Maya keluar dari kamar mandi, badannya terasa segar dengan siraman air hangat yang mengucur dari shower kamar mandi yang berada didalam kamar tidur tamu. Ia merasa nyaman dengan kamar mandi yang baru saja ia masuki tadi. Interior didalamnya membuat ia betah berlama-lama berendam dibathtub setelah mandi shower. Apalagi ditambah air hangat yang keluar membuat ia merasakan relaksasi.
Maya merasa kamar tidur ini seperti hotel berbintang lima. Jadi rasa lelah dari pingsannya tadi membuat dirinya menjadi lebih segar dan nyaman. Handuk yang masih melilit ditubuhnya segera ia ganti dengan kimono yang sudah tergeletak diatas kasur. Ia kemudian menuju meja rias yang ada didekat tempat tidur. Ada lemari mini dibawah meja rias tersebut. Setelah ia buka ternyata segala kebutuhan make up ada didalam lemari tersebut bahkan pelembab dan parfume juga tersedia, semuanya masih utuh dan belum dipakai sama sekali. Ia pun berpikir apa ini memang sengaja disediakan untuk setiap tamu yang menginap disini ataukah hanya sekedar penghias kamar.
Akan tetapi Maya berpikir positif saja, ia memakai seperlunya dan seadanya. Setelah menyisir rambutnya yang telah dikeringkan dengan hair dryer dikamar mandi tadi, ia pun mengambil piyama tidur yang sudah ia siapkan tadi diatas kasur. Setelah ia kenakan ternyata pas dibadannya bahkan tidak kebesaran atau pun kekecilan.
"Ternyata pas dibadanku, mungkin ibunya Adit dahulu badannya seukuranku ya", Maya berucap sendiri didepan cermin.
Maya tampak segar dan cantik setelah memakai piyamanya. Ia pun melihat jam di dinding, ternyata masih jam sembilan malam. Ia pun kembali duduk ditepian tempat tidur dan mengangkat mangkuk bubur ayam yang masih tersisa didalamnya.
"Sayang juga kalo bubur ini gak dihabiskan,aku gak enak juga sama ibunya Adit yang sudah susah payah buatkan aku bubur. Ya,sudahlah kuhabiskan aja", Maya bergumam dalam hati.
Maya pun melahap kembali buburnya dan setelah habis, ia minum segelas air mineral yang masih terisi penuh. Setelah selesai, ada rasa dihatinya kepingin keluar kamar sambil membawa nampannya ke dapur.
"Gak enak juga kalau nampan bubur ini ada dikamar, ntar dikira aku tamu yang tahu terima kasih. Ya,sudahlah kubawa saja ke dapur",Maya bergumam kembali dalam hati.
Ia pun bangkit dari duduknya kemudian diangkatnya nampan berisi mangkuk bubur dan gelas kaca. Pelan-pelan ia melangkah dan pintu kamar dibuka. Saat melangkah keluar, Maya tampak kebingungan kemana arah dapur karena posisi kamar tidur tamu berada di ruang tamu yang letaknya agak jauh dari dapur.
Maya melihat lampu diruang keluarga masih menyala, ia pun melangkah ke arah sana. Tampak sepi karena Ibu sudah tidur, ia pun melihat pintu menuju ruang makan. Ia agak kebingungan karena terlalu banyak pintu menuju ke setiap ruangan.
"Ternyata ini ruang makan, besar juga ini rumah ya,padahal cuma satu lantai tapi terasa luas", Maya begumam sendiri.
Ketika ia melihat ada satu pintu yang mirip di bar, ia pun melangkah ke arah pintu tersebut sambil masih membawa nampan. Ternyata benar dugaan Maya kalo pintu ini menuju dapur.
"Gile ini dapur,luasnya udah seukuran kamar tidurku tadi", Maya bergumam sendiri sambil berdecak kagum.
Maya pun meletakkan nampan tersebut didekat bak cuci piring. Saat ia meletakkan nampan terlihat dari jendela dapur ada kolam renang yang cukup lebar. Maya pun melihat Adit masih duduk dipondok kecil dekat kolam. Ia melihat Adit berpakaian baju koko dan mengenakan sarung serta peci diatas kepalanya. Maya melihat Adit sedang melihat-lihat gadgetnya sambil duduk berselonjor dipondok tersebut.
"Ternyata benar kata ibu, anaknya sering duduk sendirian dipondok dekat kolam", Maya bergumam dalam hatinya.
Maya kemudian melihat ada pintu keluar dari dapur menuju kolam renang. Ia pun mendekati pintu dan pelan-pelan dibuka agar tidak menimbulkan suara berisik. Setelah keluar dari pintu belakang dapur, ia memakai sandal jepit yang tergeletak dilantai.
Ia berjalan menyusuri ubin yang terbentang sepanjang jalan menuju kolam renang. Pelan-pelan ia berjalan, bahkan Adit pun tak tahu jika Maya telah berada dibelakangnya. Ternyata Adit sedang melihat berita seputar Maya. Ia sepertinya ingin tahu banyak tentang Maya, bahkan ia cari disetiap media sosial juga video-video yang menyiarkan berita seputar Maya.
"Kenapa kamu gak tanya langsung sama saya?", Maya berkata dibelakangku
Aku terkejut mendengar suara Maya yang ternyata sedari tadi sudah berdiri dibelakangku. Aku pun berbalik badan dan tak menyangka kalau dia sudah berdiri disitu.
"Mmm...anu, maaf ya. Saya gak tahu kalau kamu sudah dibelakang",Aku berkata dengan sedikit salah tingkah.
Maya pun tersenyum padaku dan ia melangkah mendekati pondok. Aku pun segera menggeser kakiku dan duduk bersila agar ia bisa duduk dibale pondok.
"Pondoknya unik ya, mirip pendopo keraton",Maya berkata sambil melihat keatas atap pondok.
"Iya, ini pondok keraton kesukaan ayah. Dulu sewaktu beliau masih hidup, dia sering duduk disini sambil baca-baca buku atau koran. Sekarang saya yang sering duduk disini, mungkin karena saya rindu padanya makanya setiap malam sehabis pulang kerja saya selalu duduk disini", Aku berkata sambil memandang wajahnya.
"Tapi kalau dilihat-dilihat, kamu gak seperti habis pulang kerja. Saya lihat kamu pakai baju koko, sarungan, ada peci lagi dikepala",Maya berkata sambil sedikit tertawa kecil.
"Oh, ini tadi saya habis shalat isya, jadi saya pakai saja terus sampe sekarang. Kebetulan hari ini saya ijin gak masuk kerja karena mengantarkan ibu ke rumah sakit", Aku berkata dengan sedikit malu padanya.
"Kamu kelihatan ganteng, kalau berpakaian seperti itu",Maya berkata memujiku.
"Berarti kalau saya pakai pakaian lain gak kelihatan ganteng ya", Aku berkata merendah sambil sedikit bercanda padanya.
"Ya,nggak juga. Wajahmu tampan, badanmu juga atletis, jadi kalau kamu pakai baju apa pun tetap kelihatan ganteng", Maya berkata menggodaku
"Alhamdulillah, terima kasih pujiannya. Kamu juga kelihatan cantik dengan piyama itu",Aku berkata merendah sambil membalas menggodanya.
"Iya nih, ternyata muat lho piyama ibumu. Jangan-jangan ibumu dulu seukuran badanku ya", Maya berucap kembali.
"Ya, itu dulu pernah dipakai ibu waktu masih muda katanya. Jadi sayang saja kalau dibuang, jadi ya udah sama ibu disimpan dilemari. Dulu ibu berharap bisa dapat anak perempuan tapi belum sempat lahir udah keguguran", Aku berkata mengenang kejadian dulu.
"Oh, maaf ya. Saya gak tahu kalau piyama ini buat adik kamu", Maya berkata dengan sedikit sedih.
"Gak apa-apa. Sudah berlalu, jadi sekarang kalau dipakai kamu, bisa jadi ibu bakal melihat serasa dipakai anak sendiri", Aku berkata padanya.
Kami terdiam sejenak, aku pun memperbaiki posisi dudukku tidak bersila lagi tapi menghadap ke kolam renang dan kakiku kuluruskan kebawah. Bagitu pula. Maya yang terdiam sambil memandang lurus ke arah kolam renang tapi pandangannya agak sedikit kosong.
"Mmm...maaf, saya boleh tanya sesuatu gak?",Aku bertanya padanya.
Ia pun menoleh padaku dan dengan senyum manis berkata,"Boleh, kamu mau tanya apa?".
"Mmm..apa berita yang beredar seputar kamu itu benar?", Aku memberanikan diri bertanya.
Ia pun kembali menoleh ke arah kolam renang dan menghela nafasnya.
"Iya benar. Berita itu memang benar adanya", Maya menjawab dengan tenang.
"Jadi..mmm..sekarang ini kamu sedang...",Aku berkata tapi sedikit ragu-ragu.
"Hamil, maksudmu kan? Iya benar, saya sedang hamil oleh laki-laki yang tak bertanggung jawab dan sekarang dia kabur entah kemana dan meninggalkan saya disini dalam keadaan terpuruk!!", Maya berkata dengan sedikit emosi.
Aku terkejut dengan kata-katanya yang membentak kearahku. Aku kembali diam dan tak berani berkata kembali.
"Maaf,dit. Saya tak bermaksud membentak kamu. Saya sekarang ini bingung harus bagaimana,dit",Maya berkata bercampur suara tangis.
Ia pun menangis sejadi-jadinya dan dalam hitungan cepat badannya bergeser kearahku dan langsung memelukku. Aku tak tahu harus berkata apa dan juga tak tahu harus bagaimana menolongnya bahkan dipikiranku saat ini masih bingung bagaimana bisa mendapatkan biaya operasi ibuku yang cukup besar nominalnya.
"Seharusnya saya yang minta maaf karena pertanyaan saya sudah membuatmu menangis, tak seharusnya saya ikut campur dalam masalahmu, tapi rasa penasaran yang membuat saya berani bertanya kepadamu", Aku berkata sambil menoleh ke arah Maya.
Maya hanya diam menangis mendengar ucapanku dan masih memeluk serta bersender kepadaku. Aku coba menghela nafasku yang sempat tertahan.
"Sejujurnya saya juga sedang bingung dan sampai malam ini saya masih terus berpikir bagaimana cara mendapatkan biaya operasi jantung ibu", Aku berkata kepada Maya.
Maya yang mendengar ucapanku perlahan melepaskan pelukannya dan duduk tegak dengan wajahnya yang memandangku. Sepertinya ia tidak percaya dengan ucapanku dan itu tampak dari dahinya yang berkerenyit.
"Kamu gak bercanda kan,dit?", Maya bertanya padaku.
"Untuk apa saya bercanda, memang begitu kenyataannya,Maya",Aku berkata serius kepadanya.
"Bukan itu maksud saya,dit. Kamu punya rumah semegah ini masih memikirkan dari mana biaya operasi. Saya gak percaya kamu bicara seperti itu,dit",Maya berkata padaku.
Aku yang mendengar ucapannya sedikit gerah. Tidak salah juga ia berkata seperti itu. Aku coba memberanikan diri untuk memandangnya.
"Hanya tinggal rumah inilah sisa harta kami,Maya", Aku berkata jujur padanya.
Maya yang mendengar ucapanku sedikit keheranan dan seolah tak percaya dengan apa yang telah kuucapkan.
"Dahulu ketika ayah masih hidup,keadaan kami tak seperti sekarang,Maya", Aku berkata padanya dan ia masih tetap menyimak.
"Sebenarnya apa yang terjadi,dit?",Maya bertanya padaku.
Aku coba mengatur nafas ketika ia bertanya seperti itu. Ia pun tetap menunggu jawaban dariku.
"Dahulu ayah seorang pengusaha properti. Usaha propertinya maju pesat dan hampir semua unit yang ayah buat laris manis seperti kacang goreng", Aku berkata tetapi kuhentikan sejenak sambil menarik nafas dalam.
Kemudian aku memandang wajah Maya. Ia pun memandang wajahku. Aku merasa mataku mulai basah dan ia pun memahami cerita sedih apa yang akan kuteruskan setelah ini.
"Suatu hari,saat ayah sedang berada di proyek. Tiba-tiba dia jatuh pingsan gak sadarkan diri. Saat di rumah sakit, dokter mengatakan kalau ayah telah terkena kanker otak stadium empat", Aku berkata tetapi kuhentikan kembali sembari kuusap air mataku.
"Ayah tak tertolong lagi,Maya. Hanya seminggu dia di rumah sakit, akhirnya ayah menghembuskan nafas terakhirnya", Aku berkata tetapi air mataku tak dapat kubendung.
Maya yang melihat keadaanku ikut larut dalam simpati dan menenangkanku.
"Maafkan saya,dit. Saya tak tahu kalau ayahmu meninggal dalam keadaan sakit berat", Maya berkata padaku.
"Tidak apa-apa,Maya",Aku berkata singkat sambil menyeka air mataku.
"Setelah ayah meninggal ternyata beliau banyak meninggalkan hutang bank. Satu persatu aset diambil oleh bank. Bahkan saya dan ibu harus merelakan perusahaan dijual untuk menutupi hutang ke bank. Sekarang hanya tinggal rumah ini yang tersisa,Maya", Aku berkata dan menutup kisah lama tersebut.
Aku tak berkata lagi dan hanya diam. Maya pun ikut diam dan belum berani melanjutkan kata-katanya. Kami sama-sama terdiam dalam keheningan malam yang sunyi.
"Berapa biaya operasi ibumu,dit?", Maya kembali membuka pembicaraan.
Aku yang mendengar pertanyaannya sedikit terkejut. Aku merasa Maya akan berbuat sesuatu untuk meringankan bebanku. Aku tak ingin membebankan hal tersebut padanya,apalagi ia sedang dalam keadaan hamil.
"Untuk apa kamu bertanya itu,Maya. Biarlah ini menjadi beban saya", Aku berkata kemudian memalingkan wajahku darinya.
"Kamu tahu,dit. Saya jalan keluar kamu dan kamu jalan keluar saya", Maya kembali berkata.
Aku yang mendengar ucapan Maya sedikit kebingungan dan tak mengerti apa yang ada dipikirannya. Kemudian aku kembali memandang wajah Maya.
"Apa maksud kamu,Maya?", Aku bertanya padanya.
Dengan senyumnya yang sedikit mencurigakan membuat aku semakin penasaran.
"Saya akan biayai semua operasi ibumu,tetapi dengan satu syarat,dit", Maya kembali berkata.
Aku semakin bingung dengan perkataannya. Akan tetapi aku juga ingin tahu apa sebenarnya yang ia inginkan.
"Apa syaratnya,Maya?", Aku bertanya padanya.
Maya tak langsung menjawab, ia membalikkan badannya ke arah depan dan matanya menatap ke arah kolam renang. Tampak ia sedikit hati-hati saat hendak berucap.
"Syaratnya kamu nikahi saya sampai anak ini lahir,dit. Kita buat perjanjian kontrak,dit. Setelah anak ini lahir, kontrak selesai dan ibumu akan dioperasi sampai tuntas,dit", Maya berkata serius kepadaku.
"Gila kamu,Maya. Mana ada pernikahan kontrak, apalagi sebutan suami kontrak atau istri kontrak,Maya", Aku berkata dengan sedikit tegas.
Aku pun membalikkan badan dari Maya dan tak ingin memandangnya. Maya yang melihat reaksiku mulai mendekatiku dan coba membujukku.
"Apa kamu tega lihat keadaanku,dit. Saya hamil dan melahirkan tanpa suami. Ini satu-satunya jalan keluar,dit. Saya butuh bantuanmu dan kamu juga butuh bantuan,dit. Tak lama,dit. Hanya sampai anak ini lahir, setelah itu kamu bebas,dit. Mau kan kamu menolong saya,dit. Please..", Maya berkata membujukku.
Aku yang melihat Maya begitu serius dengan keinginannya apalagi ditambah dengan wajah memelasnya membuatku luluh serta tak kuasa menolak keinginannya. Maya hanya tertunduk lesu dan sedikit terdengar isak tangisnya. Aku yang melihatnya coba menenangkannya.
"Baiklah, kalau memang itu jalan keluar kita berdua. Saya bersedia mengikuti keinginanmu,Maya", Aku berkata dengan nada pelan.
Maya yang mendengar kesanggupanku, membuat ia kembali senyum. Tampak wajahnya kembali berseri-seri.
"Beneran,dit. Kamu bersedia dengan tawaranku",Maya berkata dengan wajah yang sumringah.
"Iya benar,Maya. Kamu seperti melamar saya saja. Harusnya saya yang melamar kamu,Maya",Aku menjawab perkataannya.
"Ya udah. Kalau gitu lamar aja saya sekarang.
Pasti kuterima lamaranmu,dit", Maya membalas perkataanku dengan kata-kata yang menggoda.
Aku hanya tersenyum dan tersipu-sipu malu dengan ucapan Maya. Apalagi dengan pintanya agar aku melamarnya.
"Jadi kita sepakat ya,dit. Kamu gak berubah pikiran lagi kan,dit?", Maya kembali bertanya.
"Iya,Maya. Kita sepakat dan saya gak berubah pikiran lagi", Aku berkata kembali padanya.
Maya yang mendengar kesanggupanku langsung menjulurkan tangannya dan meminta bersalaman denganku sebagai tanda deal. Aku pun bereaksi cepat dan menyalami tangannya. Setelah menyalamiku, Maya langsung memeluk tubuhku. Aku tak kuasa menolak pelukannya. Aku hanya diam kaku menerima pelukan darinya. Aku coba membalas pelukannya tapi aku ragu-ragu melakukannya.
"Peluk saya,dit. Saya kedinginan,apa kamu tega melihat wanita hamil menggigil kedinginan", Maya berkata sambil memelukku.
Akhirnya aku pun memeluknya dan kami berdua terhanyut dalam suasana yang penuh kehangatan ditepian kolam renang.
"Sudah malam,Maya. Sebaiknya kamu tidur, gak baik wanita hamil masih diluar seperti ini",Aku berkata pelan padanya.
Akan tetapi tak ada jawaban dari Maya. Hanya terdengar suara nafas Maya yang sedikit keras. Aku pun merasa tubuh Maya mulai terasa berat. Perlahan terdengar sedikit suara dengkuran dari diri Maya. Aku pun coba melonggarkan pelukannya tapi ia tetap memeluk erat tubuhku. Sepertinya ia sudah tertidur dalam pelukanku.
Aku pun tak mungkin membangunkannya lagi, ketika kutahu dia sudah pulas dalam tidurnya. Tak ada pilihan lain bagiku selain menggendongnya sampai ke kamar. Akhirnya perlahan kuangkat tubuh Maya dan membawanya sampai ke kamar.
Saat kuangkat tampak wajah pulasnya yang berpadu dengan senyum.
"Kamu lagi tidur aja cantik,Maya. Apalagi kalau lagi gak tidur", Aku bergumam sendiri dihadapannya.
Aku berjalan mengangkat tubuhnya dan membawanya sampai ke kamar. Maya masih memelukku walaupun tubuhnya kuangkat dan kubawa. Malam ini kami sepakat, mungkin memang ini jalan keluar kami berdua. Sepertinya jalan ini memang sudah ditakdirkan seperti ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 5 Episodes
Comments