Beberapa menit berlalu, sang gadis bertahan dengan baju tidur, Alex yang di tunggu akhirnya datang, dia segera menemui si Alex yang ada di depan kantor.
.
.
.
"Bang, lu baek bener."
"Iyalah, ini kesempatan baik buat lu. Jangan sia-siakan!"
"Oke bang, makasih ya?"
"Sama-sama, mana bos lu? katanya di marahi bos?"
"Udah masuk dia, gue ke toilet dulu. Lu pulang aja."
"Gue jagain lu, nanti ada yang ngintip berabe."
Kakak beradik itu, lalu masuk ke dalam kantor secara bersamaan, lalu segera mencari toilet.
Tidak butuh lama untuk Alex menemukan toilet, dia menunggu si adik di luar.
Hanya butuh waktu tiga menit untuk Mila berganti baju, setelah itu, segera saja sang gadis keluar dari toilet.
"Gimana bang? gue udah kayak anak kantor belum?"
Sang adik berpose di depan si Abang.
"Duh, gile juga lu! cakep adek Abang? mantap, lu nanti cari gebetan anak sini, lumayan bisa diporotin!"
"Sialan lu! kenapa gue harus jadi matre? lu aja sana yang jadi lakik matre! persis kek Robin lu lama-lama!"
"Dih, darimana gue kayak si baterai jam itu, gue lebih cakep, modis. Gak lihat gue dah matching gini?"
"Sok Inggris lu!"
Sang gadis memberikan baju ganti dan beberapa alat make up yang di bawa si abang, lalu meminta si abang untuk pulang ke rumah karena pasti akan bikin rusuh.
Untung saja Alex tidak banyak bicara, setidaknya si adik bisa bernafas lega karena si Abang tidak membuatnya malu.
.
.
.
Penampilannya yang sangat berbeda, membuat mata para karyawan pria jadi terpesona.
Mila memang memiliki body yang sangat bagus, hanya saja dia agak ceplas-ceplos.
Mila tak menggubris mata-mata genit itu, hingga ada salah satu pria yang ingin berkenalan dengannya.
"Halo, cantik! nama kamu siapa?"
"Kepo banget lu!"
Sang gadis menghindari pria itu, tapi sang pria masih saja mengejarnya, ini sangat menyebalkan.
Sampai seorang karyawan lain, meminta Mila untuk ke ruangan HRD.
Dia bersyukur karena terbebas dari si karyawan pengganggu.
.
.
.
Ruang HRD ...
Mila segera pergi ke ruangan yang di maksud, tak bisa langsung masuk ke dalam sebab ia sudah mengetuk pintu tapi tak mendapatkan respon apapun.
Klek!
Suara pintu terbuka, sang gadis merasa senang.
Dia di persilakan duduk di dalam ruang HRD lalu segera melakukan sesi wawancara.
Pewawancara, pak Adiva, memberikan beberapa pertanyaan kepada Mila, untung si gadis bisa menjawab semua pertanyaan dengan baik dan benar.
Hingga tanpa pikir panjang, si Mila bisa menjadi bagian dari Berlin Corp.
Sang gadis di minta untuk pulang terlebih dahulu, besok sudah bisa kerja sebagai Office Girl di tempat itu.
Mila sangat senang.
Namun, ada hal aneh yang dia dapati di perusahaan itu, dia bertanya pada sang Adiva sebelum benar-benar pulang.
"Pak, bos di sini yang mana ya? kok saya belum melihatnya."
"Besok kamu bisa lihat bos, dia akan memperkenalkan kamu kepada karyawan yang lain, bos kami baik. Dia menganggap kami keluarga."
"Oh, oke."
Sang gadis sudah mantap dan semangat bekerja di perusahaan itu, Mila segera keluar dari ruang HRD menuju depan kantor, tempat dimana motornya ia parkir.
.
.
.
Di depan kantor ...
"Hey, kamu!" teriak seorang pria.
Mila mendengar teriakan itu, tapi malas merespon.
Hingga sang pria yang berteriak tadi inisiatif mendekati Mila.
"Boleh kenalan dong? kenapa sih jaim banget?"
"Siapa lu? sok kenal?"
Mila enggan menanggapi si pria, tapi sang pria yang sangat ingin berkenalan, terlihat memaksa.
"Wah, jangan gitu dong, aku ini pria baik, kenapa kamu tidak mau berkenalan?"
"Heh, belum pernah di gampar bang cimol ya? gue kepret juga lu!"
"Wah gadis unik, aku semakin suka."
Sang pria terlihat makin memaksa, membuat sang gadis harus menunjukkan taringnya.
Mila mendorong tubuh sang pria, lalu menghempaskan ke tanah, dia hampir memukul pria itu, tapi Mila memilih untuk pergi.
Sebelum dia naik motornya, Mila memberikan nasihat.
"Lu boleh suka, atau kagum sama seseorang, tapi nilai kesopanan lebih penting!"
Wussssssh!
Mila gas pol meninggalkan pria kurang ajar itu dengan motor kesayangannya.
"Wah ... keren, aku makin jatuh hati," ucap sang pria yang tadi menggoda Mila.
Dia segera membersihkan semua noda debu yang ada di bajunya, lalu segera bangkit, setelahnya masuk kembali ke dalam gedung.
.
.
Di saat yang sama, terutama ketika Mila pergi, dari lantai dua gedung itu, terdapat seorang pria yang terus memantau, dia adalah Edgar.
"Hm, boleh juga, selain lucu, dia juga pemberani," batin Edgar.
Drttt ... drrt ... drrt ....
Dering ponsel miliknya, sejak tadi tak mau berhenti, sepertinya sang mantan masih berharap masih bisa bersama.
Selain mantan, siapa lagi yang terus menghubungi Edgar tanpa henti?
"Dih, dia lagi. Apa kurang ya kata-kata kemarin? aku harus mencari cara. Kalau aku punya gebetan baru, pasti Yolanda tidak akan menggangguku lagi."
Edgar berpikir keras, hingga muncul ide gila untuk bekerja sama dengan Mila.
.
.
.
Rumah Mila ...
"Mak! Mila pulang!"
"Kagak usah teriak-teriak, gue udah denger, gimana? lu ketrima kerja?"
Sang emak yang sedari awal sudah membuka pintu saat suara motor anaknya terdengar, sampai Mila ada di depannya, memberikan ultimatum, sebab Mila selalu saja membuatnya kaget dan kesal.
"Haha, maaf Mak. Mila seneng, Mila kerja besok mak!"
"Nah gitu dong, baru anak mak. Eh, gue pinjam motor lu bentar ya, mak mau pergi ke pasar, beli cabe."
"Cabe kan banyak di kulkas Mak?"
"Kurang, gue belum puas kalau belum lima kilo."
"Ya salam!"
"Minggir lu!"
"Ye, sewot mulu. Butuh kunci kagak Mak?"
"Butuh lah, mana!"
"Nih!"
Sang anak kesal, dia langsung melempar kunci itu ke arah sang emak yang lebih dulu naik di atas motor.
Sebelum ngamuk, Mila masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu.
Namun, amukan tak terdengar, emak Jen, aman-aman saja.
"Tumben," batin sang putri.
.
.
.
Di pasar ...
Emak sudah sampai pasar, gayanya yang bak preman, terlihat sangat sangar, bahkan wajah cantiknya makin menggoda banyak orang.
Dia masa bodoh, Mak Jen lebih fokus berjalan menuju kang cabe langganan.
Saat berada di depan kang cabe, dia langsung bertanya kepada intinya, yaitu tanya harga cabe yang makin hari, makin mahal aja.
"Bang, dua kilo berapa?" tanya si Mak Jen.
"100 Bu."
"Loh, mahal amit, lu mau nipu gue ya?"
"Ya kagak lah Bu, harganya memang segitu."
"Kagak boleh kurang ngapa yak?"
"Lagi mahal Bu, coba deh cari tempat lain."
"Males, gue biasanya beli di sini kok."
Saat Mak Jen bertempur dengan pedagang cabe, tiba-tiba saja ada seorang pria yang membayar cabe dua kilo punya si Mak Jen.
"Saya yang bayar."
Mak Jen kaget, dia menoleh ke sumber suara.
"Arga?"
"Jenifer?"
"Lu napa ada di sini? bukannya orang kaya anti pergi ke pasar?"
"Sejak istriku meninggal, aku dan anakku tinggal di apartemen. Semuanya aku lakukan sendiri, kadang anakku yang belanja, atau tidak aku sendiri, seperti sekarang," ucap si pria bernama Arga.
"Oh, jadi lu dah duda ya? gak nikah lagi?"
"Tidak, aku nunggu kamu."
"Loh, nunggu bagaimana? gue dah punya lakik, kan lu tahu kalau gue bininya si Kim."
"Iya, tahu. Ya suatu saat nanti, bisa aja kamu jadi janda."
"Dih, amit-amit, kebangetan lu ya, masak doa lu jahat amat sama gue."
"Karena kamu dulu tidak mau menikah denganku, jadi aku tetap menunggu."
Perbincangan makin tidak kondusif, emak Jen tidak jadi beli cabe, dia kabur.
"Jen? cabenya?"
"Buat lu aja? nyumbat mulut lu yang kayak kloset."
Kata-kata Mak Jen bikin si pedagang cabe tersenyum, sedangkan Arga, dia makin cinta dengan Jenifer.
"Hehehe, kesederhanaan dan apa adanya kamu ini, yang bikin aku klepek-klepek," batin Arga.
Dia terpaksa membawa cabe pulang bersamanya karena memang sudah di bayar, dan kebetulan, si Arga suka pedas.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments