Hari sudah semakin sore, Lala memutuskan untuk segera beres beres dari pasar. Hari ini semua cabainya sudah terjual habis tanpa ada sisa. Lala harus segera pulang karena sebelum petang nanti dia harus mengambil cabai lagi yang akan dijual untuk hari esok.
Setelah membereskan semuanya, ia membawa karungnya kembali dan melipatnya, kemudian ia menyimpannya di jok motornya. Baru setelah itu ia naik ke atas motornya dan pulang.
Dalam perjalanan pulang Lala tiba tiba teringat dengan ibunya yang obatnya sudah habis. Pada akhirnya dia memilih untuk berhenti di apotik dulu untuk membeli obat. Setelah selesai ia kembali melanjutkan perjalanan pulangnya.
Tidak butuh waktu lama, kini Lala telah sampai di rumahnya. Jarak antara rumahnya dengan pasar tidak terlalu jauh sehingga ia bisa sampai dengan tepak waktu.
“Ibu harus minum obat dulu, sebaiknya aku masak dulu sebelum pergi ke kebun,” batin Lala. Lala mengambil plastik yang berisi obat ibunya di motornya kemudian masuk ke dalam rumah.
“Assalamu’alaikum ibu, Lala pulang.”
Meski ia tau tidak akan ada jawaban, Lala selalu mengucap salam ketika pulang. Dengan begitu setidaknya ibunya tau dirinya sudah pulang. Lala sebenarnya ingin mandi terlebih dahulu untuk menyegarkan badannya, tapi hari sudah semakin sore, ia harus segera masak dan menyiapkan obat ibunya. Apalagi nanti ia harus ke kebun. Tentu akan buang buang waktu jika ia harus mandi.
Alhasil Lala langsung ke dapur tanpa istirahat terlebih dahulu. Begitulah kegiatan sehari hari, hanya berjualan di pasar dan merawat ibunya. Ia tidak pernah mengeluh meskipun terkadang ia merasa lelah.
Lala khawatir jika ia mengeluh ibunya pasti akan merasa bersalah padanya sehingga kesehatannya menurun lagi. Lala tidak mau hal itu sampai terjadi. Ia selalu memasang wajah yang ceria agar ibunya bisa tersenyum.
“Yah berasnya tinggal sedikit, ini hanya cukup untuk ibu.” ucapnya saat ingin mengambil beras.
Lala mendesah pelan, terpaksa ia harus menahan lapar lagi, ia akan membeli makanan nanti. Yang penting saat ini ia harus memasak untuk ibunya. Lala langsung mengambil wadah kemudian dituangkannya berasnya ke dalamnya setelah itu barulah ia mencucinya.
ia melakukan semuanya dengan sendirian. Tidak ada yang tau bagaimana gadis sepertinya bisa sekuat itu dalam menghadapi semuanya. Umurnya memang masih muda, tapi pikirannya tidak sekecil umurnya.
Lala dipaksa kuat oleh keadaan, ia tidak punya tempat untuk mengeluh kecuali setiap selesai shalat. Saat ini yang ia punya hanyalah ibunya, Lala tidak ingin apapun lagi selain ibunya ada bersamanya.
Setelah selesai memasak nasi Lala langsung mengambil dua butir telur untuk ia goreng. Ia menghidupkan kompornya dan mulai memecahkan telurnya di wajan, Lala hanya membuatkan telur ceplok untuk hari ini.
Setelah semuanya selesai, ia mengambil obatnya kemudian membawa berserta hasil makannya. Lala mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk, kemudian masuk ke dalamnya.
Saat Lala masuk pandangannya langsung tertuju pada ibunya yang duduk menyandar sambil melihat ke jendela. Angin sepoi sepoi yang masuk melalui jendela berhasil menerbangkan sedikit rambut ibunya yang kusut. Lala tersenyum dan melangkah semakin mendekat.
Ibunya tiba tiba menyadari keberadaannya langsung menoleh. “Kamu sudah pulang sayang?” tanyanya dengan senyum teduhnya.
Lala membalas senyuman ibunya kemudian duduk di samping ibunya. “Iya bu, Alhamdulillah hari ini cabai kita habis terjual semua. Ini semua berkat ibu yang selalu mendoakan Lala.”
Siti mengangkat tangannya untuk mengelus rambut Lala. “Syukurlah kalau gitu, Nak. Gunakan uang itu dengan baik, itu adalah hasil kerja kerasmu.”
“Enggak bu, ini bukan uang Lala saja. Ini uang kita bersama.”
Siti terenyuh, ia terus memandangi wajah Lala, matanya selalu berkaca kaca setiap melihat Lala. Wajah Lala selalu membuatnya teringat dengan almarhum suaminya yang sudah lama tiada. Bohong jika ia tidak merindukan suaminya, selama ini orang yang paling berjasa dalam hidupnya adalah suaminya. Tanpa ia sadari air matanya menetes dengan sendirinya. Lala dengan sigap langsung menghapus air mata itu.
“Jangan nangis, bu.”
“Enggak La, ibu hanya rindu sama bapak saja. Sudah lama kita tidak ziarah ke makam bapak. Ibu pengen kesana lagi.”
Lala tidak akan menangis lagi, sudah cukup tadi pagi ia menghabiskan air matanya. Sekarang waktunya untuk menguatkan ibunya.
“kalau ibu udah sembuh kita kesana bareng bareng ya. Sekarang ibu makan dulu terus minum obat. Maaf Lala gak bisa nemanin ibu, Lala harus ke kebun untuk ngambil cabai yang mau dijual besok,” ujarnya seraya memberikan nampan yang sudah ia siapkan untuk ibunya.
“Kamu sudah makan?” tanya Siti khawatir putrinya belum makan.
“Sudah kok bu,” jawab Lala dengan berbohong.
Lala tidak mungkin mengatakan jika dirinya belum makan. Lala tidak mau membuat ibunya khawatir. Biarlah ia menahan lapar lebih dulu. Ia bisa makan nanti malam saja selesai mengambil cabai.
“Kalau gitu Lala pamit dulu ya bu. Lala mau pergi ke kebun takut keburu malam.” Pamit Lala sambil menyalami dan mencium tangan ibunya. Belum sempat ibunya berkata, Lala langsung pergi dengan terburu buru.
.
.
Seorang pria baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang masih basah dan air yang menetes dari tubuhnya. Perut s*x pa*k nya terpampang dengan jelas karena ia hanya memakai handuk yang melilit di pinggangnya. Dia adalah Devan.
Ia baru saja pulang dari kantor dan langsung mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Seharian ini Devan sangat sibuk di kantor, ia harus menandatangani beberapa berkas dan memeriksa laporan keuangan yang dibuat oleh karyawannya.
Tidak hanya itu saja, Devan bahkan masih sempat sempatnya memikirkan plat nomor tersebut.
Devan berjalan ke arah kasurnya lalu mengambil ponselnya yang tergeletak begitu saja di ranjangnya. Dengan cepat ia menggeser layarnya mencari notif yang diinginkannya. Namun sayang, ia masih belum mendapatkannya. Devan melempar ponselnya kembali.
“Awas saja kalau sampai besok dia masih gak dapat,” dumelnya.
Devan Praditya Revanuel, pria dewasa yang sudah memasuki umur tiga puluh tahun, ia juga merupakan seorang Ceo di perusahaan milik Ayahnya, akan tetapi, jabatan itu hanya berlaku untuk sementara. Karena ia melakukan perjanjian dengan sang ayah.
Jika ia berhasil mendapat istri baru lagi maka jabatan Direktur akan diserahkan padanya. Statusnya merupakan duda, ia sudah pernah menikah dan berakhir dengan sidang cerai karena perselingkuhan yang dilakukan istrinya dulu.
Sejak saat itu Devan sudah tidak pernah memikirkan wanita lagi, ia sudah cukup muak karena ulah mantan istrinya itu. Devan tidak ingin mencari wanita lagi karena takut terulang.
Bukannya ia pesimis dan menyerah tapi Devan hanya malas saja berurusan dengan wanita lagi. Sudah dua tahun ia menjadi duda, tidak ada wanita yang berhasil menarik perhatiannya meskipun banyak yang menyukainya.
Tapi sekarang, Devan malah penasaran dengan gadis yang menabrak mobilnya pada waktu itu. Ia memang tidak melihat dari jarak dekat pada waktu itu, tapi Devan tau jika gadis itu mempunyai wajah yang cukup cantik.
Devan menghentikan lamunannya, daripada ia terus melamin lebih baik ia segera berpakaian saja. Ia sudah tidak sabar untuk hari esok. Semoga saja besok ia mendapat kabar baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments