5

5

Kedua langkah kaki beriringan dengan suara nyaring sepatu pantopel menyentuh lantai. Suara bisik-bisik itu semakin membuat telinga menjadi gatal dan tak tahan untuk melabrak satu per satu teman-teman sekantornya.

Dyah menatap ke arah sekeliling ruangan dan menggebrak meja dengan sangat keras.

"Kalian tidak usah berbisik, sini bicara di depan saya!!" teriak Dyah keras dan lantang.

Suasana di kantor itu sudah ramai, karena waktu masuk kerja sudah dimulai.

Semua orang yang ada di ruangan itu hanya menunduk. Padahal baru saja, mereka beramai-ramai saling berghibah dan menjelek-jelekkan Rara yang dianggap sebagai simpanan bos besarnya itu.

Rara hanya menundukkan kepalanya menahan isak tangisnya.

"Mbak Rara, dipanggil Pak Saifudin untuk segera ke ruangannya," ucap Dita pelan kepada Rara.

Rara pun langsung menatap Dyah, ada perasaan tidak enak dan bersalah. Fitnah ini begitu keji hingga membawa orang yang baik ikut terseret dalam masalahnya.

"Hadapi, minta maaf. Gue urus ini anak-anak Loe," ucap Dyah tegas dengan kesal. Anak buah Rara seolah mencemooh dan menghina, padahal belum tentu mereka lebih baik. Kebaikan Rara selama ini hanya dijadikan alat untuk bisa mendapatkan nilai yang bagus, dan di saat Rara mendapatkan masalah pribadi, tidak ada satu pun teman-teman yang telah di bantunya itu kini membantu Rara.

Rara menganggukkan dengan pelan dan pasrah. Mimpi apa semalam, kenapa pagi-pagi seperti ini sudah membuat hatinya kecewa dan gelisah.

Langkah kaki Rara berjalan pelan menuju ruangan Pak Saifudin. Rara mengetuk pelan pintu ruangan itu saat sudah berdiri di depan pintu ruangan bos besar yang tidak lain Pak Saifudin.

"Permisi, Pak Udin," panggil Rara pelan dari balik pintu sambil mengetuk pintu itu dengan sedikit menghentak.

"Masuk," jawaban dari dalam ruangan itu terlihat berteriak keras agar terdengar.

Rara membuka handle pintu dan masuk ke dalam ruangan Pak Udin dengan langkah lemas. Pagi ini moodnya langsung terjun bebas mendengar fitnah keji dari teman-teman sekantornya yang begitu cepat mendapat kabar burung yang tidak benar itu. 'Siapa yang menyebarkan gosip murahan seperti ini. Pak Udin yang tidak tahu apa-apa malah ikutan kena musibah buruk dari ucapan teman-teman yang tidak bertanggung jawab,' batin Rara di dalam hatinya.

Rara sudah berdiri di depan meja kerja Pak Udin menunggu lelaki tua berkacamata itu mempersilahkan Rara untuk duduk.

Pak Udin adalah atasan yang baik sejak Rara magang dan akhirnya diterima masuk di perusahaan ini. Pak Udin memang menyukai Rara yang begitu cerdas, dan jenius serta disiplin waktu dalam bekerja. Semua pekerjaan yang di berikan kepada Rara selalu benar dan selesai sebelum waktu yang diberikan. Dari situ, Pak Udin yang sudah memiliki istri dan tiga orang anak perempuan itu juga bersimpatik dan menyukai Rara yang rajin dan cantik.

Perasaan itu pernah diungkapkan oleh Pak Udin kepada Rara beberapa tahun yang lalu saat Rara masih menjadi asisten pribadi Pak Udin. Namun, Rara dengan polosnya menolak dengan alasan sudah memiliki kekasih. Sejak itu hubungan mereka dekat hanya sebatas antara bapak dengan anaknya.

Pak Udin menatap Rara sambil menyuruh gadis itu duduk dan membenarkan kaca matanya. Kedua matanya lekat melihat Rara dari ujung kepala hingga ke bagian tubuh Rara terutama di bagian perutnya yang memang terlihat menggendut.

"Duduk Ra," ucap Pak Udin dengan tegas.

Rara pun duduk dengan tenang, walaupun jantungnya berdetak sangat kencang. Wajahnya menunduk karena tahu letak kesalahannya. Itulah Rara yang dengan berani mengakui kesalahannya tanpa malu.

"Iya Pak," jawab Rara singkat. Wajahnya terus menunduk dan tidak berani membalas tatapan tajam Pak Udin kepada dirinya.

"Kamu beneran hamil? Apa benar gosip itu?" tanya Pak Udin dengan tegas dan rasa penasarannya cukup tinggi.

Pak Udin terus mengekor wajah Rara yang masih menunduk. Terdengar hembusan napas yang keluar dari indera penciumannya dengan sedikit kasar. Rara masih terdiam kedua matanya malah terpejam menahan tangis yang sudah membendung di kedua matanya itu.

Pak Udin menatap Rara yang tidak mau bicara, lalu berdiri dan berjalan mendekati Rara. Pundak Rara dipegang pelan, ada rasa khawatir terhadap gadis yang pernah mengisi hatinya hingga saat ini.

"Coba jawab pertanyaan Bapak. Kamu benar hamil, Ra?" tanya Pak Udin pelan sambil menundukkan kepalanya berbisik tepat di samping telinga Rara.

Tubuh Rara bagai tersengat listrik dan menggeser duduknya menjauhi Pak Udin. Rara tidak ingin ada salah paham diantara mereka dan orang lain yang melihatnya.

"Jawab Ra, biar semua itu jelas. Semua teman-teman menginginkan kamu jujur dan harus angkat kaki dari perusahaan ini," ucap Pak Udin mulai meninggi.

Rara menggelengkan kepalanya pelan.

"Ini urusan pribadi saya, Pak. Kalau memang diharuskan untuk pergi dan keluar dari perusahaan yang sudah membesarkan nama Rara, maka Rara akan pergi demi kebaikan semua orang dan nama baik perusahaan," ucap Rara pelan. Rara berusaha menutupi kesedihan dan kekecewaannya saat ini. Air mata yang akan turun luruh ke pipinya pun sudah di hapus dengan punggung tangannya.

"Karena Bapak peduli sama kamu, Ra!! Jangan egois!! Katakan apa masalahmu dan apa kesulitanmu saat ini. Bapak pasti bantu," ucap Pak Udin pelan menjelaskan dan memegang tangan Rara dengan erat.

"Lepaskan tangan Rara, Pak. Rara memang hamil dan usia kandungan Rara sudah tiga bulan, dan Cantas tidak mau bertanggung jawab. Dia pergi dengan wanita lain, itu yang terjadi pada Rara saat ini," ucap Rara dengan suara lantang dan keras serta menahan isak tangisnya hingga membuat dadanya semakin sesak dan sangat nyeri.

Pak Udin menatap lekat kedua mata Rara dan melepaskan perlahan tangan gadis itu.

"Bapak bersedia menikahi kamu Ra, agar bayimu memiliki Ayah. Biarkan hidup itu merebak membenarkan yang sebetulnya salah," ucap Pak Udin pelan dan memberikan saran.

Rara menggelengkan kepalanya pelan.

"Tidak perlu. Mulai hari ini, Rara mengajukan untuk pengunduran diri Rara dari perusahaan ini. Besok pagi, semua berkas akan disiapkan oleh Dyah. Keputusan Rara sudah bulat, dan Rara akan pergi dari kota ini untuk mengurus bayi Rara sendiri," ucap Rara pelan.

Rara langsung bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu ruangan itu meninggalkan Pak Udin yang masih berdiri takjub mendengar semua kejujuran Rara.

Tidak hanya khawatir dan iba saja, tapi pak Udin ingin memberikan solusi kepada gadis kesayangannya itu.

"Rara!! Jangan pergi!!" teriak Pak Udin dengan suara keras.

Rara menahan sesak dan menulikan pendengarannya untuk mengabaikan semua ucapan Pak Udin dan tetap berjalan terus ke luar ruangan.

Pintu ruangan itu sudah terbuka dan Rara berjalan keluar tanpa menoleh sedikitpun pada Pak Udin.

Rara meninggalkan kantor itu dan berjalan menuju pintu lift dan segera pergi ke jalan raya untuk menunggu taksi online dan mengantarkan Rara ke rumah kontrakannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!