Keesokan harinya, pagi pagi sekali Devan sudah tiba di kantor, ia sudah tidak sabar untuk segera membaca hasil pencarian mengenai gadis itu. Karena hari masih pagi, jadi masih tidak ada siapapun di kantor. Hanya petugas kebersihan saja yang sedang mengerjakan tugasnya untuk membersihkan seluruh area kantor. Mereka terheran melihat atasannya yang sudah tiba pagi sekali. Biasanya Devan selalu datang jam sembilan pagi, tapi ini jam enam ia sudah tiba disana.
Devan mengabaikan tatapan penasaran dari mereka, dengan segera ia masuk ke dalam lift untuk menuju ruangannya. Tidak butuh waktu lama untuk tiba di ruangannya, Devan membuka pintunya dan masuk ke dalam. Benar saja, Aris menyelesaikan pekerjaannya dengan tepat waktu. Lihat saja, di mejanya sudah ada map biru yang ia yakin itu hasil pencariannya kemarin.
Devan melonggarkan dasinya yang terasa mencekik di lehernya, lalu duduk di kursi kebesarannya. Matanya terus melirik pada map biru itu. Sebelum dia sempat membukanya, ponselnya tiba tiba saja berbunyi. Devan mendengus kesal karena merasa terganggu. Tapi kekesalannya langsung melihat setelah ia membaca nama si penelfon.
“Ada apa?” tanyanya langsung.
“Bapak sudah membuka hasilnya?” tanya Aris di balik telfon.
Devan berdecak kemudian menjawab dengan seadanya. “Baru saja aku mau membukanya kamu malah nelfon.”
“Maaf pak, saya hanya ingin menjelaskannya karena khawatir bapak bingung. Kalau gitu coba bapak baca dulu untuk memeriksa hasilnya.”
“Kamu memerintahku?!” sengit Devan dengan sinisnya.
“B-bukan begitu pak, saya....”
Devan membanting ponselnya tanpa mematikan ponselnya. Tanpa pikir panjang lagi ia membuka map biru itu dan membaca isinya. Benar seperti apa yang Aris bilang, ia langsung kebingungan ketika melihat foto gadis itu yang duduk di pasar seperti orang kebingungan. Ada banyak foto yang ia juga lihat dari map biru itu, salah satunya adalah foto rumah yang sangat sederhana. Ia kembali mengambil ponselnya dan lanjut berbicara
“Jadi apa maksudnya ini? Kenapa gadis itu hanya duduk di pasar setiap hari? Bukankah dia harusnya sekolah? Aku yakin umurnya pasti umur yang seharusnya ia berada di sekolah..”
Di seberang sana Aris terlihat menggerutu. “Sabar dulu kek, nanya aja kayak mau rapat perusahaan, detail banget.”
Tanpa Aris sadari Devan bisa mendengar suaranya meskipun ia mengecilkan suaranya. “Kamu punya mental sebesar apa sampai berani menggerutu di balik telfon?”
Aris langsung meminta maaf dengan cepat, ia mengalihkan pembicaran dengan melanjutkan penjelasannya.
“Jadi saya simpulkan saja pak, Namanya Lala umurnya baru menginjak sembilan belas tahun. Dan benar kata bapak di umurnya yang segitu dia harusnya masih menikmati bangku sekolah. Tapi ia berhenti sekolah di karenakan menjadi tulang punggung keluarga.
Ibunya sakit sakitan sedangkan ayahnya sudah lama meninggal pak. Mengenai foto ia yang di pasar itu, Lala memang berjualan di pasar pak. Bapak pernah bilang kan foto itu diambil pada saat ia menabrak mobil bapak. Dugaan saya, waktu itu dia lagi terburu buru ke pasar untuk berjualan cabainya. Itu saja pak yang bisa saya sampaikan.” Jelas Aris dengan panjang lebar.
“Sekarang juga kirimkan alamat rumahnya,” balas Devan.
“Baik pak,”
Devan memutuskan telfonnya dan menyimpan ponselnya kembali. Ia mengambil foto Lala tadi dan melihatnya secara detail. Dalam foto itu Lala sedang duduk sambil menjaga cabainya yang masih tersisa lumayan banyak. Tapi Devan tidak memperhatikan itu, ia hanya fokus memandangi wajah Lala yang sangat menggemaskan di matanya.
“Kalau umurnya benar segitu berarti jaraknya sebelas tahun denganku,” batinnya.
Ponselnya kembali bergetar, Devan langsung mengeceknya yang ternyata pesan dari Aris yang mengirimkan alamat rumah Lala. Setelah ia mendapatkannya, Devan kembali fokus untuk memeriksa berkas yang harus diperiksa hari ini, tentunya yang sudah ada di mejanya.
Meskipun masih pagi ia ingin segera menyelesaikannya. Ada hal yang harus ia lakukan nanti. Devan mengambil kaca matanya dan memakainya. Setelah itu ia larut dan fokus dengan pekerjaannya.
.
.
Lala baru saja menghabiskan sarapan paginya, ia hanya masak mie untuk dirinya sendiri. Pagi ini ia cukup bersemangat untuk kembali berjualan di pasar. Kondisi ibunya semakin lama semakin membaik itulah sebabnya dia semangat. Lala sebenarnya ingin membawa ibunya ke rumah sakit saja agar mendapatkan perawatan yang intensif, tapi ibunya menolak. ibunya khawatir dengan biaya rumah sakitnya. Tapi syukurlah hari ini ia bisa melihat ibunya yang sudah semakin membaik.
Setelah mencuci piring, Lala bersiap siap untuk pergi ke pasar. Cabai dan motornya sudah ia siapkan. Sekarang ia hanya perlu keluar dan berangkat.
Pagi ini Lala mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, ia tidak mau kejadian kemarin terulang lagi. Ia menikmati setiap perjalanannya, banyak anak anak seusianya yang berangkat ke sekolah. Lala tersenyum sambil terus mengendarai motornya dengan kecepatan standar. Namun, pada saat Lala melirik pada spion, ia melihat sebuah mobil berwarna hitam berada di belakangnya.
“Loh, itu bukannya mobil yang waktu itu?” gumamnya.
“Ah tapi mobil yang seperti itu kan banyak,” lanjutnya dan memilih untuk mengabaikannya. Ia tidak tau saja jika sedari tadi mobil itu memang mengikutinya. Itu adalah Devan, ia sudah meminta sekretarisnya untuk membatalkan semua kegiatannya hari ini sehingga jadwalnya kosong dan ia bisa melakukan rencana untuk mengikuti Lala.
Devan terus mengikutinya sampai akhirnya mobilnya berhenti di pasar. Ia melihat Lala yang turun dari motornya kemudian mengangkat karung cabainya da masuk ke dalam pasar. Devan dengan buru buru langsung turun dari mobil. Ia yang masih menggunakan pakaian kantor berhasil menjadi pusat perhatian. Semua orang meliriknya dengan tatapan aneh, tapi Devan tidak peduli. Ia berlarian dengan menerobos pengunjung pasar yang lainnya.
“Aduh, pelan pelan dong Mas,”
“Woyyy ini pasar bukan punya nenek moyang lo, jangan asal serobot aja.”
“Dih ganteng ganteng kok gak sopan ya.”
“Mentang mentang pakai jas mahal jadi seenaknya aja,”
Banyak lontaran yang tertuju ke padanya akibat menyerobot ibu ibu yang sibuk menawar ikan. Matanya hanya fokus pada satu arah, dimana Lala berjalan dengan membawa karung itu. Devan memelankan langkahnya agar Lala tidak curiga.
Lala langsung menurunkan karungnya setelah tiba di tempatnya sendiri, ia mengusap keringatnya yang turun akibat berdesak desakan tadi di pintu masuk. “Aku siap siap dulu deh,”
Lala langsung mengambil sapu yang sudah tersedia kemudian membersihkan mejanya untuk berjualan hari ini. Meskipun ia hanya berjualan di pasar, tapi Lala sangat menyukai kebersihan. Ia selalu memastikan tempatnya selalu bersih agar pembelinya merasa nyaman dan tidak berpikir kotor. Devan yang melihatnya dari kejauhan merasa kagum dengan, baru pertama kali ia melihat gadis remaja yang pekerja keras sepertinya. Ia tersenyum sendiri melihatnya.
Ia tidak sadar jika kelakuannya mengintip Lala mendapat perhatian dari seseorang. Orang itu pun menghampiri Lala yang sudah siap berjualan. Devan mengernyitkan keningnya ketika tiba tiba ada seseorang yang menghampiri Lala.
“Neng Lala,” panggil ibu ibu yang memergoki Devan tadi.
Lala langsung menoleh “Eh Bi Mina, ada apa bi? Bibi teh mau nukar uang lagi?” tanyanya.
Orang yang dipanggil Bi Mina adalah salah satu penjual ikan di sana yang sangat dekat dengan Lala. Karena dulunya bi Mina juga merupakan teman ibunya. “Bukan neng, tadi saya liat ada laki laki yang terus ngelihatin neng,” jawab bi Mina sambil menatap wajah Lala.
“Siapa bi?” tanya Lala penasaran.
Sontak orang yang dipanggil bi Mina itu langsung menunjuk ke arah Devan. Devan terkejut ketika Lala tiba tiba menatap ke arahnya.
“Itu dia neng, dari tadi bibi perhatiin teh dia terus ngeliatin, mana sambil senyum senyum lagi.”
Devan mengepalkan tangannya, gara gara orang itu sekarang ia ketahuan. Kalau saja dia bukan orang tua pasti sudah ia hajar dari tadi. Devan tiba tiba panik karena Lala tiba tiba mendekat ke arahnya. “Maaf, om siapa ya?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments