4
Tiga bulan berlalu, Rara sudah mulai tenang dan sedikit demi sedikit sudah bisa melupakan kekecewaan dan rasa sakit hatinya. Usia kandungannya kini menginjak tiga bulan, sudah banyak yang berubah pada tubuh Rara sebagai wanita yang sedang mengandung.
Namun, Dyah, sahabat Rara selalu berada di dekat Rara dan membantu dalam segala hal yang bisa membuat rasa percaya diri Rara kembali timbul. Rencananya dua bulan lagi, Rara akan mengajukan resign dari Perusahaan yang sudah memberikan karir cemerlang kepada dirinya setelah sepuluh tahun bergabung.
"Loe sekarang jarang dandan ya?" tanya Dyah pelan saat menjemput Rara dari rumah kontrakan itu.
Rara masih mengunyah roti tawar itu hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan Dyah.
Dyah nampak fokus pada setir mobilnya dan jalanan yang dilewati oleh mobilnya yang begitu padat merayap.
"Nanti ke dokter kandungan gak?" tanya Dyah pelan sambil menginjak rem mobil dengan cepat. Mobil di depannya tiba-tiba berhenti dan membuat Dyah sangat kaget memberhentikan mobilnya.
"Awww!" teriak Rara setengah berteriak sambil mengusap perut buncitnya.
"Maaf Ra, itu mobil mendadak berhenti jadi kaget," ucap Dyah pelan lalu keluar dari mobilnya.
Rara menatap Dyah sahabatnya, sepertinya Dyah tampak kesal dan ingin mendatangi pengemudi mobil yang ada di depannya. Itulah Dyah, selalu melabrak seseorang yang dianggap bersalah dan mencari masalah dengan dirinya,
Terlihat Dyah mengetuk kaca jendela bagian supir dengan wajah kesal dan memerah. Pengemudi itu keluar dari mobilnya dan terlihat sedang meminta maaf pada Dyah.
Lelaki itu terlihat sendu saat keluar dari pintu mobilnya. Dyah terus marah-marah kepada lelaki tampan dan terlihat hitam manis itu. Rara menatap laki-laki itu dan menarik sudut bibirnya lalu tersenyum. Ada sesuatu yang membuat hatinya terus berdetak cepat seperti ada sengatan listrik saat menatap lelaki tampan itu.
'Perasaan apa ini, kenapa terasa berbeda saat melihat yang lainnya,' batin Rara didalam hatinya.
Dyah pun membuka pintu mobilnya dan duduk di jok supir lalu memundurkan mobilnya dan melajukan kembali mobilnya tepat di samping mobil lelaki tampan itu.
Rara menoleh kesamping kiri melalui jendela kaca mobilnya dan menatap lelaki tampan itu yang juga menatap dirinya d dengan tatapan sendu.
"Kenapa dengan lelaki itu? Maksudku, mobilnya kenapa?" tanya Rara pelan lalu menoleh ke arah Dyah yang masih nampak sangat kesal.
"Tahu, tiba-tiba mogok katanya. Untung saja tidak menabrak bagian belakang mobil itu, padahal itu kan salah dia," ucap Dyah pelan.
"Ya sudah, kasihan juga lelaki itu, tampak sedih dan pasrah," ucap Rara pelan mengingat raut wajah kalem dan adem lelaki itu.
Dyah menoleh ke arah Rara denagn lekat.
"Sejak kapan peduli sama orang? Loe itu kan cuek banget Ra? Paling susah untuk ketemu orang-orang baru, makanya gak pernah bisa move on dari Cantas. Loe kira gue gak tahu, tiap malam loe masih saja nangis dengan kejadian ini," ucap Dyah menyindir.
Rara pura-pura tidak mendengar ucapan panjang lebar Dyah dan memilih diam tidak menimpali semua ucapan benar dari Dyah.
"Diem kan, kalau lagi di nasehati," ucap Dyah ketus.
"Bodo," jawab Rara denagn asal.
Keduanya terdiam menenangkan hati masing-masing. Pagi-pagi sudah dibuat naik darah seperti ini.
Lima belas menit kemudian, saat mobil berhenti tepat di garis depan lampu merah di ujung jalan raya sebelum berbelok menuju kantor keduanya.
"Ra, Sabtu besok, gue sama Mas Hendra mau ke kota B, ketemu teman lamanya yang katanya sudah jadi Ustad," ucap Dyah pelan sambil terkekeh.
"Terus?" ucap Rara pelan sambil memanyunkan bibirnya yang tipis berwarna pink itu.
"Ya, Loe mau ikut gak? Siapa tahu jodoh tuh, sama Ustad. Katanya sih duda manis bukan keren lagi," ucap Dyah pelan. Memang Dyah dan Hendra, suaminya berniat silahturahmi dan mengenalkan Rara, siap tahu mereka berdua ada kecocokan.
Rara terdiam, sejak awal Rara paham arah pembicaraan Dyah yang menginginkan Rara untuk segera bangkit dan melupakan semua yang sudah terjadi. Tidak ada senyuman hanya hembusan napas kasar yang keluar melalui indera penciumannya.
Dyah menoleh ke arah Rara menatap sahabatnya yang tidak bergeming sama sekali.
"Kok Loe cuma diem, gak jawab, Ra?" tanya Dyah saat membelokkan mobilnya menuju parkiran belakang gedung kantornya.
"Sarapan yu Dy, Gue pengen bubur ayam yang di kantin," ucap Rara pelan mengalihkan pembicaraannya dan bersiap mencangklongkan tas cantiknya di bahu lalu keluar dari mobil Dyah yang sudah terparkir.
Dyah paham sekali, mengerti kondisi Rara yang tidak mudah melupakan atas semua yang telah terjadi. Apalagi, Rara saat ini sedang mengandung, malah menambah sulit untuk kembali bangkit dan ceria seperti dulu kala.
Rara mengetuk kaca jendela mobil, dan menatap Dyah dari balik kaca jendela mobil, malah terlihat melamun dan tidak segera keluar dari dalam mobilnya.
"Hei, Dy, keluar! Ayok makan bubur ayam," teriak Rara dari arah luar mobil.
Dyah pun tersentak kaget dan segera mengambil tas di jok belakang dan keluar dari mobilnya.
Rara tersenyum dan menggandeng Dyah yang baru keluar mobilnya dan menggiringnya ke arah kantin gedung kantornya yang terletak di lantai bawah.
Kedua sahabat itu sudah duduk di meja pesanan dan sudah memesan dua mangkok bubur ayam dan dua gelas teh manis.
"Ngidam Loe, Ra? Tumben mau sarapan di kantor?" tanya Dyah sambil memainkan ponselnya.
Rara menganggukkan kepalanya pelan.
"Iya kayaknya, tiba-tiba pengen bubur ayam disini," ucap Rara pelan menjelaskan.
Lima menit kemudian, pesenan mereka pun sudah datang dan sudah siap tersaji di meja dan siap untuk dinikmati.
"Hemm, wanginya enak," ucap Rara saat kedua mangkuk bubur ayam panas itu sudah berada di meja.
Wajah Rara yang cantik tampak begitu berbinar saat melihat dan menghirup aroma wangi dari bubur ayam itu.
"Di makan, bukan cuma di cium dan di lihat itu bubur ayam, gak akan habis," ucap Dyah pelan yang sudah mengaduk bubur ayam itu menjadi satu dengan dua sendok sambal yang sangat merah.
"Begini aja sudah kenyang, cuma pengen lihat bubur ayam yang cantik dan wanginya yang membuat gue semangat lagi," jawab Rara pelan sambil mengendus-endus wangi bubur ayam itu.
Dyah pun tertawa terbahak-bahak dengan suara keras. Rasanya sangat lucu sekali melihat kelakuan kekanak-kanakan Rara yang sedang mengidam itu.
Rara mengabaikan semua tatapan lucu dan tertawa keras dari Dyah. Kupingnya segera ditutup agar moodnya tidak hilang.
"Diem, Loe makan aja. Gue nanti juga makan kalau sudah puas menghirup wangi bubur ayam ini," ucap Rara polos.
"Dasar Ibu hamil," ucap Dyah keras.
Dari ujung pojokan ruangan Kantin itu ada dua pasang mata yang sejak tadi mengamati kedua sahabat itu. Hal yang paling membuat kedua orang itu terkejut adalah ucapan Dyah 'Dasar Ibu hamil'.
"Loe denger, perkiraan kita benar selama ini. Rara itu ada hubungan sama Bos," ucap Dessy dengan ketus dan nyinyir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments