Selama di rumah Ayahnya, tak banyak yang mereka bicarakan.
melihat ayahnya baik-baik saja itu sudah lebih dari cukup untuk Liora. Tak bisa di pungkiri bahwa rindu untuk ayahnya teramat sangat, hanya saja untuk mengungkapkannya ia tak akan mampu, biarlah semuanya berjalan semestinya. mereka selalu berbincang dengan nada datar tanpa menunjukkan ekspresi apapun, memang sedari kecil sudah seperti itu. Ia tak mampu mengekspresikan diri di depan ayahnya, padahal ia sangat ingin seperti kakaknya Adelia, yang selalu manja dan merengek jika menginginkan sesuatu. ia pun dengan bebas memeluk ayahnya untuk sekedar meluapkan rasa sayangnya begitupun sebaliknya,ayahnya selalu lembut dan penuh kasih dihadapan kakaknya itu, namun ketika berada di dekatnya ia akan kaku seperti tak mengenalinya. bicara seperlunya saja hanya untuk mempertegas statusnya sebagai ayah namun tidak dengan peran nya.
Entah apa alasannya, sampai saat ini pun Liora tidak mengerti. Hanya karena kakaknya ditinggal pergi oleh ibunya, lantas kenapa dia juga yang menjadi korban oleh sikapnya yang kaku itu.
Hah.... Ia menghela napas pelan sambil memejamkan mata ketika bayangan masa kecil nya hingga saat ini masih membekas dalam ingatannya. Saat ini ia sedang berada di kamarnya, kamar penuh kenangan yang menjadi saksi bisu dimana ia meluapkan segala emosi nya di sini. Lamunannya terpecah ketika Suara pintu yang di ketuk pelan.
Ia membuka pintu kemudian lidahnya kaku karena yang ada didepannya kini adalah sosok yang ada dalam pikirannya.
Ia menggeser badannya kemudian mempersilahkan Ayahnya masuk.
Ia duduk ditepi ranjang anaknya sambil mengamati semua isi kamar anaknya dengan teliti, kemudian matanya berpusat pada foto mendiang istrinya yang terletak dia atas meja belajar anaknya .
"Banyak sekali foto ibu mu yang kau pajang?" Ucapnya dengan ekspresi datar seperti biasa.
"Ya, aku selalu mengabadikan momen bersamanya sewaktu beliau masih hidup, terlalu banyak waktu yang kami habiskan bersama. Aku bersyukur Tuhan memberiku kesempatan itu." Ia menjawab ayahnya sambil tersenyum kearah foto ibunya. berharap ibunya melihat dan tau bahwa rasa sayang dan rindunya untuk ibunya sungguh luar biasa.
"Ya, kalian sangat serasi, terlihat seperti bukan ibu dan anak melainkan kakak adik. kalian sungguh kompak menciptakan kebahagiaan sendiri walau tanpa aku yang selalu mengabaikan kalian. Ibu mu sungguh hebat menggantikan peranku. Aku bangga padanya." Untuk pertama kalinya Liora mendengar langsung ayahnya memuji ibunya namun sayang sosoknya telah tiada. Tapi ia percaya ibunya akan tersenyum di atas sana melihat orang yang ia sayangi bangga padanya.
"Kenapa baru sekarang ayah mengatakan bangga padanya setelah sosoknya tidak ada disini?" pertanyaan itu lolos dengan suara sedikit tercekat karena sedang menahan tangis.
"Karena ketika aku memujinya langsung pipinya pasti bersemu merah dan pastinya perutku yang jadi sasaran tangannya dengan cubitan yang mematikan. namun ia mengartikan itu dengan cubitan sayang." Liora tersentak kaget mendengar ucapan ayahnya karena sungguh ia sangat tidak percaya dan itu mustahil melihat bagaimana hubungan ayah dan ibunya selama ia kecil sampai dewasa, tidak sedikitpun mereka memperlihatkan keromantisan didepannya. Yang ada hanya ucapan ketus sang ayah kepada ibunya yang sering ia dengar.
sedikit tidak percaya ia melihat ayahnya, namun pemandangan didepannya ini kembali menghantam jiwanya, terlihat cairan bening jatuh di kelopak mata ayahnya yang sudah keriput, karena usia yang tak mudah lagi.
"Yang terlihat didepan mu terkadang tidak selamanya benar, mungkin aku selalu kaku padanya, bahkan padamu juga, namun aku punya cara sendiri untuk membahagiakan kalian tanpa kalian sadari."
Ayahnya berbalik menatap kearahnya dan untuk pertama kalinya juga ayahnya tersenyum tulus kearahnya.
dengan tangan keriputnya ia mengelus pelan surai hitam anaknya dengan sayang.
Liora memejamkan mata menikmati sentuhan hangat yang telah lama ia rindukan, air matanya sudah tak terbendung lagi. Ia menangis sambil sesekali terisak masih dengan mata terpejam. Rasanya ia tak ingin membuka mata karena takut ini hanya mimpi. Belum cukup keterkejutannya, sekarang ia merasakan tubuhnya ditarik pelan kemudian jatuh di depan dada kokoh yang dulunya hanya dalam angan-angannya. Sekarang ia merasakan pelukan itu, pelukan hangat ayahnya. Ia bahagia tapi juga sakit bersamaan, kenapa baru sekarang ia rasakan kehadirannya padahal dulu ia begitu banyak berharap bahkan memohon untuk sekedar berada dalam posisi ini.
"Seribu luka yang aku berikan tak mampu kau hapus dengan pelukan yang mungkin sudah tak ingin kau rasakan ini.
Namun ingatlah satu hal, rasa sayangku pada kalian sama besarnya. Hanya saja caraku menunjukkan nya berbeda. Kau hanya perlu ingat itu." Ia berkata lembut tanpa melepaskan pelukannya bahkan kini ia mengelus punggung anaknya dengan sayang.
Liora semakin menumpahkan tangisnya di dada sang ayah. sehingga baju yang pria tua itu kenakan saat ini basah oleh air mata.
"Apa ayah mencintai ibu?"
Tanyanya dengan suara serak.
"Kau tak akan mendapatkan jawabannya karena soal perasaanku hanya ibumu yang berhak tau." Ia menjawab sambil melerai pelukannya, kemudian menyeka air mata putrinya. lalu berkata lagi, " tak perlu kau memikirkan perasaanku pada ibumu, itu hanya akan membebani mu dengan semua praduga yang membuat mu tidak nyaman, jalani hidupmu dengan baik itu sudah cukup."
Lalu ia berdiri kemudian berjalan keluar menuju ruang tengah dimana menantu dan cucunya berada.
Sementara dikamar, Liora semakin menumpahkan tangisnya sambil memeluk foto sang ibu.
Setelah lelah menangis ia menuju kamar mandi kemudian mencuci muka nya lalu berjalan menuju ruang tengah.
Terlihat anaknya sedang bercengkerama dengan ayah dan juga suaminya.
hari sudah mulai sore, dan ia mengajak suami nya untuk pulang.
"Tidak menginap?" Ayahnya bertanya sambil mengelus sayang kepala cucunya.
"Mungkin lain kali yah, karena besok pagi Raf mulai kerja lagi, seperti biasa liburannya cuma dihari Minggu. Besok juga Rei harus sekolah." Suaminya yang menjawab karena ia masih enggan mengeluarkan suaranya setelah percakapan dengan ayahnya dikamar tadi.
"Baiklah, lain kali datang lah di hari Sabtu agar bisa menginap, Ayah ingin menghabiskan waktu bersama cucu ayah yang pintar ini." jawabnya dengan sorot mata rindu menatap Reinhart yang kemudian di balas pelukan hangat untuk kakeknya.
" Iya yah, lain kali kami akan datang di hari Sabtu, agar bisa menginap disini." Kemudian mereka pun pamit pulang ke rumah, dan selama perjalanan Liora hanya diam hanyut dengan pikirannya sendiri. sampai akhirnya ia dikagetkan oleh suara anaknya.
"Mama kenapa ngelamun? lagi mikirin kakek? kan nanti kita bisa kesana lagi kalau papa libur, iya kan pa?
" Iya sayang, nanti kita akan mengunjungi kakek lagi, dan kita akan menginap di sana."
Rafli menjawab sambil melirik istrinya.
"Mama gak melamun kak, cuma mikirin kerjaan mama yang belum selesai tadi sebelum ke rumah kakek." Ia berbohong kepada anaknya.
"Ya udah kan nanti sampai rumah baru di selesaikan, nanti Kakak bantu ya ma?"
Liora tersenyum menatap anaknya kemudian mengangguk sambil mengelus kepalanya.
anaknya ini selalu menjadi penghibur ketika ia berada di situasi kurang mengenakkan. Sekali lagi ia bersyukur karena kemurahan Tuhan ia diberikan kesempatan memiliki anak sepintar ini. Tuhan sungguh adil padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments