Kanaya telah membuka kedua matanya, kini pandangannya pertama kali menatap langit-langit dinding yang berwarna putih. Ia pun menoleh, saat itu yang ada di sampingnya adalah sang ibu.
"Bu, apa yang terjadi dengan Naya?" tanyanya yang merasa sedikit pusing.
"Syukur kamu susah sadar, Nak. Kata Doni, Kamu itu kemarin terpeleset dan kepala kamu terbentur saat keluar bersama dia," ucap Dewi.
Terpeleset?! Pikiran Kanaya mulai melayang mengingat kejadian kemarin. Ia masih ingat betul kalau dirinya tak terpeleset atau pun jatuh. Kalau terbentur, itu memang benar. Ia terbentur dashboard mobil Doni saat ia dipaksa masuk ke dalam mobil. Ia tak menyangka laki-laki itu akan mengarang cerita hingga ibunya percaya pada dia. Padahal sangat jelas, ia begini karena kelakuan dia yang menyiksanya hingga tak sadar diri.
"Lain kali kalau jalan itu kamu hati-hati, kalau begini jadinya merepotkan juga. Beruntung biaya rumah sakit Doni yang menanggung semua ini, kalau ibu mana mampu. Apa lagi kamar ini, mahal biayanya," ucap Dewi sambil berkacak pinggang.
"Bu, kalau dia yang bayar biaya rumah sakit itu, sudah wajar karena dia yang …."
"Sudah, nggak perlu banyak bicara. Sebaiknya kamu istirahat sekarang," ucap Dewi.
Kanaya hanya bisa memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri karena terlalu berpikir keras, ia yang benar saja tetap disalahkan padahal itu dimata ibunya sendiri apalagi orang lain.
"Bagaimana kondisinya, Buk?" tanya Doni yang berjalan masuk dengan membawa kantong kresek di kedua tangannya.
Ibu Dewi yang mendengar suara tak asing itu pun menoleh, melihat calon menantu yang datang ia pun beranjak berdiri.
"Nak, Doni. Sini! Duduk, Nak!" Dewi mempersilahkan menantunya untuk menempati kursi yang ia duduki tadi.
"Iya, Buk. Ini Doni bawakan sarapan untuk ibu, sebaiknya ibu makan dulu. Pasti ibu lelah menunggu semalam Naya," ucap Doni dengan menyerahkan bungkusan makanan yang berada dalam kantong kresek yang ia bawa. "Dan, ini ada sedikit buah," ucapnya lagi dengan meletakkan salah satu kantong kresek ke atas meja di samping ranjang Kanaya berbaring.
"Maaf banget lo, Nak. Kami jadi merepotkan kamu," ujar Dewi. "Kalau begitu, ibu makan dulu ya. Kalian mengobrol saja dulu," ucap Dewi berjalan keluar untuk mengisi perutnya.
Setelah sang ibu keluar, kini tinggal ia dan Doni yang berada di ruang rawat inap tempatnya di rawat. Ia memilih untuk diam, ia masih belum memiliki tenaga untuk berdebat atau pun kabur jika Doni melakukan kekerasan padanya lagi. Namun, ia tak bisa berbohong dengan hatinya sendiri. Terlalu sakit untuk menjalani semua ini, apa lagi orang tuanya tak pernah mendengarkan ucapnya. Bahkan orang tuanya tetap dengan keputusannya untuk menikah ia dengan Doni padahal Doni bukanlah orang yang baik.
"Sayang aku benar-benar minta maaf. Tolong maafkan aku," ucap Doni seraya meraihi tangan Kanaya yang dari tadi memalingkan wajah darinya.
Kanaya langsung menghapus air matanya dengan salah satu tangannya yang tak disentuh oleh Doni.
"Don, aku ingin mengakhiri semua ini. Aku lelah," lirih Kanaya. Dengan cepat ia melepaskan tangannya dari genggaman Doni.
"Sayang, jangan katakan itu! Kalau kamu meninggalkanku, aku bisa mati tanpa kamu," ucap Doni dengan memasang wajah melasnya.
"Tidak, Don. Aku tak bisa, keputusanku sudah bulat. Aku tak mau bertahan lagi," ucap Kanaya. "Sebaiknya kamu pulang, aku ingin istirahat, aku ingin berpikir dengan tenang," lanjutnya lagi.
"Baiklah aku akan pulang, dan membiarkan kamu berpikir dengan tenang. Tetapi, aku mohon jangan putuskan aku. Aku tahu kamu saat ini sedang emosi karena sikapku kemarin yang terlalu egois. Aku tahu kamu masih sayang dan cinta denganku, aku pun juga begitu," ucap Doni. "Sayang, jangan buat kecewa orang tua kamu," ucapnya lagi setelah itu keluar meninggalkan Kanaya sendiri.
***
Setelah dua hari di rawat di rumah sakit, Kanaya telah di izinkan pulang. Kini ia sedang berada di ruang tamu rumahnya bersama kedua orang tuanya.
"Yah, Buk, ada yang ingin Naya katakan pada kalian," ucap Kanaya dengan menatap kedua orang tuanya secara bergantian. Bagaimanapun ia harus menjelaskan pada orang tuanya. Ia tak mau lagi melanjutkan hubungannya dengan Doni, apa lagi sebuah pernikahan sudah mereka atur dan tinggal beberapa minggu.
"Katakan apa itu!" Ibunya menyahut dengan cepat.
"Aku tak ingin menikah dengan Doni. Aku ingin membatalkan pernikahan ini sebelum semuanya terlanjur," ujar Kanaya dengan menundukkan wajahnya tanpa berani menatap kedua orang tuanya.
"Kamu tidak bisa membatalkan begitu saja, semua telah disiapkan dengan matang. Jangan buat malu!" teriak Ayah Kanaya dengan menggebrak meja kaca hingga kaca itu retak.
"Ayah, dia itu yang membuat aku berbaring di rumah sakit dua hari. Kalau aku masih melanjutkannya, entah apa yang akan terjadi padaku suatu saat nanti," jelas Kanaya. Kanaya pun mulai terisak saat ia mengingat perlakuan kasar Doni.
"Justru dia yang menyelamatkan kamu. Kalau saja kamu terlambat dibawa ke rumah sakit pasti nyawa kamu sudah berakhir," teriak Adi, ayah Kanaya.
Kanaya menggelengkan kepalanya, jika semua itu tak benar. Namun, ia mendapatkan tatapan tajam dari sang ayah.
"Perlu kamu ketahui, Kanaya. Sejak aku menikahi ibumu, aku merawatmu, membiarkanmu tinggal di rumahku, kamu harusnya memiliki hati balas budi. Aku telah membesarkan anak haram seperti kamu seharusnya kamu itu sadar diri," ucap Andi melototkan kedua matanya dengan bibir melengkung mengancam pada putri yang telah ia besar, tetapi tak tahu bagaimana berterima kasih.
Deg! Apa kah ada namanya balas budi jika seorang orang tua membesarkan anaknya. Seharusnya tidak bukan?!
"Naya, dengarkan ayah kamu!" pintu Dewi. Ia berjalan ke arah putrinya. "Ayah kamu tak bermaksud begitu, tapi ini semua demi kebaikan kamu juga," ucapnya lagi sambil menghibur dan membujuk Kanaya agar tetap melanjutkan hubungannya dengan Doni.
Kebaikan?! Apa akan ada kebaikan kalau ada kekerasan dalam rumah tangga? Itu lah yang kini Kanaya pikirkan. Ia pun dengan cepat menggelengkan kepalanya. Keputusan yang ia ambil adalah yang paling tepat, dan tak bisa diganggu gugat lagi.
"Kanaya, apa kamu mau hidup miskin seperti ini terus? Hidup miskin itu akan selalu dipandang rendah oleh orang lain, kalau kamu menikah dengan Doni hidupmu akan berbeda," jelas Dewi. Ia tak mau selamanya hidup seperti ini, kekurangan.
"Buk," ucap Kanaya dengan nada tinggi.
"Berani kau membantah dan membentak ibumu! Pergi kamu anak haram," teriak Adi.
Kanaya pun yang merasakan sesak di dadanya, ia berlari keluar rumah. Ia memang tahu, jika ayahnya bukan ayah kandungnya. Ia pun sudah berusaha untuk mendapatkan cintanya, tetapi rasanya sia-sia. Pengorbanannya selama ini tak pernah dipandang.
Ia terus berlari, ia tak berhenti berlari, ia tidak tahu akan ke mana. Yang ia pikirkan saat ini pergi meninggalkan tempat yang menyesatkan ini, tempat di mana tidak ada kebahagiaan, tempat di mana ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia harus berlari lebih cepat lagi dari rasa sakit yang kini ia rasakan. Ia harus berlari lebih cepat dari kekecewaan dan mimpi yang hancur. Hingga kini ia terengah-engah setelah lari cukup jauh. Ia pun duduk di bawah pohon yang cukup besar, ia menyandarkan tubuhnya sambil mengeluarkan air mata yang kini membasahi kedua pipinya. Ia tak tahu berapa jam ia berlari sambil menangis.
Kanaya yang tenggelam dengan pemikirannya, ia tak sadar jika sedari tadi ada seseorang yang memperhatikan dirinya.
"Hai cantik, kenapa kamu duduk sendirian sambil menangis?" sapanya dengan memberikan sapu tangan miliknya.
Kanaya menerima sapu tangan itu, dengan cepat ia mengusap air matanya dengan sapu tangan itu.
"Terima kasih," ucap Kanaya.
"Tak perlu mengucapkan terima kasih, karena sapu tangan itu pasti sangat bahagia bisa menghapus air mata wanita yang sangat cantik seperti kamu. Jadi jangan kotori wajah cantiknya dengan air mata," ucapnya.
Kanaya melirik orang yang berdiri di sampingnya dengan wajah yang tampan, dengan mata biru yang sedang tertawa menyeringai hingga menunjukkan satu set lesung pipit.
"Maaf, ini sapu tangan kamu," ucap Kanaya dengan mengembalikan sapu tangan milik laki-laki itu. Bagaimanapun ia harus mengambil apa yang bukan miliknya walaupun itu hanya sekedar sapu tangan.
"Itu untuk kamu, simpanlah setiap kali kamu sedih dan ingin menangis lihat saja sapu tangan yang akan selalu ada untuk menghapus air mata kamu," ucap laki-laki itu dengan membalikkan tubuhnya untuk pergi.
Kanaya merasa sangat nyaman saat berada di dekat orang asing itu, sehingga ia lupa tak menanyakan siapa namanya.
"Tunggu!" teriak Kanaya saat melihat laki-laki itu yang semakin jauh dari pandangannya. "Namaku Kanaya, anda siapa?" lanjutnya memperkenalkan diri dengan sedikit berteriak sehingga laki-laki itu menoleh ke arahnya. Ia juga bisa mendengarkan dengan samar-samar dia berucap jika senang bertemu dengannya.
Kanaya, akhirnya memutuskan untuk pulang karena hari sudah gelap. Ia juga tidak bisa pisah dengan ibunya, walaupun hatinya sangat kesal pada beliau. Bagaimanapun beliau tetap ibunya, yang melahirkan dirinya, ia begitu menyayanginya. Saat ia berada melangkah ke arah rumahnya, ia melihat ibunya yang sedang mondar-mandir dengan raut wajah cemas, ia segera menghampirinya. Ia senang ibunya cemas itu karena khawatir dengan dirinya.
"Ibu," ucap Kanaya sambil memeluk sang ibu bahagia, setidaknya ibunya masih peduli dengannya.
Ibu Dewi pun melepas paksa pelukan Kanaya dan memberikan sebuah tamparan pada putrinya.
"Bu, kenapa menampar Kanaya? Apa salah Kanaya?" cecar Kanaya dengan dua pertanyaan. Ia pun mengusap pipinya yang terasa begitu sakit.
"Kamu masih tanya?! Karena ulah kamu ayah kamu …," ucap Dewi yang menangis tak mampu melanjutkan kata-katanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Fajarina
sampai disini bikin esmosi deh ortu ya Kanaya😡
2023-02-04
0