Bab 4

"Ayah kenapa?" tanya Kanaya sambil mengguncang tubuh ibunya yang masih terisak.

"Ayah kamu, ayah kamu kena serangan jantung," jawab ibunya sambil mengusap air matanya.

"Lalu bagaimana dengan kondisinya?"

Ibu Dewi menggeleng, ia tak tahu bagaimana kondisi suaminya karena dokter setempat masih memeriksa kondisinya.

Saat melihat dokter keluar dari rumahnya, ia dan ibunya segera berjalan menghampirinya.

"Dok, bagaimana kondisi ayahku?" tanya Rania.

"Ayah kamu baik-baik saja, dia hanya kena serangan jantung biasa. Setelah istirahat yang cukup pasti akan segera pulih kesehatannya," jelas dokter. "Kalau begitu, aku pamit. Ini resep obat yang perlu kalian tebus di apotik," ucapnya lagi dengan memberi selembar kertas resep obat.

Kanaya menerimanya, "Terima kasih, Dok."

Kanaya merasa lega, tak ada yang serius dengan kondisi ayahnya. Setelah kepergian dokter, ia dan ibunya masuk ke dalam rumah untuk melihat sang ayah.

Kanaya bisa melihat kondisi ayahnya yang bernafas mengap-mengap dari tenggorokannya yang terlihat seperti tersumbat. Ia melirik dan memalingkan wajah dari sang ayah rasanya ia tak bisa berkata apa-apa. Dan disaat itu juga ia melihat ibunya sedang berlinang air mata dan menyeka matanya dengan punggung telapak tangan dan memeluk dirinya. Ia merasa bersalah.

"Nak, minta maaflah pada ayahmu," ucap Dewi disela-sela isak tangisnya.

Kanaya pun mengangguk, ia berjalan ke arah ayah yang berbaring di sofa.

"Yah, Kanaya minta maaf," lirih Kanaya. Mungkin jika ayahnya pergi untuk selamanya ia tak memiliki kesalahan padanya.

"Jika kamu benar-benar minta maaf dan menyesali, maka kamu akan setuju untuk mempertahankan Doni. Dan kamu tetap menikah dengan dia," ucap Adi dan menatap dingin ke arah Kanaya.

Kanaya berdiri terdiam, ia tak percaya jika ayahnya dalam kondisi sekarat seperti ini masih bersikeras padanya untuk tetap menikah dengan Doni.

Ayah Andi yang melihat Kanaya terdiam Ia pun segera bicara lagi, "Jangan datang ke sini lagi untuk minta maaf! Kalau kamu tidak mau melanjutkan pernikahan dengan Doni. Pergilah aku butuh istirahat!"

Kanaya merasa terluka ia perlahan di jalan mundur dari ruang tamu dan kini ia berdiri tepat di samping ibunya di dekat pintu.

"Nak, tolong! ucap Dewi menatap Kanaya dengan memohon.

Kanaya menatap ibunya dengan wajah yang sangat pucat dan lemah. Ia pun tak menjawab.

"Kenapa kamu tak mengikuti permintaan ayahmu, yang mungkin saja ini terakhir kalinya," ucap Dewi dengan lirih.

Kanaya tenggelam dalam pemikiran kemudian ia angkat suara.

"Doni bukan laki-laki untukku,Ibu."

"Lalu siapa pria untukmu?" teriak Dewi dengan wajah marah. "Apa pria yang tidak punya uang sepeserpun itu? Apa kamu tidak melihat bagaimana Doni membantu kita?" hardiknya dengan nada yang cukup tinggi. "Kalau kamu tak menikah dengan Doni bagaimana dengan hidup kita? Kita akan makan apa? Tinggal dimana?" lanjutnya lagi dengan terus memarahi Kanaya untuk mengingat bagaimana mereka bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan di kota metropolitan.

"Tapi, Buk. Kanaya bisa cari kerja tanpa harus menikah dengan Doni. Kanaya janji akan cari uang untuk ibu dah Ayah," ucapnya menyakinkan ibunya karena sebentar lagi ia akan lulus kuliah.

"Mencari kerja di kota besar tak seperti membalikan telapak tangan, Naya. Kamu tahu kita tak punya koneksi, apa kamu ingin menjual diri kamu? Dari pada itu lebih baik kamu menikah dengan Doni."

Kanaya tak menyangka ibunya akan bicara seperti itu, padahal ucapan seorang ibu sama saja seperti doa.

"Buk, tolong jangan bicara seperti itu! Kita memang miskin, tapi Kanaya masih punya harga diri. Kanaya tahu mana dosa dan tidak. Tolong, Buk, pikirkan kebahagian Kanaya juga," ucap Kanaya memohon.

"Kanaya, kebahagiaan kamu bersama Doni. Beri kesempatan dia, dia akan berubah. Tolong lakukan untuk Ibu, Naya." Dewi berkata seraya menatap Kanaya dengan air mata yang berlinang. "Ibu sangat mencintai ayahmu dan ibu akan melakukan apa saja untuk membuatnya senang di sisa-sisa umurnya," lanjutnya lagi.

Setelah permintaan ibunya itu, ia pun tak menghabiskan malam di rumahnya. Ia pergi ke rumah sahabatnya, Nisa. Ia sangat heran dengan semua orang yang memandang ia dan Doni sebagai pasangan yang begitu sempurna, padahal itu tidaklah benar.

Keesok harinya, ia pulang ke rumah mendapat Doni yang sedang berbincang dengan kedua orang tuanya.

"Kanaya, lihat siapa yang datang?" ucap Adi pada Kanaya yang baru saja pulang entah dari mana perginya.

Kanaya melirik sekilas ke arah Doni, ia ingin beranjak ke kamarnya untuk bersiap kuliah. Namun, ibunya menarik tubuhnya untuk bertahan tetap di tempatnya.

"Nak, sebaiknya kamu bicara dengan Doni," ucap Adi. Ia pun berdiri untuk meninggalkan Kanaya, saat ia melewati Kanaya ia berbisik pada putrinya. "Jangan mengacaukan semuanya," tegasnya lalu pergi meninggalkan mereka.

"Nak, ibu mohon," ucap Dewi yang kemudian ikut pergi meninggalkan Kanaya agar bicara dengan Doni.

Kanaya tak berniat untuk mendekat ke arah Doni, ia masih setia berdiri dengan menyandarkan punggungnya dinding yang warna catnya telah pudar itu. Ia melirik ke arah Doni yang duduk dengan wajah sombong seperti tak ada lagi penyesalan darinya.

Doni yang melihat Kanaya tak kunjung duduk itu pun, ia yang berdiri untuk menghampiri kekasihnya itu.

"Sayang, kamu dari mana? Kenapa kamu tak mencoba melupakan apa yang terjadi, dan mari kita lanjutkan hubungan kita ini," ucap Doni dengan menyentuh lembut Kanaya.

Kanaya menjauhkan sedikit wajahnya dari Doni, agar laki-laki itu tak menyentuh sembarangan.

"Hai, kenapa kamu sok suci seperti itu. Kamu itu milikku, dan selamanya akan jadi milikku," ucap Doni menyeringai.

"Don, hentikan!" ucapkan Kanaya yang tak terima jika laki-laki itu menyentuhnya lagi. Mungkin saja ia tak akan bicara dengan dia kalau orang tuanya tak meminta.

Doni memasang wajah melasnya, "Sayang, aku sudah berulang kali bilang maaf padamu. Kenapa kamu tidak bisa melupakan kejadian itu dan marilah kita mulai lagi untuk menatap masa depan kita?"

"Itu selalu masalahnya, Don. Kalau kamu selalu minta maaf tapi tidak pernah mengubahnya dan terus mengulang dan mengulanginya lagi. Aku muak dengan semua ini," tegas Kanaya yang telah menjalani hubungan yang menurutnya tak baik dan tak pantas untuk dipertahankan.

Seketika Doni meriah tangan Kanaya, "Aku akan berubah, Naya. Aku hanya cemburu jika kamu dengan pria lain. Aku mencintai kamu, Naya."

"Aku juga cinta dengan kamu, tetapi aku juga tidak tahan dengan sikap kamu yang selalu main tangan," jelas Kanaya.

"Aku senang mendengar jika kamu masih mencintaiku, itu tandanya kita masih bisa bersama. Aku janji akan mengubah sikapku," ucap Doni. Ia pun memeluk tubuh mungil Kanaya.

Satu minggu telah berlalu Doni benar-benar menjadi orang yang berubah dan karena ia sangat bahagia hubungan ia dan dunia akhirnya kembali berjalan dengan baik minggu itu Minggu yang sangat damai bahkan ayahnya sangat sayang padanya setelah ia kembali dengan Doni.

Dan hari itu, Doni mengajaknya kencan. Ia pun menyetujui karena ia juga ingin memperbaiki hubungan mereka agar lebih baik lagi.

"Don, kita mau kemana?" tanya Kanaya yang melihat Doni melajukan mobilnya ke jalan arah rumah dia.

"Kita akan ke rumahku sebentar, ada sesuatu yang ingin aku ambil sebelum kita kencan," ucap Doni tersenyum menyeringai.

Doni sangat berharap rencananya kali ini berhasil, sudah sangat lama ia menyusun semua ini untuk memiliki seutuhnya Kanaya. Dengan begitu, wanita disampingnya akan menurut apa katanya, tak akan memberontak lagi. Pikir Doni.

Terpopuler

Comments

Fajarina

Fajarina

what??
wah bener2 y

2023-02-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!