Terkadang aku berpikir, sulit sekali menjadi orang ekstrovert. Hingga bila dalam kesulitan, akan mudah baginya meminta bantuan kepada orang lain. Dapat bekerja sama dengan kelompok dengan mudah.
Sementara aku?
Aku adalah orang introvert yang akan terasa melelahkan bila banyak beraktifitas di luar rumah dan berkumpul dengan banyak orang. Tapi, bukan berarti aku tidak dapat berkumpul, hanya saja lebih suka berada di rumah.
Tidak banyak yang tahu bila aku berdiam di rumah bekerja sebagai penulis. Aku melakukan itu karena sebuah tuntutan harus membayar hutang peninggalan almarhumah ibu ku. Ingin bekerja tapi mas Arman melarang dengan dalih malu dilihat orang dan bersedia membayar hutang almarhumah ibu ku.
Aku menurut saja dan berterima kasih akan hal itu. Beberapa bulan hutang itu memang di bayar oleh mas Arman. Namun, semakin lama sikap suami ku berubah jika sudah mendekati tempo pembayaran.
"Merepotkan saja," itulah ucapan yang selalu aku dengar ketika meminta uang untuk membayar angsuran bulanan hutang itu.
Aku hanya dapat melapangkan dada setiap saat, mencoba mengerti bila sifat suamiku memang seperti itu. Lagi pula, aku harus kemana lagi jika bukan meminta uang pada mas Arman? Dia lah yang masih Sudi menampung hidup ku.
Namun, hutang itu sudah lima bulan terakhir bukan mas Arman membayar nya. Aku, aku lah yang membayar dari hasil menulis ku. Tidak ada yang tahu sampai suatu fakta yang mengejutkan, membuatku marah, dan kecewa sekaligus.
Di kampung mertua ku, gosib beredar bahwa selama aku dinikahi mas Arman, semua biaya hidup ibu ku di tanggung oleh nya.
Sejak kapan?
Hanya 5 bulan angsuran hutan tersebut di bayar mas Arman. Sebab gosip itu pula aku marah terhadap suamiku. Tapi, apa yang aku dapat?
Mas Arman balik marah kepadaku dan pergi tanpa menyelesaikan masalah. Satu hari aku mendiami nya, tidak ada usaha untuk memperbaiki keadaan. Dua hari aku masih tetap mendiami, dia juga tidak perduli. Ketiga harinya, aku mengalah, dan memulai bicara padanya.
"Gak tahan juga kau kan aku diami."
Aku hanya diam saja mendengar ucapan mas Arman yang seolah aku bersalah. Padahal, aku meminta keadilan atas gosip yang beredar. Mertua ku harus di tegur atas perbuatan itu.
Tapi, lagi-lagi aku harus menelan segala gejolak hati ku demi keutuhan rumah tanggaku.
***
Senyuman ku merekah melihat banyak nya komentar para pembaca setia ku yang sangat kritis menanggapi novel yang aku tulis.
Ucapan syukur terus aku gumam kan dalam hati dengan pemberian Sang Pencipta. Tiada kegundahan hatiku memikirkan pembayaran bulan depan karena sudah tercukupi.
Aku bangkit dari duduk menuju dapur hendak memasak makan siang sebelum suamiku pulang kerja. Sembari memasak, aku hidupkan mesin air dan membuka kran air atas mesin cuci.
Beginilah hari-hari aku jalani dan aku sangat menikmati ini sebab aku lebih suka berada di dalam rumah.
"Lala... Lala.."
Aku mematikan kompor ketika mendengar suara seseorang memanggil nama ku. Mesin air yang aku nyalakan tadi, gegas ku matikan dan memasukkan pakaian kotor, tak lupa detergen ku bubuhkan. Ku putar wash selector di angka 9 lalu berjalan menuju pintu utama.
Kulihat Mbak Yani berdiri di teras, aku pun segera menghampiri. "Ya, mbak. Ada apa?"
Aku memerhatikan gerak-gerik Mbak Yani tampak cemas, tangan yang terus di remas, dan terlihat ketakutan.
"Kamu punya simpanan, La?" Mbak Yani benar-benar terlihat cemas aku pun mulai khawatir.
"Simpanan apa, mbak? beras? itu ada kalau mau satu kilo atau dua kilo ada," jawab ku polos. Sebab, di gang Mess bagian belakang tempat tinggal ku sering saling membantu. Sering masak sayur bersama, berbeda dengan gang Mess bagian depan dan tengah yang selalu bertetangga bagai kompetisi siapa yang lebih punya segalanya. Padahal, jika dipikirkan rasanya percuma seperti itu karena gaji serupa, gaji UMR.
"Bukan. Uang, La. Kamu punya uang lebi 100? Aku belum bayar Mekar, mereka sudah datang nagih. Tolong, La."
Mendengar ucapan Mbak Ratih membuatku jengah. Terkadang aku berpikir, mengapa banyak diantara mereka mudah meminjam uang dengan pembayaran setiap Minggu. Padahal, bagi kami sebagian, banyak sisa gaji yang tidak mencukupi hingga ke akhir bulan menunggu gaji berikutnya.
"Gimana ya, mbak. Kan mbak harus bayar setiap Minggu nya, kenapa gak kumpulin tiap hari biar pas. Jadi gak pinjam-meminjam tetangga," seru ku. Memang harus nya seperti itu, kan? Bukan kah sebelum meminjam sudah di perhitungkan sanggup tidak kah membayar angsuran nya.
"Suami mbak sudah tiga hari gak kasih uang belanja, La. Mbak bingung."
Ck. Ingin sekali aku menyembur nya. "Pinjaman mbak yang Minggu lalu saja belum di kembalikan," cicit ku sudah mulai malas bicara pada nya.
"Tolong kenapa, La. Pasti kamu kan ada simpanan, apa lagi kamu belum ada tanggungan. Kalau aku wajar, anak ku lima. Masih sekolah semua," tutu mbak Yani membuat ku semakin kesal.
Bagaimana tidak?
Mbak Yani sudah menyinggung hati ku dengan sisi sensitif karena bicara mengenai tanggungan yang tak lain ialah momongan.
"Maaf, gak ada. Aku juga belum dikasih uang sama suami ku," tutur ku mulai ketus. Aku pun masuk ke dalam rumah, mengambil kunci sepeda motor matic ku.
Aku melewati mbak Yani begitu saja setelah menutup pintu rumah. "Aku mau ke warung dulu, mbak." Mbak Yani hanya memerhatikan ku.
Lebih baik aku tinggalkan saja mbak Yani dari pada harus berdebat.
"Dia yang hutang, aku yang bayar. Orraahh.."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Rizky Rahma Aulia Akbar
nahh bener mbk Lala dya yg utang knp kita yg bayar oraaahh Sudi aku minjemno
2023-05-02
2
Tia Bach
susah klo punya temen bgtu la... 🤦♀️
2023-03-06
1
Anik Kwon
mekar tuh juga. apa kak?
2023-02-04
0