Episode empat

"Benar, dua calon ibu penggantinya," kata Fatih tanpa memedukikan tatapan tajam dari Zahra.

"Tunggu!" Zahra angkat bicara. Enak saja tiba-tiba dia harus menjadi ibu pengganti padahal jelas-jekas dia sudah menolak. "Bukankah saya sudah mengatakan bahwa saya menolaknya, Me Fatih."

"Ya benar, anda menolaknya, tapi anda sudah menerima uangnya. Artinya anda setuju." Fatih menyeringai. Rupanya kata meminjamkan hanya sebuah kamuflase untuk mengelabui Zahra. Dia menyukai Zahra, dan menginginkan anak darinya.

Zahra tersenyum sinis. "Anda tidak akan pernah mendapatkan anak dari saya. Urusan uang yang sudah saya terima dan saya gunakan, akan saya kembalikan. Anda tidak perlu khawatir akan kehilangan uang."

"Saya tidak membutuhkan uang itu. Saya membutuhkan rahim anda dan anda harus mau mengandung anak saya," tekan Fatih.

"Tidak, itu tidak akan pernah terjadi sama sekali. Jika anda menginginkan anak dari perempuan itu maka anda harus menikahinya. Akan tetapi maaf, saya bukan perempuan yang senang menjadi istri kedua dan saya tidak suka menyakiti hati sesama kaum saya. Saya harap anda paham perkataan saya kali ini." Zahra meninggalkan ruangan itu dengan perasaan dongkol.

Berbeda dengan Fatih yang masih terlihat santai.

"Kau memaksanya?" tanya dr. Friska yang ternyata sangat akrab dengan Mr. Fatih.

"Aku bukan hanya menginginkan anak darinya, tapi aku juga menginginkan dia."

Dokter Friska menatap tidak percaya sambil menggelengkan.

"Cepat atau lambat dia akan menjadi milikku dan aku akan memiliki anak darinya," kata Fatih penuh percaya diri.

***

Sudah hampir satu minggu ibunya Zahra dirawat dan dokter mengatakan belum ada perubahan signifikan dari ibunya.

Mau tidak mau dia harus pulang-pergi Jakarta-Bandung dan itu mulai menguras energinya. Hari ini dia tetap memaksakan masuk kerja meski tubuhnya mulai menunjukan gajala sakit.

"Sudah siap, Kak?" tanya Hilal yang akan mengantar kakaknya ke stasiun menggunakan motor.

"Iya, sebentar!" Zahra kembali meneguk air putih.

"Kakak baik-baik saja? Kalau sakit lebih baik istirahat saja."

"Tidak, ini hanya karena kakak kurang tidur saja. Nanti di kereta akan tidur dan membaik."

Tidak dapat dicegah ketika seorang Zahra yakin pada apa yang dia kerjakan. Beruntung saat tiba di tempat kerja dia masih memiliki waktu untuk istirahat. Dia menundukan kepala di atas meja untuk tidur sejenak.

Alin mengerutkan kening. Tidak biasanya jika Zahra tertidur seperti itu. "Ra," dia menggoyahkan bahu temannya itu, tetapi hawa panas dirasakan oleh tangannya. Zahra demam.

"Ra, Zahra."

"Iya, Alin?" Zahra menjawab dengan suara pelan.

"Kamu sakit? Mau aku buatkan izin tidak masuk?"

"Tidak perlu, aku masih bisa bekerja kok." Zahra mengangkat kepalanya dan memasang senyum.

"Yakin? Jangan bandel, Ra, tubuh kamu sudah protes dan meminta istirahat. Dzolim namanya kalau kamu abai."

"Alin aku akan tetap bekerja tapi tidak akan ambil lembur. Sudah ya, sudah waktunya kerja kan?" Zahra menyalakan komputer di hadapannya dan mulai menginput data. Sesekali dia berhenti dan menghela nafas panjang. Rasanya waktu berjalan terasa sangat lambat.

Saat teng waktunya makan siang Zahra langsung meletakan kepala di atas meja. Dia tidak kuat tapi tetap memaksakan diri.

"Ke dokter dulu yuk," ajak Alin. Kali ini tidak ada penolakan.

Namun saat mereka tiba di lantai bawah Zahra yang sudah tidak kuat langsung ambruk dan mengundang perhatian sesama pekerja termasuk Fatih dan Bram yang baru keluar dari lift.

"Ada apa?" tanya Bram pada salah satu pekerja yang melintas di depan mereka.

"Ada salah satu staf pingsan, Pak."

Melihat ada Alin di antara kerumunan membuat dua pria itu mendekat.

"Nona Zahra," pekik Fatih saat melihat beberapa orang akan mengangkat tubuh Zahra. "Ayo biar saya membantunya." Fatih ikut mengangkat tubuh Zahra bahkan membawanya ke mobil miliknya. "Bram ikut! kamu juga!" tunjuknya pada Alin.

Saat tiba di rumah sakit lagi-lagi Fatih mengangkat tubuh Zahra ke ruang IGD yang langsung mendapat penanganan dari dokter.

Bram dan Alin saling lirik dan tersenyum simpul. Entah karena sikap Fatih atau memang karena memiliki kesempatan jalan berdua saat Fatih meminta Alin mengurus administrasi dan Bram menawarkan bantuan.

Fatih sendiri menghubungi staf HRD untuk membuat peraturan baru dan meminta meneruskannya pada setiap karyawan. Di mana isinya mengatakan jangan sampai ada lagi karyawan yang memaksakan masuk kerja ketika merasa tubuh mulai tidak baik.

Zahra sudah siuman dan dokter memberi izin Fatih untuk menjenguknya.

"Jadi harus ambruk dulu baru anda mau beristirahat, Nona Zahra?"

Zahra hanya menanggapi dengan senyum kecil "Anda cemas karena takut saya tidak bisa mengembalikan uang anda? Tenang saja saya akan tetap masuk kerja dan hang itu akan kembali utuh pada anda."

"Dengar!" Fatih mendekatkan wajahnya pada wajah Zahra. Bahkan hembusan nafasnya menyapu kulit wajah milik Zahra. "Ini murni karena sayang mengkhawatirkan anda sebagai calon ibu dari anak-anak saya."

"Apa otak anda sudah tidak berfungsi. Tidak bisa membedakan antara penolakan dan penerimaan? Saya pikir otak anda masih berfungsi dengan baik, ternyata tidak."

"Saya tidak pernah gagal dalam mendapatkan aoa yang saya inginkan, dan saya pastikan saya akan mendapatkan anak dari anda," tekan Fatih kemudian menoleh pada Alin dan juga Bram yang muncul bersamaan.

Alin ditugaskan menemani Zahra sampai dokter memberi ijin pulang. Sedangkan Fatih dan Bram kembali ke kantor dan melanjutkan makan siang yang tertunda.

"Sepertinya kau menyukai perempuan tadi," kata Bram disela menikmati hidangan santap siang.

"Bukankah aku sudah mengatakannya."

"Maksudku suka dalam arti lain." Fatih mengerutkan kening. "Bahkan tidak biasanya seorang Fatih Alan Akbar begitu perhatian pada pegawai selain pada nona tadi."

"Terserah pemikiranmu saja, Bram," kekeh Fatih padahal dala hati dia membenarkan perkataan Bram.

***

Setelah menghabiskan satu botol cairan infus dan demamnya sudah turun Zahra diijinkan untuk pulang.

"Istirahat yang cukup ya, Bu," kata suster yang melepas jarum infus dari tangan Zahra.

"Terima kasih, Sus."

"Sama-sama, jangan lupa untuk meminum obatnya."

Hari ini Zahra tidak pulang ke Bandung, dia memilih pulang ke rumah Alin dan beristirahat di sana.

"Ra!" Alin mengetuk pintu kamar Zahra.

"Ya, masuk saja Alin! Tidak dikunci."

Alin masuk dan melihat Zahra yang tengah bersandar sambil memegang ponsel setelah memberi kabar pada adiknya bahwa malam ini dia tidak pulang.

"Aku mau cari makan, kamu mau titip apa?" tanya Alin.

"Aku ikut saja ya. Takutlah di rumah sendirian."

"Yah, biasanya juga kamu tidak masalah sendirian." Alin tertawa.

"Alin, jangan memperlakukan aku seperti orang sakit. Aku hanya demam dan sekarang sudah lebih baik. Ayo kita cari makan." Zahra turun dari tempat tidur, merapihkan rambutnya serta mengenakan Cardigan dan siap untuk pergi.

"Susah ya kasih tahu kamu," decak Alin tapi tetap saja mereka berangkat.

"Makan di tempat saja bagaiamana?" tanya Alin ketika mereka sudah tiba di tempat tujuan.

"Boleh, boleh."

Alin memesankan sayur sop untuk Zahra. Temannya harus mendapat asupan gizi yang cukup untuk menopang hidup yang teramat berat.

"Terima kasih," kata Zahra.

"Ra kamu merasa ada yang aneh tidak dengan Mr. Fatih?" Alin memulai percakapan yang sejak tadi siang bersarang di benaknya. Apalagi saat melihat perhatian Fatih pada Zahra.

"Aneh seperti apa? Kan aku tidak pernah memperhatikan beliau."

Alin menggaruk telingan. Benar juga sih sebenarnya, mana ada Zahra tahu ada yang aneh dengan atasan mereka, sebab dia terlampau acuh.

"Aku melihat sepertinya Mr. Fatih menyukaimu, Zahra."

Perkataan Alin membuat Zahra tersedak. Lekas dia minum sabil menahan batuk-batuk kecil. Apa yang dikatakan Akun itu benar tapi tetap salah di mata seorang Zahra.

"Jangan mengada-ada, Alin, itu tidak mungkin. Kita sama-sama tahu kalau beliau sudah memiliki istri."

"Tapi kan bisa saja dia benar-benar menyukaimu."

"Hanya pria bodoh yang sudah jelas memiliki istri tapi tetap menyukai wanita lain," balas Zahra. Dia tidak merasa bangga ketika ada pria yang sudah jelas beristri namun menyukai dirinya.

"Termasuk Bram?" tanya Alin.

"Mungkin." Zahra mengangakat bahu menandakan dia enggan membahas soal itu.

"Orang lain pasti bangga loh jika menjadi seperti kamu. Diperhatikan salah satu atasan sekaligus pemilik tempat kita bekerja."

"Memangnya apa yang bisa dibanggakan ketika yang menyukai kita adalah pria beristri. Kita tidak bisa mempublikasikannya, kita akan menjadi perempuan yang tersembunyi atau lebih parahnya lagi kita dicari saat dia membutuhkan tempat untuk menyalurkan hasrat." Alin terdiam mendengar perkataan Zahra. "Maaf, Alin, aku tidak bermaksud menyinggungmu, tapi mencintai pria beristri itu adalah cara paling mudah menyakiti diri sendiri."

"Tapi yang kamu katakan benar, Ra. Aku memang bodoh, bahkan tidak berusaha melepaskan diri dari jeratan Bram. Untuk bisa makan berdua di tempat umum saja sulit" Alin mendongakkan wajah menahan laju air mata.

Zahra menoleh ke arah tempat tadi Alin menatap. Di sana. terlihat Bram bersama istri, anak dan keluarga besarnya. Bahkan Fatih juga ada di sana dan sempat bertemu tatap dengan dirinya. Sepertinya mereka tengah merayakan ulang tahun anaknya Bram. Terlihat dari hiasan balon warna warni di sekitar mereka.

"Sudah ya jangan membicarakan itu. Kita ke sini kan untuk makan, bukan menangis di tempat umum," kekeh Zahra diikuti Alin.

Suara deheman seorang laki-laki mebuat mereka menoleh. Siapa kah itu, Bram atau Fatih?

Terpopuler

Comments

Farida Wahyuni

Farida Wahyuni

iya contoh laki2 ga setia, udah punya istri, tp masih suka sama perempuan lain.

2023-02-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!