kak!

2023-02-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!