Dikantin sekolah. Sisil dan tiga orang temannya duduk dengan empat mangkok baso dan empat gelas jus jeruk. Kompak sekali mereka hari itu. Memesan makanan dan minuman yang sama.
Mereka menikmati makan siang sambil tak henti saling melempar tanya dan jawab. Sesekali mereka tertawa lepas. Mereka seolah tidak peduli dengan lirikan sinis orang-orang disekitar mereka yang merasa terganggu oleh suara mereka yang berisik.
"Kamu beruntung ya Sil, tiap hari ketemu sama kak Denis," celetuk Anggi setelah reda tawanya disela suapan sesendok baso ke dalam mulutnya.
"Bukan hanya ketemu, tapi diantar jemput tiap hari," Rani menimpali sambil menjentikan jarinya.
"Apa istimewanya? Aku merasa biasa saja." Sisil mengangkat kedua bahunya.
"Biasa saja kata kamu? Ihh, kamu tuh ya. Orang sekeren kak Denis kamu bilang biasa saja?" Giliran Gina mendecih. Dia benar-benar tidak mengerti dengan cara pandang Sisil. Selalu berbeda pendapat dengan teman-temannya yang lain.
"Dia merasa biasa saja, sebab tiap hari ketemu sama kak Denis."
"Betul." Sisil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Rani. Dia menyambar cepat ucapan temannya itu.
"Apa kamu gak ada perasaan suka gitu sama kak Denis?" Tanya Gina penuh rasa penasaran. Dia menyeruput minumannya.
"Suka. Pake banget." Sisil mengerlingkan matanya. "Dia itu biarpun dingin begitu, tapi dia itu baik banget orangnya."
"Kalau gak baik, gak mungkin papa kamu biarin dia tinggal di rumah kamu, 'kan?" Rani menimpali. Sisil mengangguk setuju.
"Jangan lupa, dia itu keren banget." Anggi menambahkan. Keempatnya tak henti memuji Denis. Seseorang yang dalam pandangan para abege itu sangat menarik. Sangat keren. Penampilan Denis urakan tapi sangat dingin menjadi daya tarik tersendiri. Sikapnya yang pendiam namun memiliki tatapan mata yang tajam seakan menghipnotis semua orang yang berhadapan dengannya. Terlebih bagi para abege seperti Sisil dan teman-temannya yang baru beranjak remaja. Mereka baru mulai menyimpan rasa suka kepada lawan jenis.
"Eh. Siang nanti dia jemput kamu gak?" tanya Anggi.
"Gak tau tuh. Kalau dia gak sibuk ya biasanya dia jemput. Itupun kalau disuruh sama papa. Kalau gak disuruh ya dia gak jemput."
"Kalau kak Denis yang jemput, kita langsung ajak dia jalan yuk," Gina melontarkan ide. Yang lain mengangguk setuju, kecuali Sisil.
"Enggak deh. Papa aku gak bakalan ngasih ijin. Dia kan kerja. Mana bisa diajak jalan seenaknya."
"Iya juga sih.Gimana kalau hari Minggu kita ajak dia jalan. Minggu dia libur, 'kan? Jangan bilang kalau papa kamu gak ngasih dia libur Sil."
"Minggu sih dia libur."
"Sip! Kalau gitu, Minggu kita jalan. Kamu ajak dia ya." Gina kelihatan sangat bersemangat. Tapi tidak dengan Sisil. Dia mengerutkan keningnya.
"Gimana aku ngomongnya sama kak Denis? Dia itu ya, susah banget kalau urusan seperti ini. Aku rasa dia bakalan nolak deh."
Tentu saja Sisil sangat hapal dengan semua kebiasaan Denis. Denis gak akan mau diajak untuk sesuatu yang gak jelas. Tiga temannya sama-sama berfikir. Mereka juga tahu kalau yang dikatakan Sisil itu benar.
"Gimana kalau kamu bilang sama papa kamu, yang kalau kamu ada perlu, mmm..misalnya mau beli buku. Terus kamu minta papa kamu supaya nyuruh kak Denis yang nemenin kamu." Rani melontarkan ide cemerlangnya yang langsung disetujui oleh semua temannya. Wajah mereka tiba-tiba semringah yakin ide itu akan berhasil.
"Oke. Aku akan bilang begitu sama papa." Senyum lebar di bibir Sisil diikuti ketiga temannya. Mereka saling beradu telapak tangan. Menandakan hasil musyawarah sudah final dan disetujui semua orang.
"By the way, teteh-teteh yang jatuh dari motor tadi itu siapa ya?" Gina merubah sedikit alur pembicaraan. Dia ingat accident didepan gerbang sekolah tadi pagi.
"Kalau gak salah sih itu kakaknya Monica, anak kelas 9F." Rani yang menjawab.
"Kok kamu tahu?" tanya Sisil. Dia menyingkirkan mangkok bakso yang sudah kosong dari hadapannya. Dihirupnya jus jeruk yang tinggal separuh sampai habis.
"Aku sering melihat teteh-teteh itu nganter si Monica-Monica itu." Ujar Rani, yang lain manggut-manggut.
"Tadi dia gak apa-apa kan?" tanya Gina.
"Lecet dikit kakinya. Kayaknya gak parah. Paling dia terkejut aja," ujar Sisil.
Bell tanda waktu istirahat habis terdengar nyaring. Keempat remaja itu bangkit dari tempat duduk mereka dan bergegas menuju kelas. Disepanjang jalan mereka masih membahas rencana untuk hari Minggu yang akan datang.
Mereka teman satu kelas. Berteman semenjak kelas tujuh membuat mereka akrab satu sama lain. Empat cewek itu sudah terkenal satu sekolah karena kebersamaan mereka. Selalu berempat. Walaupun mereka sebenarnya tidak pilih-pilih teman, tapi sepertinya teman mereka yang segan kalau harus bergabung dengan mereka. Lagipula mereka sudah merasa cocok dan saling memahami. Sedangkan orang lain kadang justru tidak merasa cocok dengan mereka.
*****
Di bengkel, Denis sudah menyelesaikan pekerjaannya untuk mengecek mobil Fandi. Dia mengecek dengan teliti. Tak ingin ada yang terlewatkan sehingga membahayakan pemiliknya nanti. Dia bermaksud menyerahkan kunci mobil pada bang Theo.
"Lo antarkan langsung kerumahnya, Den. Fandi bilang dia gak sempat ambil karena urusannya belum kelar. Nih alamatnya." Bang Theo menyerahkan secarik kertas ke tangan Denis yang tertera alamat rumah Fandi. Denis membacanya sekilas kemudian memasukannya kedalam saku bajunya. Tanpa banyak bicara dia segera masuk kedalam mobil Fandi dan menjalankannya meninggalkan bengkel.
"Dia itu siapanya abang?" Alex bertanya ketika Denis sudah menghilang dari penglihatannya.
"Siapa?" Saat itu bang Theo sedang mengecek daftar barang yang baru dikirim oleh supplier.
"Denis."
"Dia itu..seseorang yang sudah gue anggap sebagai sodara," jawab Bang Theo dengan mata masih terfokus pada buku daftar barang.
"Apa dia gak suka sama saya?"
"Memang kenapa?"
"Dia gak bicara sama sekali sama saya."
Bang Theo tertawa.
"Dia memang begitu. Orangnya pendiam. Tapi kalau sudah beraksi, dia begini." Bang Theo mengacungkan jempolnya. "Gue justru suka sama dia. Dia itu kalau kata orang sono sih , less talk do more. Gitu deh haha.."
Alex tersenyum menanggapi ucapan bang Theo.
Sejak pagi dia menemani bang Theo diruangannya. Sebenarnya bang Theo menyuruhnya istirahat di rumah, tapi Alex tidak mau. Dengan alasan takut bang Theo akan berfikiran negatif terhadapnya.
Dia sadar kalau dia adalah orang asing bagi bang Theo dan keluarganya saat ini. Dia tidak mau kalau bang Theo punya prasangka buruk padanya jika dia tinggal dirumah. Walaupun dirumah ada bi Nani dan mang Jana, tapi dia tidak mau membuat takut kedua pembantu itu dengan keberadaan dirinya.
Itulah sebabnya dia berkeras untuk ikut bang Theo ke bengkel walaupun dia belum merasa pulih sepenuhnya. Dia tidak menghiraukan saran bang Theo agar dia istirahat di rumah.
"Apa abang tidak takut saya akan berbuat jahat sama abang?" tanyanya pada bang Theo ketika bang Theo keukeuh menyuruhnya diam dirumah.
"Gue percaya sama lo."
"Abang terlalu baik sama orang."
"Gue berbuat baik buat gue sendiri. Dan gue percaya, kalau lo berbuat jahat maka kejahatan itu bakal kembali pada lo sendiri."
"Abang benar-benar berhati mulia."
"Enggak juga. Gue cuma berfikir kenapa hidup ini harus dibikin ribet. Kita bikin simple aja. Ada yang susah, kita tolong. Ada orang datang, kita terima. Kalau orang itu mau pergi, ya kita persilakan. Orang jahat gak perlu dibalas dengan kejahatan. Tapi orang baik, wajib kita balas dengan kebaikan," ujar Bang Theo panjang lebar. Alex menganggukan kepalanya berulangkali. Dia kagum dengan prinsip yang dipegang oleh lelaki yang telah menolongnya itu.
"Dan lo tahu? Gak ada yang kebetulan didunia ini. Semua terjadi atas kehendak Yang Diatas." sambungnya. "Kayak lo kemaren. Diawali telepon dari temen gue yang mobilnya mogok dijalan. Kalau gue gak pergi kesana buat nolongin temen gue, gak bakalan gue bisa nolongin lo dari dalam jurang itu, 'kan. Semua itu sudah ada yang mengatur."
"Abang yang angkat saya dari dalam jurang itu?"
"Denis kayaknya yang paling kesusahan ngangkat lo..hehe..gue cuma narik aja dari atas."
"Oo."
"Lo gak menghubungi keluarga lo?" tanya Bang Theo sesaat kemudian. Alex terdiam. Dia mengusap rambutnya dari arah depan ke belakang.
"Belum. Nanti aja."
Bang Theo tidak bertanya lagi. Dia fokus pada pekerjaannya. Alex merebahkan dirinya disofa yang berada di ruangan itu.
Sedangkan ditempat lain, Denis baru saja sampai disebuah rumah di alamat yang diberikan oleh bang Theo. Dia menekan bel pintu dua kali kemudian menunggu. Seseorang membuka pintu setelah agak lama dia mematung disana.
Sosok seorang gadis menyembul dari balik pintu. Denis agak terkejut melihat gadis itu. Begitu juga dengan gadis itu. Matanya sedikit melebar melihat Denis.
"Rumah Pak Fandi?" Denis mendahului gadis itu membuka suara.
"Iya. Saya putrinya." Gadis itu menyahut.
"Ada perlu apa ya?" Tanyanya kemudian. Matanya menoleh kearah mobil ayahnya yang terparkir dihalaman.
"Mengantar mobil." Denis menyodorkan kunci mobil kepada gadis itu.
"Oh. Kamu kerja di bengkel?" gadis itu memperhatikan Denis dari ujung kaki ke ujung kepala. Sangat berbeda dengan tampilannya tadi pagi ketika mereka bertemu di gerbang sekolah. Tentu saja. Saat ini Denis sedang menggunakan seragam kerjanya.
Denis menganggukan kepalanya. Menggoyangkan kunci yang masih berada ditangannya dan tak urung diambil oleh gadis itu.
Gadis itu tersenyum.
"Aku telpon ayah dulu ya. Kamu tunggu sebentar." Gadis itu masuk kedalam rumahnya tanpa menunggu jawaban dari Denis. Denis menggaruk tengkuknya yang yang tidak gatal sama sekali. Dia fikir tiba disana dia hanya perlu memberikan kunci mobil dan kembali ke bengkel secepatnya. Tapi ternyata pemilik mobil tidak ada dirumah. Dia malah bertemu dengan gadis yang tadi pagi motornya jatuh di depan gerbang sekolah Sisil. Ternyata dia anaknya Pak Fandi.
Denis menoleh cepat kearah pintu rumah ketika gadis itu kembali muncul.
"Ayah bilang pembayarannya akan ditransfer langsung."
Ish! Siapa juga yang nunggu uang pembayaran servis! Denis menggerutu dalam hati. Dia hanya perlu menyerahkan kunci mobil itu saja. Dia tahu siapa Fandi. Pria itu langganan tetap bengkel Bang Theo. Lagipula dia teman dekat Bang Theo.
"Saya permisi." Denis membalikan tubuhnya untuk segera meninggalkan tempat itu setelah gadis itu mengambil kunci mobil dari tangannya.
"Bisa tolong lihat motorku sebentar?" gadis itu menghentikan langkahnya." Aku merasa gak enak gitu bawanya tadi."
Denis berfikir sejenak. Tak ada salahnya mengecek sebentar motor gadis itu. Toh dia yang telah membuat gadis itu terjatuh tadi. Jadi sudah sewajarnyalah kalau dia bertanggungjawab.
"Mana motor kamu?" tanyanya.
"Disana," gadis itu menunjuk ke garasi samping rumahnya. Denis segera beranjak menuju tempat yang ditunjuk oleh gadis itu.
Dia menghidupkan motor matic berwarna pink milik gadis itu sambil memperhatikan tiap sudutnya dengan seksama. Gadis itupun memperhatikannya. Memperhatikan Denis. Bukan motornya. Denis dapat merasakan tatapan gadis itu. Kepalanya menggeleng pelan. Nafasnya menyembur begitu saja dari mulutnya. Merasa jengah.
"Kenapa?" gadis itu dapat melihat keresahan Denis. Dia berfikir mungkin ada sesuatu yang salah dengan motornya. Walaupun sebenarnya, dia hanya mencari alasan saja agar bisa menahan Denis lebih lama disana dengan menyuruh Denis memeriksa motornya.
"Gak apa. Ini oke. Kalau ada masalah kamu datang saja ke bengkel." Denis mematikan mesin motor. "Saya permisi."
Dia memutar tubuhnya tanpa menunggu jawaban gadis itu.
"Kamu kembali ke bengkel?" mau tak mau langkah Denis kembali terhenti.
"Ya."
"Naik apa?"
"Angkot."
"Aku antar ya."
"Gak usah. Terima kasih."
Kembali kakinya melangkah. Tidak tahu dibelakangnya gadis itu menunjukan ekspresi kecewa. Dia terpaku menatap punggung Denis yang semakin menjauh. Matanya membulat ketika tiba-tiba langkah Denis terhenti. Yang ditatapnya mendongakkan wajah dan memijit ujung alisnya.
Gadis itu melangkah mendekati Denis.
"Kenapa?"
Denis membalikan tubuhnya. Menunduk dengan tangan masih dialisnya.
"Gue lupa kalau gak bawa uang. Bisa pinjam buat ongkos angkot?" tanyanya tanpa segan. Tapi sesungguhnya dia mengucapkan kata-kata itu setelah menekan dalam-dalam rasa ego yang sangat dia junjung tinggi.
Gadis cantik itu tiba-tiba tersenyum. Dia sudah bertanya-tanya sendiri dalam hati kenapa cowok keren itu tiba-tiba berhenti. Sekarang dia merasa lucu demi melihat ekspresi Denis yang nampak tidak berdaya dihadapannya.
"Namaku Desti." Gadis itu malah mengulurkan tangannya. Denis menghela nafas kasar. Malas sekali dengan adegan ini. Kenapa juga dia bisa lupa untuk membawa uang. Seharusnya dia ingat benda penting itu ketika akan mengantar kendaraan milik customer. Semua barang pribadinya memang selalu ditinggal di ruang karyawan jika sedang bekerja. Dia hanya memakai seragam kerja.
Sekarang tangan gadis itu masih terulur dihadapannya. Menunggu tangannya untuk menyambut uluran itu. Dengan malas dia membalas uluran tangan gadis yang bernama Desti itu.
"Denis."
"Denis? Desti?" gadis itu mengikik. "Pas banget namanya ya."
Apa peduliku? Pekik Denis dalam hati.
"Jadi? Bisa pinjam uangnya?" tanyanya dengan tak sabar.
"Aku antar kamu saja deh. Kamu yang bawa motornya." Dan keputusan itu sepertinya tidak bisa diganggu gugat. Desti menyerahkan kunci motor ke tangan Denis. Senyumannya mengembang dibibirnya. Denis mendengus kesal. Mau tak mau dia menerima kunci itu. Desti menyerahkan sebuah helm yang dia ambil dari dalam garasi kepada Denis. Dia memakai helm yang lain dikepalanya.
Akhirnya dia berhasil duduk dibelakang tubuh Denis. Motor melaju meninggalkan halaman rumah itu menuju bengkel tempat Denis bekerja.
Dibelakang tubuh Denis, gadis itu memikirkan caranya agar bisa mengajak Denis bicara setelah agak lama motor melaju.
"Kamu asli orang sini?" tanyanya agak sedikit berteriak untuk mengalahkan deru mesin motor dan kendaraan lain yang berpapasan dijalan.
"Bukan."
"Orang mana?"
"Jauh."
Hening. Hanya deru motor yang terdengar.
"Sudah lama kerja sama Om Theo?" Suara gadis itu kembali terdengar.
"Ya."
"Berapa lama?"
"Setaun."
"Oh."
Hening lagi.
"Kamu ke sekolah tadi ngantar siapa? Adik kamu ya?"
"Bukan."
"Jadi ngantar siapa?"
"Anaknya bang Theo."
"Oh."
Desti menggaruk-garuk dagunya. Bola matanya berputar. Pun begitu dengan otaknya. Berputar-putar mencari kata-kata yang bisa membuat percakapannya dengan Denis terus berlanjut.
"Anak Om Theo kelas berapa ya?"
"Gak tau."
"Oh. Oke."
Motor berhenti. Desti celingukan merasa heran.
"Kenapa berhenti?"
"Dah nyampe." Denis turun dari motor tanpa menunggu gadis itu turun terlebih dahulu. Tangannya masih memegang stang motor dan memberi isyarat kepada gadis itu untuk mengambil alih kemudi.
Nampak raut kekecewaan diwajah gadis itu. Dia merangsek maju untuk duduk lebih ke bagian depan. Memegang stang motor menunggu Denis yang sedang melepaskan helmnya.
"Thanks," katanya sambil menyerahkan helm pada gadis itu. Desti menerima helm itu dengan bibir yang tertarik kesamping. Sebuah senyuman yang sangat dipaksakan.
"Sama-sama." Sahutnya dengan suara pelan. Nyaris tak terdengar.
Dia masih ingin lebih lama bersama dengan Denis. Dia sangat berharap Denis mau ngobrol dengannya. Tapi itu hanya tinggal harapan saja. Karena pada kenyataannya, sekarang Denis sudah melangkah jauh dari hadapannya. Meninggalkan gadis cantik itu yang bahkan mulutnya belum menutup sempurna setelah mengucapkan kata 'sama-sama'. Agak lama Desti terpaku ditempat itu. Menatap Denis sampai dia menghilang dibalik sebuah mobil yang sedang diservis di dalam bengkel itu.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Shellia Vya
Wah kebetulan sekali,tadi pagi pas gak sengaja ketabrak gayanya kyk orang polos deh kok setelah ketemu dirumah kyk kecentilan gitu si Desti 🤔
2021-08-13
1
Utine Agata Afkar Andra
😍😍😍
2021-08-08
1
Elegi Senja
aku lanjut baca 😍
2020-10-27
1