Jika amarah kedua orang tua Tessa telah ia perkirakan, namun respon Ibu beserta Adiknya sungguh tak pernah terbayangkan olehnya. Respon Ibu dan Adiknya sungguh di luar dugaan Owen.
“Tinggalkan dia!” Suruh Ibu Damira pada putranya.
Tessa dan Owen saling bertukar pandangan. Tanpa Tessa sadari, kepalanya menggeleng. Mau ke mana lagi dirinya. Ia sudah setuju untuk menjauh sementara dari kehidupan kedua orang tuanya, pikirnya.
Owen pun sama, dirinya tak menyangka jika sang Ibu tega berkata demikian. Pikirnya, Ibunya mungkin akan kecewa, tapi sebagai sesama wanita sedikitnya sang ibu memiliki rasa iba pada Tessa.
“Apa yang kau pikirkan, Nak. Apa yang bisa kau harap darinya. Wanita yang tak dapat menjaga kehormatannya,” ucap Ibu Damira dengan sinis.
“Wanita ini sudah merusak masa depanmu. Hal terbodoh yang kau lakukan adalah melepaskan karir cemerlangmu demi wanita murahan sepertinya!”
Samar-samar Owen bisa mendengar isak tangis Tessa. Hatinya sungguh mengiba. Dirinya seperti melihat sosok Tessa yang lain, atau mungkin inilah sosok Tessa yang sebenarnya. Wanita rapuh yang bersembunyi di balik sikap cerianya.
“Ibu, Stop!” Owen menegur Ibunya dengan tegas.
“Maaf, Bu. Aku tak akan meninggalkan Tessa,” putusnya.
Pria itu membawa satu tangan Tessa untuk ia genggam. “Semua ini sudah kupikikan, Bu.”
“Kami akan tetap menikah setelah Tessa melahirkan. Aku membawanya ke mari karena kupikir rumah ini adalah tempat di mana aku pulang dalam keadaan apa pun.”
“Jika ibu tak menerima kami, aku tak memaksa. Aku akan pergi bersama Tessa,” lanjut Owen dengan tegas.
Mendengar penuturan putranya, Ibu Damira sontak diserang panik. Begitu pun Qanita, gadis berambut panjang itu seketika berbisik kepada sang Ibu.
“Bu, sepertinya Bang Owen serius dengan ucapannya. Bagaimana nasib kita, jika Bang Owen benar-benar pergi?” bisik Qanita pada ibunya.
Ibu Damira yang tadinya berapi-api mendadak bungkam. Selama ini, Owen lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Meski ia percaya putranya tak akan mungkin mengabaikan keluarganya, namun kehadiran Tessa cukup membuatnya khawatir. Bisa saja Tessa menghasut Owen hingga putranya akan membencinya, pikir Bu Damira.
“Baiklah! Terserah apa katamu saja,” putus Bu Damira terpaksa mengalah.
“Biar bagaimana pun anak yang dikandungnya adalah darah dagingku juga,” imbuhnya dengan gaya angkuh.
“Tapi jangan mengira aku sudah menerima wanita itu,” gumamnya lirih.
Akhirnya Owen bisa kembali tersenyum. Setelah menghela napas lega, pria itu berpindah duduk ke sisi ibunya. Ia peluk dengan erat untuk mengobati rasa rindunya. “Terima kasih, Bu. Semua akan baik-baik saja, tenanglah.”
“Kumohon belajarlah untuk menerima Tessa, dia wanita yang baik,” imbuhnya.
...……….....
Saat ini Tessa sedang mengeluarkan kosmetik miliknya dari dalam koper untuk ia tata di atas meja rias. Dalam hati Tessa bersyukur, sebab Ibunda Owen masih mengizinkannya untuk menempati salah satu kamar tamu di rumah itu.
Padahal ia sudah sempat berpikir mungkin saja dirinya akan tidur bersama gadis angkuh yang selalu menatapnya sinis. Atau yang terburuk, dirinya akan dibiarkan tidur di sofa. Jika hal itu benar terjadi, entah bagaimana nasibnya.
Gerakan tangan Tessa sangat lambat. Hal itu karena sebenarnya kini ia sedang berpikir. Apa tak masalah jika Owen terus mengaku sebagai ayah dari janin yang berada di dalam rahimku? Tanyanya dalam hati.
Disibukkan dengan banyak pertanyaan dalam benaknya, Tessa tak menyadari jika sosok Owen kini berdiri di belakangnya. Owen hanya bisa menggeleng saat melihat Tessa yang melamun di depan meja riasnya.
“Ekhem,” Owen berdeham dan berhasil mengejutkan Tessa.
Tessa terperanjat saat melihat sosok Owen pada pantulan cermin di hadapannya. “Astaga! Lu ngagetin gue,” gerutunya seraya mengusap dadanya.
“Apa lu nggak bisa mengetuk pintu dulu sebelum masuk ke kamar seorang wanita?” gerutu Tessa tanpa berbalik, ia hanya menatap Owen melalui pantulan cermin.
“Gue sudah mengetuk berkali-kali, tapi karena tak ada jawaban gue langsung masuk saja,” jelas Owen. “Bahkan saat gue berdiri di sini, lu belum nyadar juga.”
Tessa tak menjawab, ia hanya mendengus. “Lu mau apa?”
“Gue ingin memberitahumu satu hal yang cukup penting,” jawab Owen. Raut wajahnya berubah serius.
“Besok gue sudah mulai bekerja di Rumah Sakit Cipta Medika. Lokasinya di pusat Kota X. Mungkin sekitar 1 jam perjalanan dengan mobil,” ujar Owen.
“Karena status kita yang belum resmi menikah, gue memutuskan untuk tinggal di mess yang disiapkan oleh pihak rumah sakit,” lanjutnya.
“Apa? Lu akan ninggalin gue di sini, sendiri?” tanya Tessa memastikan.
“Tidak, Owen. Tidak sepeti itu perjanjiannya.” Tessa sudah pasti akan keberatan dengan keputusan Owen. Jika pria itu pada akhirnya akan meninggalkannya sendiri, mengapa dia membawanya sejauh ini.
“Gue berjanji untuk bertanggung jawab atas diri lu, juga kandungan lu. Lu pikir jika gue nggak bekerja, lalu bagimana gue bisa bertanggung jawab atas kalian.” Owen berusaha untuk tetap bersabar menghadapi ibu hamil yang emosinya sedang tak stabil.
“Dan untuk menghindari omongan warga desa, memang sebaiknya kita tak tinggal serumah.”
“Gue nggak peduli dengan omongan orang. Jika pertimbanganmu sangat banyak, mengapa lu susah-susah ingin bertanggung jawab, huh?!” Tessa mulai terpancing emosi.
Sebenarnya dirinya belum siap untuk tinggal serumah dengan Ibu dan Adik Owen. Siapa pun bisa melihat bagaimana kilatan kebencian itu terpancar dari sorot mata keduanya saat menatap Tessa.
“Gue nggak pernah meminta lu untuk nikahin gue. Kupikir Ibu dan Adikmu juga begitu, mereka tak pernah setuju dengan ide pernikahan konyol ini,” lanjut Tessa.
“Pernikahan konyol katamu?” Suara Owen sedikit meninggi.
“Lalu jika bukan di sini, lu mau ke mana? Apa lu lupa, kedua orang tuamu bahkan memintamu menjauh?” Pertanyaan Owen membuat Tessa menunduk.
“Atau lu berniat kabur lagi? Menggugurkan kandunganmu, menghilangkan nyawa bayi tak berdosa? Kenapa tak sekalian saja lu juga bunuh diri!” Owen yang sudah terlanjur kesal tak lagi menyaring ucapannya.
Tessa kembali terisak. Melihat itu, Owen sadar jika dirinya sudah terlalu keras pada ibu hamil yang biasanya memang lebih sensitif.
Owen mengusap wajahnya kasar. Lalu perlahan ia memeluk Tessa yang masih dalam posisi duduk di depan meja rias. Ia belai lembut puncak kepala wanita itu.
“Bertahanlah Tessa, kumohon,” pinta Owen. “Hanya sekitar 7 bulan lagi. Gue berjanji padamu, kedepannya semua akan jauh lebih baik.”
Tessa tak menjawab. Ia hanya mengangguk dan semakin terisak. Tanpa keduanya sadari, Ibu Damira mendengar semua perdebatan antara Tessa dan putranya dari celah pintu yang tak tertutup rapat.
Wanita paruh baya itu semakin membenci Tessa. Ia kembali salah paham setelah menguping pembicaraan keduanya. Di pikirannya, jika putranya terus bertahan bersama Tessa, bisa-bisa karir Owen akan hancur.
Jika tak bisa mengusirnya, maka akan kubuat dia yang memohon untuk pergi, batin Ibu Damira.
...……….....
Keesokan harinya, Owen benar-benar pergi kepusat Kota X untuk bekerja. Dalam seminggu Owen hanya pulang pada akhir pekan saja. Namun, pria itu tak pernah memutus komunikasi dengan Tessa. Dalam sehari Owen tak pernah absen menghubungi Tessa, baik melalui panggilan suara juga panggilan video.
Meski begitu, bukannya keseharian Tessa menjadi lebih baik. Kepergian Owen menjadi mimpi buruk baginya. Hal itu karena Ibu Damira dan Qanita memanfaatkan kesempatan itu untuk berlaku buruk padanya.
Seperti suatu pagi, setelah sebulan bertahan dengan perilaku tak menyenangkan calon mertua dan adik iparnya, pagi itu Tessa terlambat bangun karena tiba-tiba saja ia merasa mual dan kepalanya pusing. Setelah mual dan pusingnya mereda, barulah Tessa beranjak menuju ke ruang makan untuk sarapan. Sayangnya, tak ada satu pun makanan yang bisa ia makan untuk sarapan.
“Permisi, Bu ... apakah sudah tak ada lagi makanan untuk sarapan?” tanya Tessa pada Ibu Damira yang sedang sibuk bermain ponsel bersama Qanita.
“Makanan?! Kau kira di sini hotel! Bangun tidur seenaknya,” jawab Bu Damira dengan ketus.
“Kau sudah dewasa. Buat anak saja kau mampu, kalau kau mau makan ... ya, kau masaklah!” Bentaknya.
Tessa menarik napas panjang guna memenangkan dirinya. Jika ia masih dirinya yang dulu, tentu dia tak akan tinggal diam. Sayangnya tak ada lagi Tessa yang dulu. Ia sudah berjanji pada dirinya untuk berubah, ada kehidupan lain di dalam rahimnya yang menuntut untuk ia jaga.
“Baiklah, Bu. Jika begitu, apa ada bahan makanan yang bisa kumasak?” tanya Tessa lagi. Meski tak seramah sebelumnya, namun Tessa masih berusaha tetap sopan.
“Kau cari saja sana! Tapi awas saja jika kau mengambil bahan makananku! Aku tak rela membagi makananku dengan wanita murahan sepertimu!” Ibu Damira lagi-lagi menghina Tessa.
Sejak saat itu, berbekal pengetahuan dari video yang ia tonton di internet, Tessa mulai belajar memasak. Pada awalnya ia harus berjalan mengitari desa untuk menemukan warung yang menjual bahan makanan. Saat memasak pun, Tessa yang tak pernah bekerja di dapur terus mengalami kesulitan. Mulai dari makanan yang hangus, makanan yang terlalu asin, hingga tangannya yang terluka karena teriris pisau.
Tak hanya soal makanan, Ibu Damira dan Qanita juga tak mengizinkan Tessa menggunakan mesin cuci hingga wanita yang perutnya semakin hari semakin membesar itu harus mencuci pakaiannya sendiri. Hal ini pun turut ia pelajari dari menonton video di internet.
Melihat Tessa yang mulai pandai mengerjakan pekerjaan rumah, membuat Ibu Damira dan Qanita memanfaatkan hal itu. Keduanya mulai memaksa Tessa untuk mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Jika Tessa menolak, Ibu Damira tak segan-segan berlaku kasar dan menyakitinya.
Tessa sendiri sudah pernah mengadukan hal ini pada Owen. Pria itu juga sudah menegur Ibu dan Adiknya. Namun keduanya selalu berkilah, beralasan jika semua yang mereka lakukan bertujuan untuk mengajar Tessa menjadi ibu rumah tangga yang baik nantinya.
Namun di samping itu semua, hal yang paling menyiksa Tessa adalah gunjingan dari para warga desa. Perutnya yang semakin hari semakin membuncit, kehamilannya tak bisa ia sembunyikan lagi. Tapi tak ada jalan lain, untuk makan ia masih harus berjalan keluar rumah untuk membeli bahan makanan.
Tatapan jijik dan meremehkan dari para warga, juga bisik-bisik mereka yang terdengar oleh Tessa menjadi hal yang paling menyakitinya dibanding semua penyiksaan yang ia terima. Dirinya merasa dianggap sebagai sampah masyarakat dan hal itu begitu melukai hati Tessa.
Waktu terus berlalu, mau tak mau Tessa harus hidup dengan semua penyiksaan fisik juga mentalnya. Ia merasa sebentar lagi akan gila jika terus seperti ini. Tubuhnya menjadi lebih kurus dan tak terawat. Kulit wajahnya kusam dengan kantung mata yang terlihat jelas.
Menyadari hal itu, Owen dilanda rasa bersalah. Apa aku sudah salah meninggalkannya seorang diri di sini? Tanya Owen dalam hati.
.......................
Tak terasa usia kandungan Tessa telah memasuki usia 40 Minggu. Owen sengaja mengambil cuti untuk mendampingi Tessa di masa-masa akhir kehamilannya.
Pagi itu, saat menjemur pakaiannya, tiba-tiba saja Tessa merasakan perutnya seperti melilit. Rasa sakit yang tak bisa ia tahan membuatnya berteriak menyerukan nama Owen.
“Owen ... Owen ... kemarilah cepat!”
Tak lama Owen muncul dengan berlari, “Ada apa?”
“Gu-gue rasa anak ini akan lahir!” pekik Tessa.
“Hah? Anak akan lahir? Maksudnya lu akan melahirkan?” Owen mendadak panik saat Tessa mengangguk sebagai jawabannya. Salahnya yang belum menyiapkan apa pun untuk keperluan persalinan juga untuk keperluan bayi Tessa.
Pagi itu dibantu dengan seorang bidan di desa, Tessa melahirkan bayi perempuan yang sangat cantik seperti ibunya. Bayi bertubuh gempal dengan kulit putih kemerahan sungguh berhasil mencuri hati Owen pada pandangan pertama.
Tangan pria itu bergetar saat pertama kali menggendong bayi Tessa. Tangis harunya berlinang tanpa permisi saat ia melantunkan adzan di telinga bayi itu. Bayi yang ia beri nama Ayasya Putri Swan.
Tak hanya Owen, Ibu Damira juga Qanita pun sama. Keduanya memuji kecantikan baby Ayasya yang ia kira adalah putri kandung Owen. Rasanya mereka juga sudah jatuh cinta dan sayang pada bayi itu.
Orang tua Tessa yang juga turut hadir dan membawa banyak sekali barang yang dibutuhkan Ayasya. Owen sampai tak tahu harus meletakkan di mana semua perabotan untuk putrinya.
Ya, Ayasya adalah putriku. Aku harus segera menunaikan janjiku, batin Owen.
Maka tepat sebulan setelah kelahiran Ayasya, Owen melamar Tessa untuk kedua kalinya. Malam itu, saat Tessa sedang menyusui Ayasya ... Owen datang dan duduk di sisinya.
“Tes, izinkan gue memenuhi janjiku sekarang. Izinkan gue untuk menikahimu. Meski belum ada cinta di hati kita, tapi mari lakukan semua ini demi Ayasya. Cukup kita yang menerima gunjingan orang-orang, jangan biarkan Ayasya merasakannya. Dia harus memiliki keluarga yang utuh yang menyayanginya,” tutur Owen.
Tessa bungkam cukup lama sebelum akhirnya ia mengangguk setuju. Meski hatinya kembali perih karena mengetahui jika belum ada cinta di hati Owen untuknya, namun ia tak peduli. Yang ia pedulikan kini hanya Ayasya.
Rupanya begini rasanya menjadi orang tua. Aku bahkan akan rela mengorbankan nyawaku demi kamu putri cantikku, Ayasya. Batin Tessa.
...-----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩմოí⁰²
hadoi ibu mu owen sifat tidak untuk di contohi btul sepatutnya mdukung ank bkn bgitu yaa
2023-07-03
0
🍒⃞⃟🦅🥑⃟kolorijo𝐕⃝⃟🏴☠️
hrsny Owen lbh peka lg, sblum mnggalkn Tessa brsma ibu dn adikny🙃
2023-06-12
1
🍭ͪ ͩ📴🍀⃟🐍⁰³❤️⃟Wᵃf
astaghfirullah.. harus bnyak ngelus dada ngadepin nih nenek lampir.. sungguh dia tidak mencontohkan seorang ibu...
boleh ga thor tuh mulut s nenek lampir aku kasih cabai banyak.. 😂
2023-06-10
0