"Aku akan bekerja, untukku dan untuk anak ini. Dia tidak salah, jadi aku akan melahirkannya." Aliyha sudah mempunyai tekad, dan tekadnya sudah bulat.
"Kamar di sini cuma satu, kau mau tidur bersamaku?" tanya Refika dan mendapat anggukan dari Aliyha.
Refika membawah Aliyha masuk ke dalam kamarnya untuk tidur.
*
Matahari pagi telah menyinari, saat ini Refika tengah membuat nasi goreng untuk sarapan mereka berdua.
Aliyha tidur sangat larut, hingga dia tidak bisa bangun di pagi hari, hingga Refika harus membangunkannya untuk sarapan.
"Aliyha, Aliyha." Refika menguncang pelan tubuh Aliyha yang tengah tidur.
"Hm,"
"Ayo sarapan," ajak Refika.
"Maaf..., aku kesiangan," Aliyha segera beranjak dari kasur.
"Tenang saja, aku sudah buat sarapan. Ayo," ajak Refika dengan tersenyum.
"Trima kasih," ujar Aliyha dan langsung memeluknya.
Aliyha dan Refika sarapan bersama, setelah itu mereka pun bersiap-siap untuk mencari pekerjaan.
"Kita jalan ke mana, Fik?"
"Ke mana aja, yang penting ada lowongan pekerjaan untuk kita." Fika meraih lengan Aliyha.
*
*
Dari satu kantor ke kantor lainnya, Aliyha dan Refika mengunjungi setiap kantor yang membuka lowongan untuk, namun belum ada yang cocok dengan bidang mereka.
"Kita ke mana lagi, Fik?" tanya Aliyha yang sudah hampir putus asa.
"Sabar dan yakin. Pasti ada satu dari seribu, dan kita akan mendapatkannya." ucap Refika mengemangati.
"Enak saja! Seribu, banyak sekali." protes Aliyha.
"Iya, seumpamanya!" jelas Refika.
"Hm, ya! Semangat Aliyha!!" dia menyemangati dirinya sendiri dan kembali berjalan bersama Refika.
*
Hari sudah sore, Aliyha bersama Refika tengah kembali ke kontrakan. Aliyha telah meninggalkan berkas lamarannya di sebuah perusahaan yang tidak terlalu besar, tinggal menunggu panggilan.
"Capek banget," ucap Refika setelah terduduk di sofa, sepulang dari berputar-putar mencari pekerjaan.
"Iya, capek." Aliyha mengikuti Refika duduk bersama.
"Gimana? Kenapa kamu tidak memberikan berkasmu tadi?" tanya Aliyha.
"Aku nggak minat. Aku mau kerja yang lain," jawab Refika.
Sebenarnya yang ada di benak Refika, jika dia ingin Aliyha yang mendapatkan pekerjaan itu. Refika sengaja tak memberikan lamarannya, walau pekerjaannya cukup bagus.
*
*
Di rumah Rahman, Salma tak henti-hentinya menangis. Dia meratapi nasib putrinya, kini Aliyha pergi entah ke mana, dia tak dapat mencegah kepergian putrinya itu karena suaminya tak ingin menampung Aliyha lagi.
"Salma, berhentilah menangis!" ujar Rahman yang baru saja sampai di ruang tamu, tempat Salma sedang meratap saat ini.
"Pak! Aliyha anak kita pak! Bapak tega mengusirnya dari sini," ujar Salma dengan terisak.
"Di mana pun dia sekarang, setidaknya dia tidak mendengar gunjingan orang." Rahman kembali berdiri dari duduknya dan berlalu menuju dapur dan Salma terus saja menangis.
*
*
Seminggu kemudian, saat ini Refika sudah bekerja. Refika memilih bekerja di restoran sebelum mendapat pekerjaan yang lebih baik.
Aliyha, masih menunggu panggilan dari perusahaan yang telah menerima berkas lamarannya. Perusahaan itu tidak terlalu besar, tapi untuk saat ini dia akan bekerja apa saja, untuk menyambung hidupnya dan bayinya juga.
Aliyha sedang duduk di ruang tamu, memainkan ponselnya untuk mengusir kebosanan. Tiba-tiba saja ponselnya berdering, nomor tidak kenal masuk ke panggilan ponsel Aliyha.
"Halo," jawab Aliyha di ponselnya.
"...."
"Iya,"
"...."
"Benarkah?" Raut wajah Aliyha berubah, sudut bibirnya terangkat membuat sebuah senyuman.
"...."
"Baiklah. Besok aku akan ke sana," jawab Aliyha.
Tut tut tut tut
"Waaaww!" pekik Aliyha setelah selesai menerima panggilan di ponselnya.
"Refika. Ah, nggak asik banget, sih! Aku sendirian di sini, tidak ada yang bisa di ajak berbagi!" Seru Aliyha yang menyadari Refika sedang bekerja saat ini.
"Tidak apa. Aku akan memberitahunya nanti," Lanjutnya dengan bergumam.
*
Malam hari, kini Refika telah kembali ke rumah kontrakannya sedari bekerja.
"Waaaa!" pekik Aliyha seraya memeluk Refika, saat dia baru saja melangkah di pintu.
"Akh! Kesambet, ya!" kesal Refika.
"Refika-Refika-Refiiika!" pekik Aliyha sangat kencang, hingga para tetangga menegur mereka.
"Woy!!" teriak tetangga sebelah, menegur mereka.
Aliyha langsung menutup mulutnya rapat, sambil cekikikan.
"Ada apa, sih?" Refika kebingungan melihat Aliyha yang begitu gembira.
Aliyha tak menghiraukan Refika dengan kebingungannya, dia terus saja tertawa dengan pelan. Takut jika mendapat teguran lagi.
"Sinting kali!" kesal Refika yang tak mendapat jawaban dari Aliyha.
Refika melangkah masuk, meninggalkan Aliyha di depan pintu.
"Eh, tunggu." Aliyha meraih bahu Refika hingga berbalik padanya.
"Apa Aliyha? Kamu kenapa? Menang lotre, atau dapat gradprize?" tanya Refika, saat ini dia sangat lelah, tapi tidak mungkin dia menunjukan kekesalannya pada wanita yang sedang di rundung masalah itu.
"Fik...!!" Aliyha memeluk Refika dengan erat seraya melompat-lompat di pelukannya. "Fik, aku di terima kerja!!" seru Aliyha dengan girang.
"Haa, benarkah? Slamat, ya." Refika ikut bahagia mendengarnyar dan membalas pelukan Aliyha. "Jadi, kapan kerjanya?"
Aliyha melepas pelukan mereka, seraya mengajak Refika duduk di sofa.
"Besok. Besok aku disuruh ke sana, membicarakan tentang pekerjaanku. Akhirnya, aku dapat kerja juga." jawab Aliyha dengan bahagia.
"Iya, slamat ya. Semoga sukses, besok." ucap Refika tulus.
"Iya, makasih! Nanti aku juga bisa bantuin kamu, kalau udah gajian. Bayar kontrakan dan buat sehari-hari kita." ujar Aliyha.
"Sudah, nggak usah mikirin itu. Kamu juga butuh tabungan, buat si kecil kamu. Nggak usah mikirin yang lain, pikirin aja kesehatan kamu dan si kecil, dan biayanya nanti," ucap Refika seraya memegang perut rata Aliyha.
"Iya, kamu benar. Aku pasti banyak nyusahin kamu, nanti." Aliyha menjadi lesuh saat mengingat dirinya yang sedang mengandung saat ini.
"Sudah, sudah, jangan mewek, nanti jelek. Ayo, kamu sudah makan? Aku bawah makanan," ujar Refika menenangkan Aliyha dan mendapat anggukan dari Aliyha.
*
*
Pagi hari, Aliyha telah siap untuk berangkat menerima panggilan kerjanya.
"Selesai?" tanya Refika yang masuk ke dalam kamar.
"Gimana?" tanya Aliyha balik, memperlihatkan penampilannya.
"Ok." Refika membulatkan jari telunjuk dan jempolnya menghadap Aliyha. "Ayo, berangkat."
*
*
Aliyha tengah duduk berhadapan dengan bagian HRD di kantor yang telah memanggilnya bekerja.
"Baik, Nona Aliyha. Apa anda siap bekerja?" tanya pria di hadapan Aliyha.
"Iya, Pak," jawab Aliyha mantap.
"Apa kamu siap, untuk pindah kota?" tanyanya lagi.
"Apa, Pak? Pindah kota, maksudnya bagaimana, ya?"
"Iya, kami sudah melihat berkasmu dan di kantor pusat Jakarta, memerlukan kepala gudang dan kami rasa kamu cocok untuk itu," jelasnya pada Aliyha.
"Jakarta, tapi saya tidak punya sodara di sana, Pak." jelas Aliyha.
"Tidak apa, di sana kami punya mes untuk para karyawan seperti kalian. Maksud saya, seperti kamu yang dari jauh." jelasnya lagi.
"Baik, Pak. Nanti saya bicara dulu dengan keluarga saya." ucap Aliyha.
"Baiklah, kau bisa konfirmasi dua hari lagi." ujar Pria itu dan Aliyha hanya mengangguk.
Aliyha keluar dari kantor itu, namun perasaannya sangat bimbang. Bagaimana bisa dia pergi ke ibukota dengan keadaannya seperti sekarang, tapi menghilangkan kesempatan yang sudah di depan mata, sangat di sayangkan sama sekali.
Aliyha melangkah keluar kantor itu, menuju jalan kembali ke rumah kontrakan milik Refika. Dia akan memikirkannya nanti, soal pekerjaan itu. Di terima atau mencari pekerjaan lain.
.
.
.
.
Hai, readersku. Dukung author ya...
Dengan Like, Coment and Vote😊
Kembang sama kopinya juga, ya🤗🤗🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments