Setelah memaksa Tessa untuk mempertemukannya dengan kedua orang tua wanita itu, Owen sudah memutuskan untuk mengakui segalanya. Tak ada yang ia sembunyikan dan pada awalnya semua berjalan lancar.
“Perkenalkan, saya Owen Nikolas.” Dengan sopan juga hormat, Owen memperkenalkan dirinya di hadapan kedua orang tua Tessa.
Melihat ada pria yang dibawa oleh putri semata wayangnya, kedua orang tua Tessa merasa sungguh bahagia. Mereka menyambut kedangatangan keduanya dengan senyum merekah. Meski selalu sibuk dengan urusan perusahaannya, Tuan Stephen dan Nyonya Fhanie selalu berusaha untuk mengetahui pergaulan putrinya.
Selama ini, setahu mereka tak ada pria yang dekat dengan putrinya. Hanya kedua sahabatnya, Phila dan Seanna yang sering menghabiskan waktu bersama Tessa. Jadi saat ada pria yang datang bersama Tessa, kedua orang tuanya memiliki harapan yang besar.
“Saya Stephen, Papi-nya Tessa.” Papi Stephen menyambut uluran tangan Owen.
“Dan ini istri saya,” imbuhnya setelah melepas jabatan tangannya.
Sementara kedua orang tuanya menyambut Owen dengan ramah, Tessa terus menunduk. Tak berani menatap netra kedua paruh baya yang telah membesarkannya. Tessa tahu beberapa saat lagi, kebanggaan mereka akan berubah menjadi kekecewaan.
“Jadi … apa yang membawamu ke mari, Owen?” tanya Papi Stephen. Bagi seorang pebisnis sepertinya, setiap detik sangat berharga.
“Kau menemui kami tiba-tiba di malam hari. Kau bahkan tak membuat janji temu sebelumnya .” Sebagai seorang yang sudah memiliki banyak pengalaman, Papi Stephen dan Mami Fhanie sadar kedatangan Owen memiliki maksud dan tujuan yang penting.
“Sebelumnya saya mohon maaf, jika kedatangan saya menggganggu waktu istirahat Anda.”
“Namun, akan lebih baik jika saya menemui Anda lebih cepat,” lanjut Owen.
Terlihat kening kedua orang tua Owen mengernyit. Keduanya menatap Tessa dan Owen bergantian. “Ada apa? Kalian jangan menakuti kami,” ucap Mami Fhanie. Kedua tangannya saling meremat.
“Saya sungguh memohon maaf jika apa yang saya sampaikan ini akan mengecewakan Tuan dan Nyonya,” ucap Owen setelah berkali-kali ia menarik napas panjang.
“Saya bermaksud untuk melamar putri Anda,” lanjutnya.
Kedua orang tua Tessa tersenyum sesaat, kemudian saling menatap. Ada binar bahagia dari sorot mata keduanya. Namun, suara isak tangis Tessa tiba-tiba saja memecah keheningan.
Sorot mata bahagia itu menghilang seketika. “Katakan pada kami, jika tangisan Tessa adalah tangisan bahagia karena kamu baru saja melamarnya,” ucap Mami Fhanie.
“Maaf,” hanya satu kata itu yang terucap dari bibir Owen.
Isak tangis Tessa semakin menjadi-jadi. Mulai memahami apa yang sebenarnya terjadi, sang ibunda pun turut menangis. Teramat sedih dan kecewa pada putri semata wayangnya.
Saat melihat air mata berlinang dari netra wanita yang melahirkannya, Tessa tak kuasa untuk tak berhambur ke hadapan ibu-nya. Ia duduk bersimpuh, memeluk kedua kaki ibunya.
“Maaf … maafkan aku, Mi.” Berkali-kali Tessa memohon maaf dari sang ibu, namun Mami Fhanie bergeming. Wanita paruh baya itu tak henti menitikkan air matanya dan enggan menatap ke arah putrinya.
Sementara itu Papi Stephen sudah berdiri. Kedua tangannya berkacak di pinggang. “Kau! Jelaskan apa maksud ucapanmu!”
“Jangan bicara panjang lebar. Katakan apa intinya!” tekannya.
“Maafkan saya, Tuan. Saya menemui kalian untuk meminta restu. Memohon agar saya diizinkan untuk menikahi Tessa,” ucap Owen dengan hati-hati.
“Mengapa kau pikir aku akan memberikan restuku semudah itu?” tanya Papi Stephen dengan suara yang mulai bergetar. Dalam lubuk hatinya ia berharap agar apa yang ia pikirkan itu salah.
“Karena Tessa kini dalam kondisi hamil. Putri Anda, sedang mengandung.” Jawab Owen.
Bisa Owen lihat kedua tangan ayah Tessa yang mengepal. Dia sudah menduga apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian. Dan benar saja, kepalan tangan Papi Stephan mendarat tepat di wajahnya.
Bugghh!!
Bugghh!!
Bugghh!!
Entah sudah berapa banyak pukulan yang diterima Owen pada wajah tampannya. Pria itu bahkan sudah tersungkur di lantai. Jeritan dari Tessa pun tak menghentikan sang ayah. Pria paruh baya itu terus memaki Owen.
Owen tak membalas semua perlakuan Papi Stephen. Kemarahan orang tua Tessa telah ia perkirakan sebelumnya. Ia biarkan ayah Tessa melampiaskan amarah dan kekecewaannya.
Bahkan rasanya ia tak memiliki cukup banyak kenangan dengan masa-masa di mana Tessa beranjak dewasa. Bagaimana mungkin ia bisa menerima kenyataan jika kini putrinya sedang mengandung? Pikir Papi Stephen.
Setelah puas memaki, meluapkan segala rasa yang bergejolak dalam dadanya, akhirnya Papi Stephen kembali duduk. Berkali-kali ia menghela napasnya saat Tessa kini bersimpuh di hadapannya.
“Ma-afkan a-aku, Pa-papi,” mohon Tessa seraya menangis di pangkuan sang ayah.
Papi Stephan memalingkan wajahnya. Ia tak ingin setetes air mata yang berlinang dari pelupuk matanya terlihat oleh putrinya.
“Kau mengecewakan Papi dan Mami,” ucapnya.
“Ya, ya, aku memang putri yang tak berguna. Katakan apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan maaf.” Tessa kembali memohon.
“Menikahlah!” Perintah Papi Stephen.
Owen berusaha agar tak tersenyum, meski dalam hatinya ia sungguh bersyukur. Tak sia-sia ia mengorbankan wajah tampannya untuk dibuat babak belur oleh calon mertuanya. Berpikir tak pantas jika ia tersenyum dalam situasi seperti ini, Owen hanya bisa menghela napas lega.
“Untuk sementara jangan muncul di sekitar kami, pergilah menjauh!” Lanjut Papi Stephen.
Air mata yang tadinya sudah berhenti berlinang, kembali membanjiri wajah Tessa. Ini yang ia takutkan, orang tuanya mengusirnya. Orang tuanya tak menginginkan kehadirannya lagi.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Owen akhirnya ikut berbicara. “Terima kasih telah merestui kami.” Ungkapnya.
“Saya mengerti, bukan karena Anda tak menyayangi putri Anda hingga memintanya pergi. Saya paham, semua itu karena Anda tak ingin Tessa menerima gunjingan dari orang-orang di sekitarnya.”
“Izinkanlah saya bertanggung jawab, Tuan. Izinkan saya membawa Tessa ke kota X, tanah kelahiran saya,” pinta Owen.
“Kau akan membiarkan putriku seorang diri di tempat yang jauh?” Kini Mami Fhanie yang buka suara.
Owen menggeleng. “Di sana ada Ibu dan Adikku, Tessa tak akan sendiri. Saya sudah siap melepaskan karirku sebagai seorang dokter di sini. Saya yakin, bisa mendapatkan pekerjaan di Kota X secepatnya.”
“Segera setelah saya mengurus semuanya, saya akan membawa Tessa ke sana. Tessa akan melewati masa-masa kehamilannya dengan tenang. Setelah melahirkan, barulah kami akan menikah,” lanjut Owen.
Ucapan Owen barusan sebenarnya menimbulkan tanya di benak Papi Stephen. Mengapa harus menunggu putrinya melahirkan baru mereka akan menikah, pikirnya.
“Percayalah Tuan, saya akan bertanggung jawab pada Tessa. Saya tak akan pernah memutus komunikasi dengan kalian. Silakan awasi saya, perhatikan apa yang kami lakukan. Saya tak akan ingkar dengan janji yang saya ucapkan,” ujar Owen.
“Saya akan bertanggung jawab pada Tessa,” ucapnya sekali lagi dengan tegas.
Mendengar dan melihat keyakinan dari Owen, malam itu Papi Stephen dan Mami Fhanie memberikan restu pada keduanya. Kedua paruh baya itu akhirnya mempercayakan kehidupan putri mereka pada seorang pria yang baru pertama kali mereka temui.
...…………...
Tak ingin membuang banyak waktu, keesokan harinya Owen segera menghubungi seorang kenalannya di salah satu rumah sakit swasta di Kota X. Seolah semesta turut memberi restu, hari itu juga lamaran pekerjaan Owen mendapatkan jawaban yang sesuai dengan harapannya.
Segera ia mengabari Tessa, ia meminta wanita itu mulai berkemas. Tak lupa pula Owen memberi kabar pada kedua orang tua Tessa. Setelah itu semua, barulah Owen mengajukan surat pengunduran dirinya di Rumah Sakit Pelita Harapan.
Bagi Owen, berat rasanya meninggalkan rumah sakit itu. Sejak menyelesaikan pendidikan kedokterannya, di sanalah pertama kali ia memulai karirnya sebagai seorang dokter.
Namun, menikahi Tessa tak kalah pentingnya. Menjadikan sumpahnya sebagai dokter sebagai alasan utama, Owen mencoba ikhlas untuk merelakan semua yang akan ia tinggalkan nanti.
Hari berganti, lima hari telah berlalu. Owen telah menyelesaikan semua urusan administrasi untuk kepindahannya. Tessa pun sama, ia sudah mengemasi barang-barang penting miliknya yang akan ia bawa. Saat keduanya bertemu, mereka akhirnya sepakat untuk menemui sahabat-sahabar mereka besok.
Besok, mereka akan mengakui segalanya juga rencana pernikahan mereka. Dan dari itu semua, hal yang paling sulit karena besok juga mereka akan berpamitan pada sahabat-sahabatnya.
...…………....
Setelah menghubungi sahabat-sahabatnya, sore ini Tessa dan Owen sudah lebih dulu tiba di sebuah restoran steak yang telah mereka sepakati untuk bertemu. Owen menyadari kecemasan dari raut wajah Tessa. Menurutnya, itu bukanlah hal yang baik jika ibu hamil untuk selalu cemas.
“Mereka sahabat-sahabatmu. Mereka menyayangimu, jangan berpikir buruk. Akan berdampak buruk pada kehamilanmu,” peringat Owen sementara Tessa hanya berdecih saja.
Sampai detik ini, jauh dilubuk hati Tessa, ia belum sepenuhnya setuju dengan semua rencana Owen. Bahkan, terkadang ia merutuki kejadian saat Owen memergokinya saat akan menggugurkan kandungannya.
Banyak hal yang dipikirkan oleh Tessa. Baik dirinya ataupun Owen, hanya bungkam. Hingga Noah dan Sea, sepasang suami istri itu yang lebih dulu tiba. Kemudian Phila yang di susul Sandy di belakangnya. Jelas keempatnya menatap Tessa dan Owen dengan raut wajah heran.
“Hai, kalian sudah datang.” Seperti biasa, Tessa yang periang menyambut kedatangan sahabat-sahabatnya.
“Maaf, jika kami meminta kalian datang dengan tiba-tiba.” Meski tampak pucat, senyuman Tessa tetap terlihat sangat cantik.
“Kami?” Sandy cukup terkejut dengan kata ‘kami’ yang diucapkan oleh Tessa.
“Sejak kapan lu dan dokter Owen menjadi kami?” tanya Phila dengan kening yang telah mengerut.
Sementara Sea dan Noah hanya bungkam, keduanya seperti sudah bisa mengetahui tujuan Tessa dan Owen mengumpulkan mereka di sini.
Tanpa diduga, Owen merangkul pundak Tessa. “Sejak Tessa mengandung anak gue,” ucapnya santai tanpa beban.
“Apa?!” Pekik Phila dan Sandy bersamaan.
Meski terkejut dan sedikit tak percaya, keempat sahabat Tessa dan Owen, akhirnya mulai mengerti setelah mendapat penjelasan dari pasangan yang sebentar lagi akan menjadi orang tua.
Sehari setelah berpamitan, tibalah hari keberangkatan Tessa dan Owen ke Kota X. Kedua orang tua Tessa juga keempat sahabatnya mengantarkan hingga ke bandara. Tessa sungguh berbeda, akhir-akhir ini ia banyak sekali mengeluarkan air mata. Tak pernah terlihat Tessa yang periang, bar-bar seperti dulu.
Butuh dua jam perjalanan udara untuk tiba di Kota X. Setelah itu, keduanya masih harus menaiki mobil selama satu jam lamanya agar tiba di kampung halaman Owen. Sebuah desa di Kota X, tempat kelahiran pria itu.
Mobil travel yang keduanya tumpangi kini berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana. Bangunan rumah tak begitu besar namun halaman rumah sangat luas. Sangat rindang sebab banyak pepohonan di sana.
Tok ... Tok ... Tok ...
Hanya beberapa menit menunggu, pintu berbahan kayu itu terbuka. Seorang gadis cantik yang diperkirakan Tessa adalah adik Owen yang membuka pintu.
“Bang Owen?!” Pekiknya.
“Qanita ....” Owen membalas sapaan gadis itu kemudian memeluknya.
“Bu ... Ibu ... Bang Owen pulang, Bu!” Teriaknya meski masih dalam pelukan Owen.
Tak lama seorang wanita paruh baya muncul dari dalam rumah. Tessa yang sejak tadi hanya berdiri mematung, menelan salivanya karena gugup. Owen melerai pelukannya bersama wanita yang bernama Qanita.
“Ayo masuk. Kamu pasti lelah, Nak,” ucap wanita paruh baya itu.
Owen mengangguk, sebelum masuk ke dalam rumah pria itu sempat menoleh pada Tessa dan memberinya instruksi dengan kepalanya agar Tessa mengikuti langkahnya. Kini ke empatnya sudah duduk berhadapan di kursi ruang tamu yang terbuat dari rotan.
“Ibu ... kenalin ini Tessa,” ucap Owen lembut dan tenang.
Wanita bernama Damira itupun tersenyum ramah pada Tessa. Tessa pun segera menyalami Ibu Damira dengan sopan.
“Aku dan Tessa akan tinggal di sini, Bu,” ucap Owen.
Raut wajah Bu Damira perlahan berubah, “Maksud kalian? Jelaskan!”
“Aku sudah mengundurkan diri dari Rumah Sakit Pelita Harapan. Setelahnya aku akan bekerja di salah satu rumah sakit di Kota X.” Owen bisa melihat betapa terkejutnya sang Ibu.
Lalu sedetik kemudian, Ibunya tampak sangat kecewa. “Benarkah ? Tapi apa alasanmu memutuskan hal itu?”
“Ka-karena aku dan Tessa akan menikah,” akunya.
“Hah? Apa? Menikah?” Betapa terkejutnya Ibu Damira dan Qanita.
“Ya, kami akan menikah setelah bayi dalam kandungan Tessa lahir,” jawab Owen.
“Bayi?” Ibu Damira semakin shock. Apakah putranya sedang bercanda? Mungkinkah ia iseng lalu menjahilinya? Batin Ibu Damira.
“Ya, Tessa mengandung anak kami.” Jawab Owen tanpa ragu seraya menoleh ke arah Tessa yang menunduk.
Ibu Damira begitu terkejut. Rasanya jantungnya ingin melompat keluar setelah mendengar pengakuan putranya. Ibu Damira bungkam cukup lama. Setelahnya ia menatap Tessa dengan tatapan yang sulit di artikan.
“Hei! Kau ... dasar wanita murahan!” Bentaknya sambil menunjukki Tessa.
“Kau ... wanita tak tahu diri yang telah merusak masa depan putraku!” Lanjutnya memaki Tessa yang kini mulai terisak.
“Bu ... kumohon tenanglah,” pinta Owen.
“Diam kau! Wanita murahan ini harus tahu, kehadirannya hanya akan membawa kesialan untukmu!”
...--------------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩմოí⁰²
demi apa ya tu owen mgaku bkn dia yf buat demi melindungi tessa dri kena bullyy
2023-07-03
0
🍒⃞⃟🦅🥑⃟kolorijo𝐕⃝⃟🏴☠️
trnyata org tua Owen ga srmah yg sy pkir🙄
2023-06-12
1
🍭ͪ ͩ📴🍀⃟🐍⁰³❤️⃟Wᵃf
ini emak² mulut nya itu loh minta ditabok..
2023-06-10
0