Bang Theo datang kembali bersama seorang wanita yang cukup cantik. Tangan wanita itu menenteng sebuah tas berwarna putih. Dia masuk kedalam kamar menghampiri lelaki asing yang masih tak sadarkan diri. Memeriksa denyut nadi pria itu. Menyorot matanya menggunakan senter kecil. Memeriksa detak jantungnya dengan teliti.
"Gimana?" bang Theo sangat penasaran. Lukman dan Denis memperhatikan dari luar. Mereka sama penasarannya dengan bang Theo.
"Dia baik-baik aja. Kayaknya orang ini dibius jadi agak lama sadarnya." jawab wanita itu. "Biarkan aja dulu. Kita tunggu aja sampai dia sadar."
"Apa gak perlu dirawat dirumah sakit?"
"Gak perlu. Keadaannya stabil kok."
Mereka kemudian keluar dari kamar itu dan menutup pintunya.
"Abang gak mau lapor polisi?" tanya wanita itu pada bang Theo.
"Enggak lah. Kita lihat aja nanti kalau orang itu sudah sadar."
"Abang udah makan belum?" wanita itu menatap lembut wajah bang Theo. Dia tahu pria yang merupakan suaminya itu selalu mementingkan orang lain daripada memperhatikan dirinya sendiri.
"Belum."
"Makan dulu yuk. Denis kamu juga pasti belum makan. Lukman. Ayo semua makan di dalam aja." wanita itu mengedarkan pandangannya kepada semua orang yang ada disitu.
"Kita makan disini aja, mbak. Bi Nani udah nyiapin makanan buat kita." Lukman menolak secara halus ajakan wanita itu.
"Aku juga makan disini aja sama anak-anak." bang Theo menimpali.
"Ya udah kalau gitu aku ikut kalian disini." wanita itu mengalah. Senyuman tulus terukir dibibirnya. Lukman segera menyiapkan makanan dimeja makan. Mereka duduk mengitari meja makan. Mulai mengisi piring dengan nasi dan lauknya.
"Emang bi Nani kemana?" tanya bang Theo pada istrinya.
"Pulang ke rumahnya. Besok pagi kesini lagi. Ada anaknya yang tinggal diluar kota datang tadi."
"Oh."
"Sisil udah tidur ya?"
"Kayaknya sih udah. Dari tadi dia udah masuk kamar." istrinya menyahut. Hening sejenak. Hanya suara sendok beradu dengan piring yang terdengar. Gerimis masih turun membasahi bumi. Semilir angin membawa hawa dingin menusuk kulit.
"Abang gak takut orang itu orang jahat?" istrinya kembali memecah keheningan.
"Kita gak bisa menebak asal aja sama orang. Dia membutuhkan pertolongan ya kita tolong aja dulu. Urusan lain belakangan." ujar bang Theo santai. Istrinya diam tak membantah ucapannya. Dia tahu sifat suaminya seperti apa. Dia juga memiliki sifat yang mirip dengan suaminya. Sama-sama memiliki empati yang tinggi pada sesama.
"Lagian kalau orang itu macam-macam kan ada Denis buat ngelawan. Hehe..Betul gak?" bang Theo terkekeh sambil matanya mengerling ke arah Denis. Orang yang dimaksud diam tak menanggapi. Istrinya mengangguk setuju dengan ucapan bang Theo.
"Denis, besok tolong antar Sisil sekolah ya. Mbak harus ke klinik pagi-pagi. Dokter Irsyad ngambil cuti jadi agak kewalahan kalau gak ada gantinya." wanita itu beralih kepada Denis. Denis yang sedang mengunyah makanannya mengangguk faham.
"Baik, mbak," katanya setelah berhasil menelan makanannya.
Mbak Fani, istri bang Theo, dia seorang dokter umum yang berdinas di sebuah rumah sakit pemerintah. Dia juga membuka praktek disebuah klinik bersama beberapa orang temannya. Dia praktek dipagi hari sebelum jam kerja di rumah sakit dan sore hari setelah pulang kerja. Kadang sampai jam sepuluh malam dia ada di klinik itu. Usianya sekitar 40 tahun, lima tahun lebih muda dari bang Theo. Mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang beranjak remaja bernama Sylvia atau kalau dirumah dia biasa dipanggil Sisil. Usianya baru akan genap 15 tahun bulan depan. Dia sekolah disebuah SMP favorit kota itu di kelas sembilan.
Sejak Denis tinggal dirumah itu setahun yang lalu, dia sering mengantar jemput putri bang Theo itu. Kadang mbak Fani yang mengantar sambil sekalian dia berangkat kerja kalau dia tidak praktek di klinik. Anaknya sih gak manja. Dia mau mau aja kalau harus naik kendaraan umum. Tapi mbak Fani sangat khawatir dengan putrinya itu sehingga sering memaksa Sisil agar mau diantar jemput.
Mereka menyelesaikan makan malam sambil masih ngobrol banyak hal. Kadang tentang pekerjaan mbak Fani. Kadang tentang pekerjaan bang Theo. Kemudian membahas tentang lelaki asing yang kini terbaring didalam kamar.Terakhir mereka membuka pintu kamar yang didalamnya ada pria asing itu. Hanya memastikan dia baik-baik saja.
Mbak Fani mengatakan bahwa pria itu baik-baik saja dan akan tersadar dengan sendirinya seiring berkurangnya efek obat bius. Setelah itu bang Theo dan mbak Fani pamit untuk istirahat di rumah utama.
"Lo jagain tu orang, gue ngantuk. Mo tidur." Lukman berlalu kekamarnya tanpa menunggu jawaban Denis. Denis cuma melirik sedikit ke arah Lukman. Menghempaskan tubuhnya disofa yang ada disitu. Memandang sesaat kearah kamar yang pintunya tertutup rapat. Dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
Kamar itu adalah kamarnya. Tempat dia melepaskan lelah setelah seharian bekerja dibengkel milik bang Theo. Tepatnya sejak setahun yang lalu.
Ingatannya kembali ke saat itu. Saat dia mendorong motor ninjanya yang mogok setelah beberapa jam dipacu dijalanan. Hampir sepanjang setengah kilometer dia mendorong motornya yang tiba-tiba mogok di tengah jalan. Bensinnya masih ada karena baru satu jam yang lalu dia mengisi fulltank ketika dia melewati sebuah SPBU.
Dia mendorong motornya sambil melihat kiri kanan barangkali ada bengkel yang masih buka. Waktu itu sudah jam delapan malam. Dia berharap ada bengkel yang masih buka dijam segitu. Rasa lelah sudah hampir membuat dia menyerah.
Dia menghembuskan nafas lega ketika sebuah bengkel yang cukup besar masih buka. Tapi sepertinya seorang karyawan bengkel sedang bersiap untuk menutup tempat usahanya itu. Dia menoleh kearah Denis yang datang dengan motornya.
"Udah tutup, Mas. Besok saja." katanya tanpa menunggu Denis bersuara. Denis menatap kecewa. Seorang lelaki keluar dari sebuah ruangan sambil membawa sebuah tas.
"Ada apa, Lukman?" tanyanya pada karyawannya. Matanya menyipit memperhatikan Denis.
"Motor saya mogok, Mas. Tolong dong. Saya dalam perjalanan jauh nih." kata Denis mengiba. Lelaki itu memperhatikan Denis dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Seseorang dengan postur tubuh yang cukup tinggi dan berisi. Terbalut jaket kulit warna hitam dan celana jeans belel dengan lubang dibagian lututnya. Jari tangannya terbungkus sarung tangan kulit warna hitam. Helm masih menempel dikepalanya. Sebuah backpack nangkring dipunggungnya.
Lelaki itu menggaruk kepalanya. Sepertinya ia percaya kalau sosok didepannya itu memang sedang dalam perjalanan jauh. Apalagi plat nomor kendaraannya terlihat jelas berasal dari ibu kota.
"Gimana ya. Kita udah tutup sebenarnya. Tadi kita ada urusan sebentar jadi belum pulang." Dia menoleh kearah anak buahnya yang bernama Lukman seolah sedang meminta pendapatnya.
Denis membuka helm dikepalanya. Menampilkan rambut cepaknya yang agak semrawut. Wajahnya kelihatan jelas tersorot lampu. Berwarna putih bersih terawat. Ada tindikan ditelinga kirinya.
Lelaki itu, bang Theo, pemilik usaha bengkel itu. Badannya tinggi besar dan berwajah tampan namun kelihatan agak garang. Tidak seperti tampilan luarnya. Ternyata dia memiliki hati yang lembut dan mudah tersentuh. Dia tak tega melihat Denis yang jelas sedang memerlukan bantuannya. Dia tahu, jam segini sudah tak ada bengkel yang buka. Ada yang buka 24 jam, tapi jaraknya sangat jauh dari situ.
"Lu periksa dulu, Man. Lihat dulu apa masalahnya." bang Theo menoleh kearah Lukman. Cowok yang dimaksud nampak mendesah pelan. Nampaknya dia enggan kalau harus mengotori lagi tangannya. Tapi tak urung juga dia mendekat kearah motor Denis.
"Kalau saya gak salah sih koilnya rusak kayaknya bang." kata Denis ketika Lukman mencoba menghidupkan mesin motornya.
"Wah. Lu tahu mesin juga ya." Bang Theo mendekat. Sedikit tertarik dengan orang yang belum dikenalnya itu.
"Sedikit bang." Denis memperhatikan Lukman yang sedang jongkok memeriksa motornya.
"Gak bisa servis sekarang nih. Gak ada spare part. Paling besok. Itupun nunggu dulu." kata Lukman sambil berdiri. Dia menatap bang Theo yang mengernyitkan keningnya.
"Beneran gak ada, Man? Bukannya berapa hari yang lalu udah pesen?"
"Iya bang. Paling besok. Lu tinggal disini dulu motor lo malam ini." Lukman menatap sekilas yang empunya motor. Denis terdiam.
"Rumah lo dimana?" bang Theo yang bertanya.
"Jakarta." Denis menjawab singkat.
"Tujuan lo mau kemana? Masih jauh ya?"
"Jauh bang."
"Habis sekarang lo mau tidur dimana?"
Denis terdiam sesaat. Memikirkan jawaban untuk pertanyaan itu. Dia sendiri tidak tahu harus tidur dimana. Di hotel? Dia tidak punya uang sebanyak itu hingga harus sewa hotel. Dia harus mengirit pengeluarannya sekarang ini. Apalagi motor yang digunakannya mogok ditengah jalan seperti ini. Dia tidak tahu berapa biaya yang harus dikeluarkannya nanti. Sedangkan perjalanan masih jauh untuk sampai ke tempat yang dia tuju.
"Mau numpang dimesjid aja," jawabnya kemudian. Bang Theo menoleh cepat kewajahnya. Cukup terkejut dengan jawaban Denis.
"Yakin lo mau numpang dimasjid?" tanyanya. "Yang gue tahu ya, ada masjid dekat sini tapi kalau malam pintunya dikunci. Lo gak bisa masuk. Dibukanya nanti subuh."
"Diluar gak papa. Yang penting bisa istirahat." sahut Denis.
"Dah. Lo ikut gue aja ke rumah. Motor masukin Man ke dalam." katanya kemudian ditujukan kepada Lukman. "Udah malam nih. Kita pulang."
"Gak usah bang. Aku gak mau ngerepotin abang." Denis meringis. Dia merasa sungkan kalau harus menerima tawaran lelaki itu. "Lagian abang gak kenal saya."
"Ya kita kenalan aja sekarang. Nama gue Theo. Itu Lukman karyawan gue. Dia tinggal dirumah gue," bang Theo mengulurkan tangannya pada Denis. Denis menyambut uluran tangan itu sambil menyebut namanya.
"Denis."
"Ya udah. Lo bantu si Lukman markir motor lo didalam. Insyaallah disini aman."
Denis mengangguk. Dia kemudian mendorong motornya masuk ke dalam ruangan diikuti Lukman yang mengarahkan dia harus menyimpan motornya di sebelah mana. Setelah itu Denis membantu Lukman menutup rolling door dua lapis. Menguncinya dengan gembok dan sekali lagi memeriksanya dengan seksama.
Sebuah mobil masuk kehalaman bengkel mendekati tempat bang Theo berdiri. Denis yang menoleh kearah mobil itu segera meluru kearah bang Theo. Dia merasa curiga dengan orang yang berada didalam mobil itu. Dua orang pria dengan penutup wajah turun dan secepat kilat merebut tas yang disandang dibahu bang Theo. Bang Theo yang terkejut hampir melepaskan tasnya. Tapi kesadarannya langsung kembali dan dia mempertahankan tas itu. Denis yang berada agak jauh segera berlari mendekat dan melayangkan sebuah tendangan kearah pria yang sedang menarik tas bang Theo. Pria itu terhuyung jatuh dan pegangannya terlepas.
Bang Theo mundur sambil memeluk tasnya. Matanya waspada melihat dua orang penjahat itu. Yang seorang lagi nampak mengeluarkan pisau dan mengacungkannya kearah Denis. Denis menatap tajam kedua pria itu. Dia mewaspadai pergerakan dua orang itu. Sedangkan Lukman terdiam menggigil didekat rolling door yang baru dia gembok.
Pria dengan pisau mulai menyerang Denis, tapi dengan mudah Denis menendang tangan orang itu hingga pisau yang dipegangnya terlempar jauh. Dia menoleh kearah temannya yang terlebih dahulu telah dijatuhkan oleh Denis. Mereka saling mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Kemudian bergegas masuk kedalam mobil yang langsung tancap gas meninggalkan tempat itu.
"Lo gak apa-apa bang?" Denis menoleh ke arah bang Theo setelah mobil para penjahat itu tidak kelihatan lagi.
"Gila. Ini pertama kalinya gue mau dirampok. Ma kasih, Den. Untung ada elo." Bang Theo masih memeluk erat tasnya. Dia kemudian menoleh kearah Lukman yang masih terpaku ditempatnya semula.
"Kenapa lo diam aja, Man? Sini lo!"
Lukman tergagap. Ini juga pengalaman pertama dia melihat percobaan perampokan secara nyata didepan mata. Dan dia berkesempatan melihat perlawanan Denis yang kelihatan tak ada rasa takut sama sekali. Sungguh dia merasa kagum kepada orang yang baru dikenalnya itu. Sangat jelas dari gerakannya kalau Denis memiliki ilmu bela diri.
Lukman mendekat kearah bang Theo dan Denis. Wajahnya yang semula pucat sudah berdarah kembali.
"Wah. Lo hebat, Den. Salut gue sama lo. Kalau gak ada lo gak tahu deh. Gue pasti gak bisa nolongin bang Theo." ucapnya tulus. Bang Theo mengangguk-anggukan kepalanya. Setuju dengan kata-kata Lukman.
"Kita pulang sekarang. Lo dah periksa semuanya kan, Man?"
"Sudah bang."
Mereka kemudian menuju mobil milik bang Theo. Setelah mobil keluar, Lukman menyeret pagar dan menguncinya. Kemudian kembali masuk kedalam mobil dan meninggalkan tempat itu.
Mereka tiba dirumah ketika jam menunjukkan pukul 09.30 malam. Mobil langsung masuk kehalaman belakang rumah yang cukup megah itu. Sebuah mobil lainnya kelihatannya baru sampai juga disitu. Seorang wanita sedang mengambil tas dari dalam mobil. Dia menutup pintu mobil dan berdiri menunggu sampai bang Theo turun dari mobilnya.
"Baru pulang, bang? Banyak kerjaan ya?" tanyanya sambil mendekat kearah bang Theo. Dia istri bang Theo bernama Fani.
"Siapa ini?" tanyanya kemudian ketika melihat orang asing turun dari mobil suaminya.
"Kenalin ini Denis. Den, ini istri abang. Namanya Fani." bang Theo mengenalkan kedua orang itu. Denis menyalami istri bang Theo dengan hormat. Tersenyum sedikit saja disudut bibirnya. Mbak Fani memperhatikan penampilan orang yang bersama suaminya itu. Tampilannya urakan tapi gestur tubuhnya cukup sopan. Mungkin itu yang ada difikirannya. Tapi sebenarnya dia tidak terlalu bermasalah dengan tampilan seperti itu. Dia sudah terbiasa bertemu dengan orang-orang seperti itu. Suaminya lah yang telah membuat dia mengenal banyak orang dengan tampilan berandal. Suaminya kerap mengingatkannya untuk tidak menilai orang dari penampilannya. Nilailah orang dari hatinya. Begitu katanya.
"Dia akan bermalam disini." Kata bang Theo kemudian.
"Sebelah kamar Lukman kosong. Kamu bisa tidur disana," ujar mbak Fani.
"Terima kasih, mbak, bang. Kalian tidak mengenal saya ,tapi kalian sangat baik pada saya."
"Udah gak usah sungkan sama gue. Lo juga udah nolongin gue tadi. Gue gak bakal bisa balas pertolongan lo itu," bang Theo menepuk bahu Denis yang terasa kekar dibalik jaketnya.
"Nolongin apa, bang?" Mbak Fani nampak terkejut. Dia memfokuskan tatapannya kepada bang Theo. Suaminya itu akhirnya menceritakan kejadian beberapa waktu lalu yang terjadi dihalaman bengkel. Mereka duduk disofa yang ada disitu. Menceritakan semuanya secara detil tak ada yang terlewat sedikitpun. Dia kelihatan sangat menghargai pertolongan Denis. Orang itu, bang Theo dan istrinya begitu tulus berterima kasih pada Denis.
"Jadi kamu sedang mencari kerja, Den?" tanya bang Theo setelah dia selesai bercerita pada istrinya. Mbak Fani nampak begitu serius mendengarkan cerita suaminya. Dia tak berhenti bersyukur karena suaminya selamat dalam kejadian itu. Dia juga berulangkali mengucapkan terima kasih pada Denis yang telah menolong suaminya.
"Iya bang." jawab Denis singkat.
"Gimana kalau lo kerja dibengkel gue aja. Lo juga kayaknya paham dengan mesin. Kebetulan gue juga lagi nyari pegawai baru buat bantu-bantu dibengkel." kata bang Theo sambil menatap istrinya seolah sedang minta persetujuan darinya melalui tatap matanya. Mbak Fani mengangguk pelan menyetujui kata-kata suaminya.
"Abang percaya sama saya?" Denis nampak sedikit terkejut mendapat tawaran kerja dari bang Theo."Abang bahkan tidak mengenal saya dengan baik."
"Insyaallah gue percaya sama lo. Semoga aja lo juga menjaga kepercayaan gue sama lo."
Denis begitu terharu dengan ketulusan bang Theo dan istrinya. Dia mengerjapkan matanya yang tiba-tiba terasa panas. Menekan kedua sudutnya kemudian menatap bang Theo dan istrinya bergantian.
"Terima kasih bang. Terima kasih mbak."
Sejak saat itu dia berada dirumah ini. Tinggal disebuah kamar dibagian belakang rumah megah itu. Dia merasa nyaman tinggal bersama mereka. Semua orang disana berhati mulia. Bang Theo, mbak Fani, Lukman, bi Nani, mang Jana. Dan ada seorang lagi. Sylvia.
**********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Shellia Vya
Suka.....1 bab aja panjang bgt ceritanya
2021-08-12
0
Elegi Senja
semangat kak... aku selalu dukung karyamu 🤗🤗🤗
2020-10-25
2