"Sama siapa lo?" Bang Theo langsung bertanya padanya begitu Denis menapakkan kakinya di dalam ruangan tempat pria itu bertahta. Denis mengambil air minum dan langsung meneguknya. Bang Theo menunggu sampai Denis menghabiskan minumannya.
"Kenapa lo kayak habis maraton saja."
"Haus."
"Tau gue kalo lo haus." Terus kenapa nanya? Itu kata hati Denis. Tapi tak terucap. Dia malah hendak berlalu meninggalkan bang Theo.
"Lo belum jawab pertanyaan gue."
"Yang mana?"
"Dianter siapa tadi? Gak mungkin cewek lo kan." Bang Theo terkekeh. Ada juga keinginannya untuk menggoda Denis.
"Anak pak Fandi."
"Desti?"
"Iya."
"Wah. Tuh anak, bener-bener. Kenapa dia gak nyamperin gue?" Tentu saja bang Theo tahu putri temannya itu. Denis mengangkat bahu. Dia segera berlalu dari hadapan bang Theo. Disudut sofa, Alex memperhatikan interaksi bang Theo dan anak buahnya itu.
"Dia sudah lama ya kerja sama abang?"
"Denis?"
"Iya."
"Satu tahun kali ada."
Andi datang dengan dua bungkus makan siang buat bang Theo dan Alex. Sudah biasa dia membelikan bang Theo makan siang karena bang Theo jarang makan siang dirumah. Kecuali kalau istrinya sedang ada dirumah.
"Terima kasih." Alex yang berucap. Bang Theo melirik pria itu. Dalam penilaiannya dia dapat melihat kalau sikap Alex cukup sopan. Dalam hatinya Bang Theo merasa yakin kalau pria dihadapannya itu merupakan orang baik dan dapat dipercaya.
Mereka menyantap makan siang sambil sesekali diselingi obrolan ringan. Bang Theo secara sedikit demi sedikit ingin mengetahui lebih banyak tentang pria yang baru dikenalnya itu.
"Lo gak mau cerita tentang siapa lo sebenarnya ?" dia mulai menelisik pria itu. Sebenarnya Bang Theo sangat penasaran ingin segera mengetahui asal usul pria itu. Tapi tentu saja dia tidak bisa memaksa Alex untuk membuka dirinya. Mungkin saja pria itu masih belum mempercayainya sehingga dia belum mau mengatakan segalanya kepada Bang Theo. Begitu yang ada dalam pemikiran Bang Theo.
Alex fokus pada makanannya. Tapi sebenarnya dia sedang memikirkan jawaban apa yang harus dia berikan kepada Bang Theo. Memang benar Bang Theo berhak tahu tentang siapa dirinya. Mengingat saat ini dia akan menggantungkan hidupnya sementara waktu kepada pria yang telah menyelamatkan nyawanya itu. Kalau dia berada di posisi bang Theo mungkin dia tak segan untuk menyuruh dia pergi secepatnya dari rumah itu. Atau paling tidak dia akan lapor ke polisi tentang semua yang telah terjadi.
Tapi bang Theo tidak melakukan itu. Dia sangat mempercayainya. Bahkan sebelum dia mengatakan apa-apa.
"Lo masih punya keluarga?" tanya bang Theo ketika melihat Alex masih bungkam.
"Ada. Ayahku, ibu dan dua orang adik." jawab Alex disela suapannya.
"Lo gak mau menghubungi salah satu dari mereka? Mereka pastinya sedang khawatir sekarang."
"Aku tidak tahu harus gimana, Bang. Seseorang disana tidak kuketahui siapa telah berusaha untuk menyingkirkanku. Dan sekarang aku tidak tahu harus mempercayai siapa. Abang pasti ngerti maksudku."
"Tapi tidak mungkin keluargamu itu, 'kan? Atau lo curiga pada seseorang?"
Alex menggeleng. Dia menyelesaikan makan siangnya.
Andi datang menjeda obrolan mereka. Dia memberitahu kalau ada supplier yang mengirim barang. Bang Theo menyelesaikan makannya kemudian pergi meninggalkan Alex.
Alex menyusul keluar dari ruangan itu. Diluar dia melihat Bang Theo sedang bicara dengan seseorang. Itu pasti suplier yang dimaksud oleh Andi tadi. Matanya beredar ketempat lain. Nampak Denis sedang sibuk dengan sebuah mobil pelanggan. Dia berada dikolong mobil itu. Alex mendekat dan berjongkok didekat kaki Denis. Memperhatikan bagaimana Denis dengan cekatan memakai alat yang ada.
Denis melirik ke arah pria yang sedang jongkok memperhatikannya. Dia segera menyelesaikan pekerjaannya dan menggelosorkan dirinya keluar dari bawah kolong mobil. Dia kemudian mencoba menstarter mobil itu dan bunyi mesin terdengar begitu indah bagi orang yang berhasil membuatnya kembali menyala. Suatu kebahagiaan tersendiri bagi orang seperti Denis jika hasil kerjanya berhasil dan sesuai harapan.
Seorang pria datang mendekat.
"Gimana?"
"Beres."
Denis lalu menjelaskan sesuatu kepada pria itu. Tentang masalah yang tadi terjadi pada mobil itu dan cara menanganinya. Denis mengatakannya secara singkat namun cukup jelas. Pria itu nampak manggut-manggut. Cukup puas dengan penjelasan dari Denis. Dia kemudian membayar sejumlah uang dan berlalu dengan mobilnya meninggalkan tempat itu.
"Kamu sudah sangat profesional kelihatannya." Kata Alex pada Denis ketika mobil itu sudah berlalu.
"Biasa saja. Semua orang juga bisa." Denis duduk disebuah tumpukan ban bekas.
Alex berbalik dan masuk ke dalam ruangan Bang Theo. Membaringkan tubuhnya disofa. Kepalanya sedikit pusing. Mungkin efek dari obat bius yang diberikan penjahat itu masih tertinggal. Benar kata bang Theo, seharusnya dia istirahat saja dirumah. Jadi dia bisa tidur sepuasnya.
Denis melihat kearah Lukman yang sedang menjelaskan sesuatu kepada seorang pelanggan. Dia sedang menangani mobil orang itu. Pandangannya beralih ketika sebuah mobil berwarna silver memasuki pelataran bengkel tidak lama kemudian. Mata Denis yang tajam menatap mobil yang baru datang itu. Dia bangkit menghampiri mobil itu.
Seorang lelaki berbadan tegap keluar dari belakang kemudi. Seorang lelaki lainnya duduk disamping kursi pengemudi. Ada dua lelaki lain dikursi belakang. Wajahnya tidak kelihatan dengan jelas karena kaca mobil yang menggunakan kaca film berwarna gelap.
"Tolong diperiksa remnya." Kata pria yang baru keluar dari mobil itu. Denis tidak banyak tanya. Dia langsung mengecek rem seperti yang diinformasikan oleh pria itu. Denis melirik dengan sudut matanya pria yang masih duduk dibangku penumpang. Seorang pria dengan wajah cukup sangar. Berkulit gelap dan rambut gondrong. Raut mukanya keras tak ada senyuman sedikitpun.
"Kenapa?" Tanya seseorang dari kursi belakang.
"Kanvas-nya rusak." Denis kemudian berbicara dengan sang pengemudi mobil yang berdiri disamping mobilnya. Menjelaskan pada pria itu bahwa ia harus mengganti kanvas remnya dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama.
Pria itu masuk kedalam mobil dan bicara dengan temannya. Mungkin dia sedang minta pendapat dari temannya. Denis menunggu dengan sabar sambil matanya memperhatikan mobil yang berada dihadapannya itu. Sebuah mobil dengan plat nomor leter B. Bodinya tertutup debu cukup tebal menandakan mobil itu sedang dalam perjalanan jauh.
Pria itu kembali menemui Denis. Menganggukkan kepalanya mengerti dengan yang dikatakan pria itu. Dia memanggil Andi untuk membantunya karena dilihatnya Andi sedang tidak mengerjakan pekerjaan lain. Bang Theo datang mendekat. Matanya menyorot kearah mobil yang akan diservis oleh Denis.
"Kenapa?" tanyanya pada Denis.
"Kanvas rem rusak."
"Oh." bang Theo mengangguk. Dia menoleh ke arah pria yang berdiri dekat mobil silver itu. "Anda bisa menunggu disebelah sana, Pak." Bang Theo menunjuk ketempat yang biasa digunakan sebagai ruang tunggu para customer yang mobilnya sedang diservis. Disana ada satu set sofa dan juga air minum yang bisa digunakan oleh siapa saja. Disebelahnya ada ruangan khusus karyawan tempat para karyawan menyimpan barang pribadi mereka. Ruang tempat bang Theo terpisah dengan ruang karyawan.
Pria pengemudi mobil itu memberi isyarat kepada teman-temannya agar turun dari mobil dan duduk diruang tunggu. Tiga orang pria keluar dari dalam mobil. Postur tubuh mereka hampir sama. Hanya seorang yang turun dari kursi belakang nampak berbadan agak kecil.
Mereka duduk di sofa ruang tunggu sambil menyulut rokok. Tidak lama kemudian kepulan asap rokok membumbung memenuhi ruang tunggu itu. Pria yang pertama turun mengeluarkan ponsel dan langsung fokus dengan benda itu. Mereka kelihatannya tidak terlalu banyak bicara. Hanya kadang mata mereka saling berbalas tatap.
Denis fokus dengan pekerjaannya. Sesekali dia bicara dengan Andi yang dengan sigap menjadi asistennya. Pengunjung bengkel semakin berkurang karena hari menjelang sore. Bengkel biasanya tutup pukul empat atau pukul lima sore. Kadang bisa sampai malam kalau ada pelanggan yang memaksa untuk menunggu kendaraannya. Bang Theo dengan sabar menghadapi pelanggan yang keras kepala. Dia juga harus membujuk karyawannya agar mau melayani pelanggan yang tidak mau mengerti bahwa karyawannya juga manusia. Mereka butuh istirahat dan punya kehidupan pribadi.
Untunglah bang Theo yang baik membuat semua karyawan patuh pada perintah bang Theo. Tidak ada seorangpun yang membantah. Bukan karena takut tapi mereka memang tahu membalas budi. Tak ingin mengecewakan sang majikan. Tanpa mengeluh mereka mengerjakan tugas mereka sampai tuntas.
Pria pengemudi mobil itu menghampiri Denis setelah agak lama dia menunggu.
"Gimana? Masih lama?" tanyanya.
"Bentar lagi, Bang." jawab Denis. Matanya melirik wajah pria itu.
"Kalau bisa cepetan. Gue lagi buru-buru." Denis tidak menyahut. Malas harus meladeni orang seperti itu. Andi melemparkan tatapannya pada Denis. Menunjukkan rasa tidak sukanya pada customer seperti itu. Denis hanya menggerakkan kepalanya pelan. Mengerti dengan arti tatapan Andi. Kalau mau dikatakan dia juga tidak suka dengan orang seperti itu. Tapi dia lebih memilih untuk diam dan tidak menanggapi.
Akhirnya Denis dan Andi selesai melakukan pekerjaannya. Dia membereskan alat-alat yang tadi digunakan. Para pria itu segera pergi membawa mobil mereka setelah menyelesaikan pembayaran.
Hari semakin beranjak senja. Mobil terakhir telah pergi meninggalkan tempat itu. Ada beberapa mobil yang ditinggal pemiliknya untuk dikerjakan besok. Denis dan teman-temannya bersyukur dengan pelanggan yang pengertian dan mau menunggu hari esok untuk mengerjakan mobil mereka. Cukuplah untuk hari ini karena mereka pun butuh istirahat seperti juga yang lainnya.
*****
Bang Theo baru keluar dari kamarnya setelah membersihkan diri dan berganti pakaian. Dia menuju meja makan untuk makan malam bersama keluarga kecilnya. Sisil sedang duduk disofa ruang keluarga menunggu papanya. Memainkan ponsel ditangannya untuk mengisi waktu. Membalas pesan dari teman-temannya dengan sesekali tertawa sendiri.
Dia mendongakkan wajahnya ketika tahu papanya datang. Tersenyum manis menyapa pria itu.
Bang Theo menjatuhkan dirinya disamping Sisil.
"Mamamu belum pulang?" tanyanya sambil mengambil remot TV. Sebelum Sisil membuka mulut menjawab pertanyaan papanya, suara mesin mobil terdengar memasuki halaman rumah.
"Tuh. Mama datang."
Tidak lama kemudian Fani memasuki ruangan dimana suami dan anaknya sedang menunggu. Senyuman dibibirnya menyapa kedua orang yang sangat dicintainya itu.
"Mama!" Sisil merangkul mamanya dengan manja. "Mama gak ke klinik?"
"Hari ini hari apa? Kamu lupa?" Fani mencubit hidung putrinya dengan gemas. Sisil tersenyum manja dengan matanya yang menyipit. Hari ini hari Kamis. Setiap Selasa, Kamis dan Minggu mamanya tidak ada jadwal di klinik. Dia punya jadwal dirumah sakit sehingga pulang agak malam.
"Mama mandi dulu deh. Kita nunggu mama buat makan malam." Bang Theo mengusap rambut istrinya. Fani tersenyum. Dia segera berlalu ke kamarnya untuk mandi. Tidak memerlukan waktu lama dia sudah kembali.
Mereka kemudian menuju meja makan dan mulai menyantap hidangan yang telah disediakan oleh Bi Nani.
"Pa." Sisil membuka suara. Dia meminta perhatian papanya yang sudah mulai menyantap makanannya.
"Hmm."
"Ihh papa."
"Iya Sisil sayang. Ada apa."
Sekarang Sisil jadi pusat perhatian. Mamanya menunggu apa yang akan Sisil katakan kepada papanya. Dia tidak pernah melarang orang bicara dimeja makan. Justru menurutnya di meja makanlah kesempatan sebuah keluarga untuk saling bicara. Inilah kesempatan yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk saling mengakrabkan diri antar anggota keluarga.
"Hari Minggu kak Denis libur kan?"
"Kenapa?"
"Mau minta nemenin Sisil."
"Memang Sisil mau kemana?"
"Sisil mau cari buku ke mall X. Cuma disana yang ada toko buku lengkap, 'kan." Sisil benar-benar melancarkan rencananya yang sudah dibuat bersama teman-temannya.
"Bilang aja kamu mau ajak Denis jalan ke mall." Fani mengerlingkan matanya menggoda putrinya. "Mama kan bisa nganter kamu kalau hari Minggu. Iya kan pa?"
Bang Theo mengangguk. Setuju dengan yang dikatakan istrinya. Lagipula sudah lama mereka tidak menghabiskan hari libur bersama.
"Ihh. Beneran, Ma. Sisil butuh buku itu. Lagian Sisil gak sendiri kok. Rame-rame perginya."
"Siapa saja?"
"Anggi, Rani, sama Gina." Sisil menyebutkan nama temannya satu per satu.
"Gimana pa. Boleh gak?" Sisil beralih kepada papanya.
"Apa?" bang Theo malah menggoda putrinya.
"Papa!"
"Iya, iya." Bang Theo terkekeh. Senang karena berhasil membuat putrinya kesal.
"Iya apa?"
"Iya boleh."
"Boleh apa?"
"Boleh ajak Denis, kalau Denisnya mau. Kalau dia gak mau, ya gimana lagi. Masa harus dipaksa."
"Ya, papa paksa dong. Kalau papa yang bilang 'kan pasti kak Denis mau."
"Lagian kenapa sih pengen banget diantar Denis?" Sekarang giliran mamanya yang menggoda Sisil.
"Kak Denis 'kan bisa jagain kita ma. Kalau kita ada yang ganggu gimana?"
"Papa juga bisa jagain kamu."
"Ihh. Gak mau sama papa. Nanti malah banyak aturan dadakan disana. Gak boleh ini, gak boleh itu. Harus begini, harus begitu. Sisil 'kan jalan sama teman, Pa. Malu dong, masa dikawal sama papa."
"Iya, iya. Nanti papa bilang sama Denis. Lagian masih lama, 'kan? Sekarang baru hari Kamis."
"Terima kasih papaku yang ganteng baik hati dan tidak sombong. Mmuach." Sisil mengecup pipi papanya kemudian giliran mamanya yang mendapat kecupannya. Cepat-cepat dia menghabiskan makan malamnya. Sudah tidak sabar untuk mengabarkan berita baik ini pada teman-temannya.
Setelah makanannya habis dia pamit pada kedua orangtuanya untuk masuk kamar. Dia meninggalkan ruang makan dengan langkah riang. Bang Theo geleng-geleng kepala melihat tingkah putrinya.
"Papa yakin ngijinin dia jalan sama teman-temannya?" Fani bertanya setelah Sisil menghilang dari pandangannya.
"Iya. Gak apa-apa. Lagian ada Denis. Papa percaya sama dia." Keduanya menyelesaikan makan malamnya. Fani merapikan meja makan sebelum kemudian bi Nani datang mengambil alih pekerjaannya. Fani dan bang Theo masuk ke kamar dan menyambung pembicaraan disana.
"O iya. Orang yang kemarin papa tolong gimana. Apa dia sudah sehat?"
"Sudah. Tadi dia ikut ke bengkel." Bang Theo duduk di tepi pembaringan. Membuka pesan yang belum terbaca di ponselnya.
"Apa dia tidak menghubungi keluarganya?"
"Dia belum mau."
"Kenapa? Pasti keluarganya kehilangan dia sekarang 'kan?"
"Papa juga gak ngerti. Tapi biarlah. Dia pasti punya pertimbangan sendiri."
Bang Theo menyimpan ponsel di atas meja kecil sebelah pembaringan.
"Dia minta ijin buat tinggal disini sementara waktu. Dia bilang, dia pengen nyelidiki siapa orang yang telah jahat sama dia. Caranya gimana papa gak tahu." Bang Theo menatap istrinya. Melihat reaksi di wajahnya. Fani membaringkan tubuhnya dan menarik selimut menutupi kaki sampai ke pinggangnya.
"Papa percaya sama dia?"
Bang Theo ikut membaringkan tubuhnya di sebelah istrinya. Menatap langit-langit kamarnya.
"Papa lihat dia bisa dipercaya orangnya."
Fani menghela nafas.
"Dia ini beda sama Denis pa. Orang ini berhubungan dengan penjahat. Bagaimana kalau kita dapat masalah nantinya." Ada nada kekhawatiran dalam suara istrinya. Bang Theo mengerti.
"Dia bilang hanya sebentar aja numpang disini."
"Kalau menurut mama sih sebaiknya kita lapor polisi aja pa. Lebih baik kita minta bantuan mereka sebelum ada kejadian yang tidak kita inginkan." Fani mencoba memberi saran yang menurutnya paling masuk akal.
"Iya. Nanti papa pikirkan." Bang Theo memiringkan tubuhnya, menghadap istrinya. Menyentuh rambut istrinya dan menatap dengan tatapan yang penuh makna. Fani membalas tatapan suaminya itu dengan senyuman yang sangat indah dalam penglihatan bang Theo. Percakapan mereka berakhir begitu saja. Berganti dengan helaan nafas yang terdengar syahdu dimalam yang semakin dingin.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Shellia Vya
kyk nya mobil silver itu penjahat yg membuang Alex kejurang deh
2021-08-13
2
Jeng Anna
Sepertinya itu mobil yg nyelakain Alex yah
2021-08-06
1