Episode Dua

Masih pagi tapi Fatih sudah menekuk wajahnya. Apalagi saat sambungan telepon baru saja di matikan. Benar kata Sarah-istrinya, diteror terus tentang anak membuat pikirannya menjadi penat.

"Masuk," perintah Fatih saat mendengar pintu ruang kerja diketuk. "Bram?"

"Masih pagi, Brother, tapi wajah sudah kusut saja," kata Bram seraya duduk di sofa.

"Bram, kamu akan mengerti jika kamu ada di posisi saya."

"Soal anak?" tebakan Bram tepat sasaran. "Banyak cara untuk mendapatkan seorang anak. Kamu banyak uang lalu apa susahnya?"

"Masalahnya Sarah tidak menginginkan hal yang sama. Sedangkan mama maunya anak kandung." Fatih menghela nafas. "Jangan menyarankan untuk menikah lagi," tolak Fatih saat melihat seringai di wajah Bram.

"Saya belum mengatakan apa pun," kekeh Bram.

"Tapi ekspresi mu mengatakan seperti itu."

"Kamu mau dengar saran dariku?" Fatih mengangguk dan memberi waktu agar Bram melanjutkan perkataannya. "Kamu ingin anak yang asli dari benih kamu itu sebenarnya mudah. Kamu tinggal mencari seorang perempuan yang mau menyewakan rahimnya. Namanya surogasi, di mana anak yang tumbuh berasal dari benih milikmu."

"Memang ada perempuan seperti itu?" tanya Fatih.

"Banyak. Biasanya mereka yang ingin mendapatkan harta dengan mudah rela menyewakan rahimnya. Tinggal kamu cari orang-orang seperti itu lalu kamu tunjuk yang menurut kamu memiliki kulitas super. Untuk menunjang pertumbuhan Fatih junior. Kalau soal bibit sudah pasti super 'kan?"

Fatih tergelak, merasa ucapan Bram terlalu konyol. Selama ini dia belum pernah mendengar soal sewa rahim atau sistem ibu pengganti.

"Aku serius," lanjut Bram.

Kemudian mereka fokus membahas soal pekerjaan.

***

Jarak tidak menjadi penghalang bagi seorang Zahra. Meskipun semalam kurang tidur tapi pagi ini sudah siap di depan layar komputer. Bahkan Alin saja baru tiba.

"Aku pikir kamu tidak masuk, Ra."

"Kalau tidak, dari mana cara aku untuk membayar uang yang aku pinjam?"

Ruangan yang tadinya ramai mendadak hening saat Fatih memasuki ruangan tersebut dan menemui supervisor-nya.

"Masya Allah cakepnya suami orang," bisik Alin yang tidak ditanggapi oleh Zahra. "Ra!" Alin kembali memanggil saat Zahra seperti tidak tertarik dengan apa yang dia katakan.

"Iya?" Zahra menoleh.

"Kamu tidak tertarik sama Mr. Fatih?"

"Tidak."

"Oh berarti kamu tidak normal," balas Alin dan mulai fokus pada pekerjaannya. Kali ini dia tidak ingin mencari perhatian pada Mr. Fatih, lagi pula sudah ada Mr. Bram.

Tidak lama seorang OB menghampiri meja kerja Zahra menyerahkan kopi.

"Maaf, saya tidak memesan kopi," tolak Zahra.

"Tapi kata kurirnya untuk, Bu Zahra."

Berhubung mata Zahra terlihat menahahan kantuk akhirnya ia pun menerimanya.Tak apalah sesekali dia minum kopi. "Tolong katakan terima masih pada yang kirim."

"Maaf, Bu, saya saja tidak tahu siapa yang kirim," kata si Ob dan lekas kembali pada pekerjaan.

Fatih tersenyum melihat Zahra menerima kopi yang dia pesan. Dia sengaja masuk ke ruangan ini hanya untuk melihat Zahra. Semalam dia melihat perempuan itu pergi terburu-buru, jadi dia khawatir akan terjadi sesuatu.

Kali ini Zahra turun ke kantin saat waktu makan siang tiba. Tubuhnya memang lelah apa lagi harus pulang pergi Jakarta-Bandung. Belum lagi harus kerja lembur untuk mendapat uang tambahan.

"Kalau capek ya istirahat saja, Ra. Ambil waktu cuti dua atau tiga hari. Kasihan tubuh kamu kalau diporsir untuk bekerja. Ini bukan masa penjajah jepang di mana tubuh harus bekerja rodi setiap hari."

"Mana bisa aku leha-leha, Lin. Sekarang ibu dalam masa membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Aku juga tidak mungkin terus meminta bantuan padamu. Jadi bekerja memang solusinya."

Sengaja Alin dan Zahra memilih turun lewat tangga untuk menghilangkan rasa ngantuk. Rupanya di belakang mereka ada Fatih dan Bram yang mendengarkan dan sengaja melakukan hal yang sama dengan kedua perempuan di depannya. Tentu Bram memang memilki alasan lain untuk turun menggunakan tangga. Biasanya dia akan menemui kekasih gelapnya di sana.

Akan tetapi kali ini dia tidak bisa menemui Alin keran ada Fatih dan juga Zahra.

"Coba saja tawarkan saranku tadi pagi," ujar Bram.

"Pada dia?" Fatih menunjuk punggung Zahra.

"Ya. Bukankah tadi kamu mendengar sendiri kalau dia sedang membutuhkan uang."

"Tapi sepertinya dia akan menolak."

"Mencoba lebih baik dari pada tidak sama sekali. Bukan begitu?" Bram menepuk pundak Fatih.

Usai makan siang Fatih meminta Zahra ke ruangannya melalui supervisor-nya.

Zahra dan Alin saling melirik. Apa mereka melakukan kesalahan, itu yang terpikir di benak Zahra, tapi kenapa hanya dirinya yang di panggil. Alin tidak?

Dia pun duduk di seberang pemilik perusahaan dan hanya terhalang meja kerja.

"Kemarin malam saya tanya gaji pokoknya cukup atau tidak 'kan. Sekarang saya ingin tahu kenapa kamu sering lembur sedangkan yang lain tidak. Kamu sengaja melalaikan pekerjaan agar bisa lembur?" tanya Fatih dengan suara khas seorang atasan pada bawahan.

Sayang pesona tampannya tidak mampu menggoyahkan seorang Zahra. Namun dibalik tatapan tajam itu ada sorot lain yang mendominasi dalam benak seorang Fatih.

"Tidak, Pak. Anda bisa memeriksanya melalui supervisor. Saya ambil kerja lembur murni untuk meringankan pekerjaan hari esok. Tentu pada akhirnya bermuara pada pendapatan uang saya dapat di akhir bulan.

"Kamu sedang butuh uang?"

"Benar, saya sedang butuh uang," balas Zahra dengan eksperi tenang. Tidak perlu merasa takut karena dia tidak melakukan kesalahan. Pekerjaan bersih dari godaan setan akan harta. Dia juga tidak memiliki bakat menjadri seorang koruptor.

"Saya bisa membantu kamu untuk mendapatkan uang lebih."

"Anda akan memberi saya pinjaman?"

Fatih tersenyum, "bukan. Melainkan mengajak bekerja sama."

"Saya tidak paham maksud anda, Pak."

Fatih menyandarkan tubuhnya, "Kamu pernah mendengar istilah ibu pengganti?" Zahra mengangguk, sekarang dia paham kemana arah tujuan pembicaraan atasannya. "Bagaimana tanggapan kamu soal istilah itu?"

"Ini hanya pandangan saya dari sisi si ibu pengganti. Ada beberapa faktor yang menyebabkan dia mau menyewakan rahimnya. Salah satunya adalah fakator kebutuhan. Mungkin kalau ada cara lain yang memudahkan untuk memenuhi kebutuhan sepertinya dia tidak akan melakukan itu. Walau pun benih yang ditanam di rahimnya bukan miliknya tapi tetap saja bayi itu tumbuh melalui darah dagingnya. Tetap saja dia ibunya. Lalu ibu mana yang rela menyerahkan anaknya hanya karena demi uang."

"Lalu bagaimana jika kamu yang mendapatkan tawaran itu?"

"Saya akan menolaknya."

"Karena?"

"Pertama, mengacu pada hukum islam. Di mana haram hukumnya menanamkam sel ****** pada rahim yang bukan istrinya. Kedua mengacu pada nasab anak yang lahir. Anak yang lahir di luar pernikahan yang sah maka dia dinyatakan milik ibunya, artinya anak tersebut tidak memiliki ikatan apa pun pada si ayah biologis. Tidak peduli siapa pemilik benih sesungguhnya. Lalu siapa yang rugi? tentu si anak. Apalagi andai yang lahir adalah perempuan, sedangkan anak perempuan itu membutuhkan wali saat dia akan menikah."

"Lalu apa yang akan anda katakan ketika si anak bertanya, kenapa harus menggunakan wali hakim? Bukankah aku masih punya ayah. Apa anda akan mengatakan, Nak kamu terlahir dari hasil surigasi dan tercipta diluar pernikahan. Apa perasaan anak perempuan itu akan baik-baik saja?"

Kini giliran Fatih yang membuat orak untuk mendapat jawaban dari serang pertanyaan Zahra. Sungguh dia tidak menyangka kalau perempuan ini sangat lurus biasa. Pantas dia merasa tertarik untuk terus memperhatikannya.

Dari jawaban pajang Zahra dapat Fatih tangkap kalau dia menawarkan kesepakatan padanya tentu akan mendapat penolakan.

"Apa anda berniat menawarkan kerja sama itu pada saya?"

Deg.

Terpopuler

Comments

Farida Wahyuni

Farida Wahyuni

bagus zahra.
semua yg dikatakan zahra itu bener semua.

2023-01-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!