Pagi hari sudah terlihat dengan matahari sedikit terangkat. Cahaya hangat menembus kain yang menutupi jendela, dan mencapai Haris yang sedang tertidur pulas.
Lagi-lagi, mungkin karena terganggu dengan perasaan hangat di kelopak matanya, Haris pun membuka matanya secara perlahan. Namun, kali ini dia langsung bangkit dari posisi tidurnya. Dengan rambut masih acak-acakan, Haris menatap kosong dinding kayu 2 meter di depannya.
"Ah… aku harus latihan…" Ujarnya sedikit lemah sambil mengucek sebelah matanya.
Dia beranjak dari ranjang, kemudian berjalan keluar untuk mencuci mukanya. Setelah itu dia menghampiri ibunya yang sedang menjemur pakaian di halaman rumah. Sesampainya, dia bisa melihat ibu nya yang begitu cantik dengan disinari oleh cahaya matahari, membuatnya semakin indah dan nyaman untuk dipandang.
Namun, bagi Haris itu sudah menjadi pemandangan yang biasa. Awalnya dia memang terkesima melihatnya, tapi lambat-laun dirinya mulai terbiasa dan seolah tidak mempedulikannya karena dia pikir tak normal untuk mencintai ibunya dalam artian lain.
"Ibu, kemana ayah?" Tanya Haris menyadarkan ibunya yang terlalu fokus menjemur.
Riana menoleh, "Ayah?... Sepertinya dia sedang mempersiapkan pedang kayu di gudang." Jawabnya begitu lembut dengan tangan yang masih bekerja.
Mendengar jawaban ibunya, Haris merasa tersentak karena dia pikir ayahnya akan memulai latihan di siang hari. Tapi, untuk waktu sepagi ini dia sudah mempersiapkan pedang kayu yang merupakan benda paling utama di dalam pelatihannya?
'Sepertinya dia memang tidak ingin memberi ampun kepadaku.' Batin Haris merasa aneh ketika memikirkan ayahnya yang terlalu berniat, tapi dengan itu juga dia bisa mendapatkan pelatihan yang cepat.
Tanpa berbincang lagi Haris langsung menghampiri ibunya, kemudian menunjukkan isyarat yang membuat ibunya tersenyum tipis. Dia menurunkan tubuhnya, lalu *Chup pipi Haris di cium ibunya.
"Hehe, makasih ibu. Chup." Haris tersenyum lebar lalu membalas ciuman ibunya, dan setelahnya dia langsung pergi ke gudang.
Di berjalan cukup jauh, karena tidak hanya tempat gudang yang terletak di belakang rumah, tapi luas rumah ini saja sudah tidak wajar untuk ukuran rumah di pedesaan.
"Halo ayah!" Sesampainya di gudang, Haris langsung menyapa ayahnya yang kini sedang mengelap sekitar sepuluh pedang kayu.
Mendengar suara anaknya, ayahnya langsung mendongak menatap anaknya, kemudian menyeka keringatnya dan berkata, "Haris, kamu udah bangun? Padahal ayah baru saja hendak membangunkan mu setelah selesai mengelap satu pedang kayu ini." Jawab ayahnya penuh keseriusan karena dia memang tipe orang yang akan fokus total ketika sedang melakukan sesuatu.
Tanpa menjawab kembali, Haris menatap pedang kayu yang tersimpan saling menindih, "Untuk apa pedang kayu sebanyak itu, ayah?" Tanya Haris.
"Hei, apa yang kamu katakan? Jelas-jelas itu semua untuk pelatihan kamu." Jawabnya tanpa menghentikan gerakan tangannya. Dia sama seperti Riana.
'Yeah, ayahku memang seperti ini, seorang pria sejati yang tidak pernah mengingkari janji. Tapi itu juga sifat yang sedikit menganggu ku, jujur saja.' Batin Haris memikirkan ayahnya yang begitu amanah.
Haris mengabaikan perkataan ayahnya, kemudian merentangkan satu tangannya ke depan sambil dikepalkan. Ayahnya mendongak, lalu tersenyum dan langsung membalas anaknya dengan pukulan ringan tertuju ke tangan Haris.
Ya, itu adalah tos atau salam selamat pagi bagi mereka berdua, karena menurut mereka melakukan hal itu sangat cocok untuk seorang pria sejati.
Setelahnya, Haris langsung kembali kerumahnya untuk membasuh tubuhnya. Namun, segera dihentikan oleh ayahnya yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya.
"Haris sayang, kamu jangan mandi, oke? Cukup basuh wajah saja, kemudian kembali ke halaman, yaa…!?" Ayahnya menghalangi jalan sambil mengingatkan Haris dengan seringai aneh terpampang jelas diwajahnya.
Melihat itu tentu membuat Haris merinding, tapi dengan segera dia mengangguk untuk memberikan pengusiran yang tidak disadari.
'Aku terkadang merasa beruntung punya ayah seperti itu, tapi terkadang merasa paling beruntung karena ayahku sangat perhatian dengan masa depanku.' Batin Haris membayangkan ayahnya yang begitu menyayangi dirinya hingga tidak membiarkan dia untuk berleha-leha.
Karena menurutnya sikap perhatian tidak selalu ditunjukkan dengan lemah lembut, bisa juga seperti ayahnya yang sangat keras dalam kegiatan Haris, tapi sebenarnya dia sangat khawatir kepadanya. Siapa juga yang tidak ingin anaknya menjadi kuat, dan bisa menjaga dirinya sendiri?
Selesai membasuh wajahnya dia langsung pergi ke halaman sesuai dengan keinginan ayahnya. Di halaman dia bisa melihat ayahnya sudah bersiap dengan sebuah pedang kayu di tancapkan ke dalam tanah, tetapi wajahnya memandang ke arah lain sambil bersiul.
"Ah Haris! Kamu sudah selesai? Kukira kamu akan lari terbirit-birit seperti kelinci karena terlalu takut…" Ledek ayahnya sambil memperagakan gerakan kelinci dengan tubuh besarnya itu.
Masih menyikapinya layaknya anak seusianya, Haris langsung berteriak, "Aku tidak seperti itu! Aku bukanlah ayah yang selalu terbirit-birit ketika pulang dengan keadaan mabuk!!" Jawab Haris dengan sedikit mengadu.
Dia sengaja mengatakan hal itu karena ibunya masih menjemur pakaian di halaman, sehingga dia bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Haris.
'Kekekekk, inilah dampak yang diterima karena berurusan denganku!' Batin Haris tertawa cekikikan ketika melihat ayahnya sedang ketakutan oleh tatapan tajam ibunya.
"Ah, em, jujur saja ayah mengakui itu. Jadi, maafkan aku sayang." Ujar ayahnya sambil membungkuk dihadapan ibunya, dan karena tidak tega ibunya memaafkan perilakunya. "Dan untukmu, ayah akan meningkatkan tingkat kesulitannya!" Lanjut ayahnya mengejutkan Haris karena tiba-tiba menoleh dengan cepat dan menatapnya tajam.
Namun, semua itu digagalkan oleh Riana yang memukul kepala belakang Louis dengan ember besar ditangannya, yang sebelumnya digunakan untuk mengangkat pakaian.
"Kamu! Tidak perlu sekeras itu kepadanya! Bagaimanapun juga dia anak kita, dia juga masih berusia tujuh tahun belum lama ini." Tegur Riana membuat Louis berguling di atas rumput halaman sambil meringis kesakitan dengan tangan menempel di kepala belakangnya.
"Adu-duh… Pukulan ember istri ternyata melebihi damage serangan ogre…" Ujar Louis di ketika sudah bangkit dari posisi berguling nya.
Setelah mengatakan itu tiba-tiba tubuhnya mendadak kedinginan, dan pada saat menoleh, dia dikejutkan oleh Riana yang sedang mengeluarkan aura hitam legam yang tidak diketahui alasannya.
"... Jadi kamu menganggap ku sebagai Ogre…!?" Riana semakin mengeraskan kepalanya.
"Iya, tapi kamu itu bukan Ogre, melainkan jelmaan Malaikat." Jawab Louis yang mencoba untuk tenang.
Namun ternyata pujiannya ampuh hingga membuat Riana tersipu akan itu, "Aaaa~ kamu seperti iblis saja~" Ujar Riana sambil menggeliat seperti cacing.
"Iblis? Kenapa?" Tanya polos Louis.
"Hmm? Kamu memang iblis. Orang tua mana yang hendak menyiksa anaknya sendiri dengan kedok latihan seperti itu." Jawab Riana sambil berjalan menjauh dari tempat mereka berdua.
'Ada apa dengan mereka?' Batin Haris sedikit heran dengan tingkah orang tuanya.
Setelah beberapa waktu berlalu tanpa pembicaraan, akhirnya Louis kembali bangkit setelah sebelumnya berlutut tidak percaya dengan pernyataan Riana.
"Baiklah, maafkan ayah yang menunda pelatihan ini…" Ujar Louis dengan tulus.
'Justru itu bagus untukku.' Batin Haris menjawab permintaan maaf ayahnya.
"Karena sudah tidak ada waktu lagi, ayah sarankan kamu untuk segera mengayunkan pedang kayu itu sebanyak lima ratus kali!" Tegas ayahnya memerintahkan sesuatu yang mustahil dilakukan anak seusia Haris.
"Baiklah." Tanpa bantahan, Haris hanya menerima itu. Kemudian menegakkan tubuh dan juga melebarkan kakinya, dengan tangan menggenggam erat gagang pedang kayu. Dia langsung mengayunkannya dengan hitungan maju.
"Bagus." Louis cukup bangga dengan anaknya yang cepat tanggap. Namun dirinya berharap agar anaknya menjadi anak kecil pada umumnya.
Latihan itu terus berlanjut dengan peningkatan tingkat kesulitan di setiap harinya, tapi itu berhasil dilalui oleh Haris hingga dua tahun kemudian. Di usia yang masih kurang dari sepuluh tahun, Haris sudah memiliki fisik yang kuat dengan ukiran-ukiran otot tampak di tubuhnya.
"9998…9999…1000!" Teriak Haris di halaman dengan tubuh telanjang dada, keringatnya mengalir deras layaknya sedang diterjang hujan deras. Wajar saja, karena dia sudah menjalani pelatihan sulit dengan mengayunkan pedang yang sudah bukan kayu lagi selama seribu kali ayunan.
Melihat anaknya yang sedang membenarkan tempo nafasnya, Louis tampak tersenyum bahagi melihat perkembangan anaknya yang begitu pesat. Awalnya dia beranggapan bahwa anaknya akan mencapai level ini dalam kurun waktu Lima tahun. Namun tidak diduga tebakannya melenceng jauh, karena anaknya selalu memberikan kejutan sehingga membuat Louis selalu menambahkan kesulitan dalam pelatihannya.
"Baiklah, itu sudah cukup!" Ujar Louis sambil melemparkan handuk dan botol berisikan air ke arah Haris, dan Haris menerimanya dengan respon cepat.
"Hmm… sangat baik." Gumam Louis ketika melihat respon anaknya.
"Haris, kamu sudah selesai dalam pelatihan pertama untuk menjadi Swordmaster, dan bersiap-siap untuk menghadapi pelatihan dua hari selanjutnya." Lanjut Louis sambil meninggalkan Haris di halaman.
Sedangkan Haris yang mendengar itu hanya mengangguk, kemudian membuka tutup botol yang terbuat dari kayu dan meneguknya dengan cepat.
"Haah! Akhirnya aku selesai menuntaskan tahapan dasar. Hmm… mari kita lihat sejauh apa perkembangan ku." Gumam Haris sambil menyeka air minum yang belepotan hingga membasahi sekitar mulutnya, dan setelah itu dia membuka layar status.
[Haris Lodgradae]
Lvl: 50
Hp: 500/500
Mana: 325/325
Swordsmanship: 10%
Str: 65
Int: 45
Vit: 35
Agi: 30
Aura: 2
— Pantang Menyerah.
— Teman Pedang.
Poin Sistem: 250.350
Melihat statusnya yang begitu menakjubkan, Haris tidak kuasa untuk menahan senyumnya. Di dalam pikirannya dia seolah tidak percaya dengan kenyataan ini. Namun di satu sisi dia sangat bahagia hingga rasanya dia bisa saja melompat dari tebing.
"Gilak! Statusku semakin… Woaaah!!" Haris berteriak keras hingga membuat orang tuanya menjadi khawatir dan langsung bergegas ke halaman.
Namun, yang dilihat oleh mereka itu sosok anaknya sedang tersenyum lebar menakutkan dengan mata sedikit melengkung ke atas.
"Haris? Kamu kenapa teriak-teriak seperti itu?" Tanya Louis menyadarkan Haris.
"A-ah, maaf aku hanya terlalu bahagia dengan keberhasilanku…" Jawab Haris malu-malu, tapi yang dikatakan olehnya itu merupakan kebenaran. Namun, kebenaran itu berbeda di setiap pemahaman antara orang tua dengan . . Haris.
"Aish, daripada seperti itu, lebih baik untukmu masuk ke dalam dan membasuh tubuhmu yang penuh dengan keringat. Setelah itu kita akan makan malam." Perintah Riana membuyarkan semuanya.
"Baik ibu." Jawab Haris sambil mengangguk, kemudian mengekori kedua orang tuanya sambil membawa botol dan handuk di satu tangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 19 Episodes
Comments