Hari-hari berjalan seperti biasanya, kehidupan rumah tangga Liora bisa dibilang lebih baik. Rafli sering menunjukkan kasih sayang nya kepada Liora tanpa segan, bahkan di depan anaknya. Ini mengingatkan Ia pada masa awal-awal pernikahan mereka.
jika ditanya apakah ia bahagia? jawabannya ia tidak tau. yah sekarang sudah tidak seperti dulu, meskipun suaminya menunjukkan sikap manis namun hatinya menolak itu semua. Akan tetapi ia berusaha menutupinya dengan senyuman seolah-olah semua baik-baik saja.
"Pa, mumpung sekarang lagi libur ayo berkunjung ke makam ibu." ajaknya pada suami nya yang sedang nonton tv bersama Reinhart di ruang tengah.
"Ayo, udah lumayan lama kita gak kesana. Kak ayo siap-siap kita ke makam nenek". yang dibalas anggukan antusias dari Reinhart.
****
Selesai Ziarah Liora beserta suami dan anaknya mampir ke rumah ayahnya, rumah yang menyimpan sejuta kenangan di masa kecilnya. Walaupun kenangan buruk yang selalu ia rasakan dulu, namun kenangan manis bersama ibunda tercinta akan selalu terekam jelas di dalam memorinya.
dari jauh kelihatan dinding rumah yang sudah usang, tembok penyangga yang tak lagi se kokoh dulu, namun begitu ayahnya masih betah dalam keadaan seperti awal rumah itu dibangun. Tak pernah sekalipun ia merombak atau sekedar mengecat nya kembali entah apa alasannya. Berulang kali mereka menawarkan untuk merenovasinya namun Ayahnya selalu menolak dengan alasan yang sama"Ayah nyaman dengan segala yang ada dalam rumah ini".
Liora sampai didepan rumahnya, sambil menghela napas pelan, ia mengetuk pintu rumah yang dulu menjadi saksi bisu kesedihan serta kegembiraan nya bersama keluarganya. Pintu dibuka secara perlahan memunculkan sosok yang dirindukan namun juga ia lah penyebab luka yang masih membekas hingga detik ini.
sesaat mata mereka bertemu, kemudian keduanya sama-sama memutuskan pandangan.
"Ada apa kemari? apakah kamu rindu dengan ayahmu ini?" Tanyanya datar dengan sorot mata yang tak bisa ditebak oleh siapapun. Namun begitu masih ada sedikit rindu yang jelas-jelas tak bisa ia sembunyikan.
"Rei ayo beri salam pada kakek" ucap Rafli memecah keheningan yang tercipta oleh ayah dan anak di depannya ini.
"Salom kakek". Kakek sehat?" Dengan polosnya ia bertanya seraya menarik tangan kakeknya kemudian menciumnya.
Pria tua yang bernama Albert Cornelius itu tersenyum hangat kepada cucunya. Tersirat kerinduan yang terpendam dalam kelopak matanya yang sudah banyak terlihat kerutan menandakan usianya yang tidak muda lagi.
"Salom cucu kakek, Puji Tuhan Kakek sehat, bagaimana denganmu?" ia bertanya sembari mempersilahkan anak serta menantunya masuk bersama cucu nya yang Sudah lebih dulu masuk dengan antusias.
"Rei juga sehat kek, mama sering memaksa Rei makan walau Rei bilang udah kenyang." Ucapnya seraya memanyunkan bibir mungilnya membuat lelaki tua itu terkekeh pelan.
"Mamamu benar nak, gak boleh sisain makanan harus dimakan sampai habis karena itu adalah berkat dari Tuhan jadi harus disyukuri." Ia menjelaskan seraya mengelus rambut cucunya dengan sayang.
"Baik kakek." jawabnya patuh.
"Kalian habis ziarah?" Ia bertanya kepada anak dan menantunya.
"Iya Yah." mereka menjawab kompak.
"Lio ke dapur dulu mau bikin minuman." Seraya bangkit kemudian melangkah menuju dapur.
keadaan dapur masih sama seperti dulu, tidak berubah sedikit pun. sejenak ia memejamkan mata untuk sekedar menghadirkan kembali ingatan tentang sosok yang sangat sangatt ia rindukan.
satu tetes cairan bening jatuh dari kelopak matanya. Bayangan-bayangan Ibu nya berseliweran di memori otaknya.
"Buk Telurnya udah mengembang, ini udah pas belum?"
"Belum sayang, di mixer sedikit lagi sampai putih berjejak, biar nanti hasilnya bagus dan lembut."
"Setelah itu apa lagi Bu?"
"Nanti masukkan tepung terigunya lalu dicampur rata, baru setelahnya masukkan ke oven."
"Baik Bu."
sepenggal percakapan kembali terlintas dalam ingatannya.
saat itu ia sedang belajar membuat bolu bersama ibunya. Dengan sabar dan telaten ibu mengajarkannya, suaranya yang lembut membuat ketenangan sendiri untuknya saat itu. Tak bisa di pungkiri bahwa Ibunya adalah wanita terhebat baginya. Bahkan disisa hidupnya tak sekalipun ia memperlihatkan kebencian untuk ayahnya, malah tatapan cinta yang luar biasa yang ia lihat sepanjang hidupnya, bahkan disaat sakit pun ayahnya tak terlalu ambil pusing dengannya, dia hanya memaklumi mungkin suaminya lelah sehabis kerja. Ah wanita yang luar biasa bukan?
" Bu, Aku rindu, aku ingin memelukmu sekali saja, menikmati pelukanmu yang hangat mampu menenangkan ku, Aku rindu tawamu, aku rindu suara lembut mu yang selalu mampu menggetarkan jiwaku, aku rindu nasihatmu.
Bu, hadirlah dalam mimpiku walau sebentar, aku ingin melihat wajahmu yang teduh, aku ingin kembali merasakan cinta yang luar biasa darimu. Aku mencintaimu Bu, maafkan aku yang sampai saat ini masih belum menuruti kata-katamu, aku tidak benci padanya, namun aku marah setiap kali aku mengingat perlakuannya pada kita dahulu. Aku hanya kecewa Bu, tidak benar-benar membencinya, apakah kau marah padaku?
hari ini aku datang ke rumah, aku datang untuk melihatmu sedikit meluapkan rasa rinduku padamu. mengunjungi tempat dimana kita tertawa bersama, berbagi cerita, sampai aku terlelap tidur di pangkuanmu.
Aku Rindu Bu."😭😭😭
Liora memegang dadanya yang terasa sesak, ingatan tentang ibunya benar-benar membuatnya menangis namun tak mampu mengeluarkan suara. ia mbekap mulutnya agar suara tangisnya tidak sampai ketelinga anaknya juga suami serta ayahnya di ruang tengah.
"Kau menangis untuk apa? apakah merindukan ibumu?" Ia dikagetkan oleh suara ayahnya yang tiba-tiba muncul dibelakangnya.
"ya aku merindukan nya." Jawabnya dengan suara serak.
"Sudahlah, ia tidak akan kembali walaupun kau menangis sampai mengeluarkan semua air matamu, kau tidak akan lagi merasakan kehadirannya." Ayahnya menjawab dengan ketus sembari menyiapkan minuman untuk mereka.
"Bukan urusanmu, aku hanya meluapkan rasa rinduku tak peduli ia dengar atau tidak, aku hanya mengingat sosok yang paling aku cintai." jawabnya tak kala sengit. Ayahnya yang memulai jadi ia hanya meneruskannya saja, jujur ia tidak mau seperti ini karena biar bagaimanapun itu adalah Ayahnya. namun karena sikap ayahnya selalu memantik api yang menyulutkan emosi nya. Dulu ketika di marahi, atau pun di bentak, ia hanya mampu menangis, namun sekarang tidak lagi semenjak kepergian ibunya.
Ia semakin kecewa bahkan marah karena sikap ayahnya itu.
"Sudah cukup melamun nya, ayo keruang tengah suami dan anakmu menunggumu." Ayahnya berkata sembari mengangkat nampan berisi minuman yang telah di buatnya.
Liora menyusul sambil membersihkan sisa air mata agar tidak dilihat oleh anaknya.
" Mama kok lama di dapur?" suara anaknya sedikit protes karena memang ia sudah cukup lama didapur tadi.
Ia tersenyum mendengar ucapan protes anaknya.
"Maafkan mama sayang, tadi mama bingung waktu menyeduh tehnya, hampir saja mama menaruh garam kedalam gelasnya, untung saja kakek datang bantuin mama." Seraya terkekeh pelan agar meyakinkan anaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments