"Saya terima nikahnya dan kawinnya Anggun Maharani binti Gian Raharja dengan maskawin cincin emas seberat 5 gram, dibayar tunai."
Satu tarikan napas, Moiz Mahardika berhasil mempersunting Anggun dengan pernikahan sederhana. Pernikahan yang hanya dilakukan di KUA atas permintaan Anggun.
"Bagaimana, Saksi?"
"Sah."
"Sah."
Doa pernikahan pun dibacakan untuk kedua mempelai. Moiz terlihat sangat bahagia mendapatkan istri yang bekerja di kota. Sementara Moiz sendiri hanya seorang montir di bengkel yang berada di desa. Itu sangat berbanding terbalik dengan istrinya, Anggun.
"Nggun, setelah ini kita akan tinggal di mana? Kamu mau tinggal di rumah orang tuaku, kan?" tanya Moiz setelah kembali ke rumah orang tua Anggun.
Ya, walaupun diadakan sederhana, rupanya di rumah orang tua Anggun tetap saja ada orang yang datang untuk sekadar nyumbang dan memberikan doa restu kepada sepasang pengantin.
"Belum tau, Mas Moiz. Nanti kupikir-pikir lagi. Lagian aku juga dapat libur tidak lebih dari seminggu," jelas Anggun.
Dikata move on, lain lagi di hati Anggun. Dia merasa pernikahan ini bukan cara yang tepat untuk mengatasi masalahnya. Sejujurnya, setelah resmi menjadi suami Moiz, Anggun merasa jatuh terlalu dalam.
Masalahnya, perbandingan antara Witha dan Moiz sangatlah berbeda. Witha yang merupakan pria kota bisa mengerti Anggun sebagimana pria pada umumnya. Sementara Moiz, dia hanya pria desa yang bekerjanya pun di desa. Dia tidak akan memahami bagaimana cara kehidupan di kota yang membuat Anggun putus asa seperti itu.
Pesta pernikahan sederhana pun begitu cepat berakhir. Cuti yang diberikan perusahaan sudah habis. Saatnya Anggun kembali ke kota.
"Nggun, apa tidak sebaiknya kamu bawa Moiz ke kota bersamamu? Nanti kamu bisa mencarikan pekerjaan untuknya," ucap Maryamah, ibunya Anggun.
"Tidak bisa, Bu. Tempat tinggal Anggun jadi satu sama Jihan. Mana bisa bawa Mas Moiz ke sana? Itu akan membuat Anggun kesulitan lagi, kan? Belum lagi harus mencarikan pekerjaan untuknya. Lebih baik Mas Moiz di sini saja."
Anggun mau menjalani pernikahan secara LDM (Long Distance Marriage). Moiz pun tidak menolak keinginan istrinya karena dia sendiri bekerja di bengkel yang tidak jauh dari rumahnya.
"Bagaimana, Moiz? Anggun ndak bisa membawamu ke kota," ucap Maryamah setelah berbicara dengan Anggun berdua saja.
Kini, Maryamah harus memberikan pengertian kepada Moiz mengenai keputusan putrinya. Sebenarnya Gian, suami Maryamah tidak setuju dengan keputusan Anggun. Namun, karena Moiz sendiri bekerja, jadi tidak akan menjadi masalah untuknya.
"Ndak apa-apa, Bu. Kalau keputusan Dek Anggun memang seperti itu. Nanti Moiz bisa menjemputnya seminggu sekali."
Kembali lagi pada Moiz dan Witha. Walaupun mereka berdua sama-sama pria, tetapi Moiz juga bukan pria yang jelek. Dia cukup tampan untuk ukuran pria desa yang bersanding dengan Anggun. Hanya perlu memoles sedikit dengan pakaian bagus, maka Moiz dan Witha tidak akan kalah bersaing.
Banyak ucapan selamat atas pernikahan Anggun yang dilangsungkan secara diam-diam. Tidak hanya dari Jihan, tetapi rekan kerjanya di perusahaan pun mengucapkan selamat.
"Wah, Mbak Anggun akhirnya menikah juga. Selamat, ya!"
"Iya, Mbak. Selamat atas pernikahannya!"
Lain halnya dengan Firhan El Fatih, pria yang menjadi atasan Anggun malah senang kalau bawahannya sudah kembali. Selama cuti, Firhan harus melakukan pekerjaan yang begitu melelahkan.
"Syukurlah kalau kamu sudah kembali, Nggun. Bagaimana pernikahanmu? Lancar?"
"Iya, Pak Firhan. Terima kasih sudah diizinkan cuti sepanjang itu."
Firhan pun tersenyum manis padanya. Bukan senyuman atas dasar suka atau apa. Firhan ini pria misterius yang tidak banyak orang tahu. Pria 35 tahun yang sama sekali tertutup mengenai urusan keluarga atau apa pun itu.
"Hemm, aku tidak memberikan hadiah apa pun padamu. Bagaimana kalau aku traktir makan siang di Kafe langganan anak-anak?"
Maksud Firhan di sini adalah kafe langganan bawahannya yang lain. Beberapa dari mereka berada di divisi produksi.
"Terima kasih, Pak. Lain kali saja," tolak Anggun.
Anggun sedang lelah. Dia masih harus menyelesaikan pekerjaannya selama seminggu. Kalau menerima ajakan Firhan, yang ada dia tidak bisa keluar dari kafe dengan mudah. Mereka pasti akan menggoda Anggun dengan menanyakan bagaimana malam pertamanya? Bagaimana hubunganmu dengan suami? Setampan apa pria itu?
Seperti biasa, sore hari menjelang pulang, Jihan selalu menjemput Anggun di depan pabrik tempatnya bekerja. Walaupun sama-sama menaiki motor, Jihan tidak ingin melewatkan keseruan bersama sahabatnya.
"Anggun! Akhirnya kau keluar juga. Malam ini ngemall, yuk?" ajak Jihan.
Setelah kembali ke kota, Anggun lebih banyak bermuram durja. Dia juga tidak terlalu sering menghubungi suaminya, Moiz. Ada beberapa hal yang masih menjadi rahasia Anggun sampai saat ini. Itu tidak akan dibagikan kepada siapa pun. Hanya dirinya yang tahu dan jangan sampai orang tuanya pun tahu.
"Lain kali saja, Jihan. Aku sangat lelah. Kau tahu kan kalau aku baru saja menikah," tolak Anggun.
Anggun dan Jihan memang seumuran. Hanya saja pemikiran Jihan tidak seperti Anggun. Dia lebih membebaskan pikirannya ketimbang memikirkan masalah yang begitu rumit, terutama untuk jodoh.
"Aduh, Anggun. Ayo, ikut aku! Kita jalan-jalan. Daripada kamu suntuk sendirian."
Daripada menolak berujung pemaksaan, lebih baik ikuti saja apa permintaan Jihan. Namun, mereka harus kembali ke tempat kostnya lebih dahulu. Mereka harus membersihkan diri, lalu menyelesaikan apa pun yang perlu diselesaikan.
Malam hari, menjelang makan malam sekitar pukul 7, mereka meninggalkan kost menuju mall yang dimaksud. Jihan berniat memberikan kejutan, yaitu makan malam bersama atas pernikahan Anggun.
"Kau bisa pesan sepuasnya," ucap Jihan saat memasuki restoran yang menyuguhkan hidangan Asia.
"Jihan, kenapa harus ke sini? Kita bisa makan bakso, seblak, atau apalah itu. Jangan makanan seperti ini. Bisa menguras kantong," tolak Anggun.
Bukan karena tidak mau, tetapi takut lidah Anggun tidak cocok dengan makanan yang disajikan dari berbagai negara. Walaupun di restoran itu menyuguhkan rendang yang memang khas negaranya juga.
"Ck, apa kamu mau makan ayam geprek atau ayam penyet saja?" Jihan menawarkan.
Akan sangat sulit rasanya merayu Anggun dengan caranya saat ini. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk pindah ke food court nasi goreng.
"Nah, kalau di sini, bagaimana?"
"Lidahku cocok sama nasi goreng, Jihan. Ini seriusan kamu mau traktir aku?" Anggun mencoba memastikan.
"Iya, dong! Kan kamu sudah menikah. Sementara pas kamu nikah, aku gak bisa dateng. Nah, sebagai gantinya aku traktir kamu makan. Setelah itu, kamu minta apa pun aku kasih."
Jalan berdua dengan Jihan rasanya seperti membuang penat setelah cuti dan kesibukannya di pabrik. Saat menikmati nasi goreng yang sudah dipesan, tiba-tiba ponsel Anggun berdering.
"Siapa?" tanya Jihan.
"Suamiku."
"Yaudah, angkat dulu, gih! Jangan buat dia menunggu lama."
Anggun segera mengangkat panggilan itu. Dia sedikit menjauh karena malu kalau percakapannya akan didengar oleh Jihan.
"Assalamualaikum, Mas. Ada apa?" tanya Anggun.
"Dek, kamu lagi di mana?"
"Aku lagi makan sama temenku, Mas. Di mall, makan nasi goreng. Kenapa?" Anggun tidak pandai berbohong. Dia pun menceritakan semuanya kepada Moiz, suaminya.
"Wah, banyak duit, dong! Bisa transfer dikit buat aku, nggak? Aku belum gajian, nih!" Ini pertama kalinya Moiz meminta uang pada istrinya.
"Ya, nanti aku transfer. Butuh berapa?" Anggun memang belum paham betul siapa suaminya, tetapi dia mencoba memahami Moiz seperti wanita pada umumnya.
"Ehm, tiga ratus ribu kalau ada."
"Ya, Mas. Nanti kukirimkan. Jangan lupa kirim nomor rekeningnya," pesan Anggun sebelum Moiz mengakhiri panggilannya.
Tanpa terima kasih atau sekadar basa-basi, Moiz langsung menutup panggilan. Anggun sebagai seorang istri memang menerima cincin sebagai maharnya, tetapi sampai detik ini Moiz sama sekali belum memberikan nafkah lahir maupun batin kepadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments