Anggun terkejut mendapati bapaknya meminta untuk pulang. Katanya Maryamah sedang sakit. Jelas sedikit banyak dia akan meminta izin pada atasannya, yaitu Firhan.
"Ada apalagi, Nggun?" Firhan melihat wanita itu sama sekali tidak bergairah.
"Pak, ibuku sakit. Apa boleh aku minta izin tidak masuk minimal sehari dan maksimal dua hari? Aku takut tidak keburu datang ke pabrik tepat waktu. Mungkin ibu juga membutuhkanku," ucapnya seraya memohon.
Padahal baru beberapa minggu yang lalu Anggun mendapatkan cuti selama seminggu. Firhan memang atasannya, tetapi tidak mungkin untuk melarang karyawan yang loyalitasnya cukup tinggi. Bahkan, beberapa dari mereka mengatakan bahwa Anggun adalah karyawan yang memiliki loyalitas tanpa batas.
"Pergilah! Gunakan waktumu sebaik mungkin untuk menemani ibumu. Salam buat ibumu. Semoga lekas sembuh," pesan Firhan sebelum keduanya berpisah.
Anggun bisa saja pulang menggunakan motornya. Akan tetapi dia tidak bisa karena hari sudah menjelang petang dan dia pun baru saja pulang dari pabrik. Akan sangat melelahkan dengan perjalanan yang membutuhkan waktu sekitar 2 jam dengan menggunakan bus.
"Baiklah. Aku harus pulang sekarang."
Anggun mengemas barangnya sedikit saja. Tidak lupa dia memasukkan motornya ke dalam kost. Sementara sambil jalan, dia akan mengirimkan pesan pada Jihan bahwa malam ini dia tidak akan berada di kost selama satu atau dua harian.
Sepanjang perjalanan pulang, Anggun mencoba memikirkan hal yang janggal. Kata bapaknya, ibu sakit karena mendengar kata-kata yang menyakitinya. Entah, siapa sebenarnya biang kerok yang membuat ibunya sampai sakit seperti itu?
"Aku heran. Ibu tidak biasanya seperti itu. Tumben sekali," gumamnya sambil mengamati ponselnya. Mungkin saja ada pesan balasan masuk dari Jihan.
Jarak rumah dengan terminal juga lumayan jauh. Setengah jam menggunakan motor sehingga Anggun mencoba mengirimkan pesan pada suaminya, Moiz. Beberapa hari setelah menerima transferan sebanyak yang diminta, Moiz memang minta uang lagi dengan dalih akan memperbaiki motornya.
Bukannya mendapatkan pesan balasan karena setuju untuk menjemput, Moiz malah beralasan mengantarkan ibunya sendiri berobat ke rumah sakit. Ya, ibu mertuanya Anggun katanya juga sakit.
"Ini aneh. Apa sebenarnya yang direncanakan Mas Moiz padaku? Apa dia sedang mencoba menyembunyikan sesuatu dariku?"
Ribuan pertanyaan bergelayut manja di benak Anggun. Sampailah dia di terminal bus yang saat ini benar-benar sudah malam sekali.
Bukannya mendapatkan pesan dari Moiz ataupun Jihan, Anggun malah mendapatkan pesan singkat di aplikasi hijau dari mantannya, Witha. Pria itu hanya menanyakan kabar setelah sekian lama menikah dengan wanita lain.
Anggun tak ingin membalas pesan itu karena dia harus segera menemukan tukang ojek yang bisa membawanya ke rumah. Dia tahu kalau ibunya sedang dirawat di rumah sakit, tetapi dia harus meletakkan beberapa barang lalu membersihkan diri.
"Mau ke mana, Mbak?" tanya tukang ojek.
"Kampung X, Pak. Berapa?" Anggun mencoba bernegosiasi jika ongkos ojeknya mahal, dia bisa mencari alternatif lainnya.
"Tiga puluh ribu, Mbak. Bagaimana?"
"Boleh, deh!"
Anggun menerima helm dari tukang ojek tersebut lalu dia segera naik. Pikirannya masih tentang penyebab sakit yang dialami ibunya. Kalau ada asap, pasti ada api sehingga Anggun harus mencari sumbernya.
Suasana rumah sedang sepi. Setelah membayar ongkos ojek, bergegas Anggun masuk. Rupanya bapak juga baru tiba di sana.
"Loh, Bapak kok di rumah?" Anggun heran.
"Iya. Ibumu meminta bapak untuk menjemput. Pas kamu datang, bapak juga baru sampai." Gian tertunduk.
"Loh, Mas Moiz tidak menginap di sini, Pak?" Anggun juga heran. Padahal beberapa hari yang lalu suaminya mengaku mampir ke sini dan menginap. Namun, rumah seperti hanya dihuni oleh dua orang saja.
"Sudahlah. Lebih baik kamu lekas bersiap. Ibumu sudah rindu katanya." Gian mengalihkan pembicaraan.
Anggun pun merasakan hal yang sama. Sekitar 30 menitan, dia sudah terlihat rapi dengan celana jeans dan kaos. Tidak hanya itu, dia pun menggunakan jaket senada dengan warna celananya.
Gian membonceng putri tunggalnya menuju ke rumah sakit. Sampai di sana, Maryamah sedang tertidur pulas. Kata dokter, darah tingginya meningkat lumayan drastis. Makanya Maryamah harus dirawat.
"Pak, sebenarnya ada apa?" Anggun semakin penasaran.
"Tunggu Ibumu bangun saja, Nggun. Bapak tidak enak mau cerita ke kamu."
Lagi-lagi Anggun harus menahan kecewa dengan jawaban yang diberikan bapaknya. Apa ini ada hubungannya dengan suaminya? Atau, mungkin ibunya mengetahui sesuatu mengenai Moiz?
Ah, pikirannya lari kepada suaminya yang saat ini tidak jelas keberadaannya. Bukannya menjemput istrinya, malah dia memilih mengurus ibunya. Ya, Anggun juga tahu kalau itu sama-sama penting.
"Pak, Mas Moiz ada bilang kalau ibunya sakit?"
Gian terkejut. Seakan menantunya itu memang benar-benar mempermainkan keluarganya. Bagaimana kalau Anggun tahu yang sebenarnya? Gian pasti sedih dan kecewa.
"Ehm, mungkin saja, Nggun. Setelah beberapa hari, bapak juga tidak bertemu dengannya."
Ah, lagi-lagi Gian harus berbohong pada putrinya. Padahal Gian juga tahu semuanya. Namun, dia tidak serapuh Maryamah saat menerima kabar tersebut.
Malam ini Anggun menemani bapaknya di rumah sakit. Dia pun mengatakan jika meminta izin selama dua harian untuk mengurus ibunya yang sedang sakit. Gian memakluminya karena bekerja ikut orang ada risiko yang harus diterima.
Keesokan paginya, Maryamah terbangun. Saat mengetahui Anggun masih tertidur pulas di sebelahnya, dia langsung mengelus puncak kepala putrinya.
"Maafkan ibu, Nak. Ibu tidak tahu kalau Moiz kelakuannya seperti itu. Entah, kamu sendiri bisa menerimanya atau tidak," gumam Maryamah.
Gian baru saja keluar untuk membeli sarapan. Dua bungkus nasi pecel disiapkan untuk dirinya dan Anggun. Sementara sang istri akan memakan sarapan yang diberikan pihak rumah sakit.
"Kamu sudah bangun, Maryam? Anggun sejak semalam sudah berada di sini. Kamu sudah tertidur," ucap Gian.
"Jangan berisik, Pak! Biarkan Anggun tidur. Dia pasti capek pulang dari pabrik langsung ke sini."
Anggun yang merasa mendengar orang berbincang pun perlahan membuka matanya. Saat melihat ibunya bangun, Anggun pun lekas pamit sebentar untuk menunaikan kewajibannya. Ini memang masih sangat pagi, sekitar jam 5. Sehingga masih ada waktu Anggun untuk melakukan kewajibannya.
Tidak butuh waktu lama sampai Anggun kembali menemui ibunya. Sayang, dia sudah tidak mendapati bapaknya berada di sana.
"Loh, bapak ke mana, Bu?"
"Setelah sarapan, bapakmu pulang. Dia harus membereskan rumah. Siapa tahu ibu diizinkan pulang sekarang. Kamu sarapan dulu, gih! Bapak pasti membelikan pecel untukmu."
Mana mungkin Anggun bisa makan sebelum mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi. Dia mendekati ibunya lalu duduk tepat di sebelah brankar.
"Bu, Anggun akan makan setelah Ibu cerita," pinta Anggun.
Maryamah berkaca-kaca. Dia meneteskan air mata karena tidak bisa menahan kesedihannya.
"Ibu, tolong jangan menangis. Apa pun yang akan Ibu ceritakan, Anggun akan mendengarnya."
"Ini mengenai Moiz, Nggun. Ibu minta maaf."
Dugaan Anggun tidak salah. Namun, apa sebenarnya yang diperbuat Moiz sehingga ibunya menangis seperti itu? Anggun sudah tidak sabar ingin mendengar ceritanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments