Aku belum Menikmati apapun Darimu

Irin memang tidak sepenuhnya ingat apa yang sudah dia lewati bersama suaminya. Kesadarannya saat itu memang kacau, untung saja Irin masih diberi kesembuhan dan kehidupan yang baru. Dia ragu apa benar suaminya itu belum menyentuhnya, sementara dia tidak mengingat banyak. Irin merasa malu sehingga terus menghindari suaminya. Bambang terus berusaha membuat Irin bicara dan nyaman dengannya. Namun Irin terus menghindar, Irin memang polos karena orang tuanya tidak pernah mengijinkan Irin berpacaran. Jadi saat tahu tubuhnya sudah pernah dilihat seorang lelaki rasanya risih, walaupun itu suaminya. Suami mendadak yang masih asing.

Sore itu hujan sangat lebat, beserta angin kencang dan petir yang terkadang menggelegar. Irin sedang berada di kamarnya ketika Bambang mengetuk pintu seperti biasa. Irin hanya menyaut, menyuruh Bambang membuka pintu sendiri.

Bambang pun masuk, sambil memegang senter kecil.

"Hujan seperti ini, kamu nggak takut, Rin? Aku bawa senter jaga-jaga kalau nanti lampu padam." Irin hanya tersenyum melihat Bambang yang siaga.

"Boleh aku temani?" tanya Bambang.

"Boleh."

Bambang kemudian duduk di kursi dekat ranjang Irin.

"Aku harus bagaimana Irin? Agar kamu nyaman dan bisa ceria seperti kamu yang dulu." Bambang mengungkapkan isi hatinya tanpa basa basi, sudah lama Bambang ingin bertanya hanya saja Irin selalu menghindar.

"Maaf mas, kalau membuat Mas nggak nyaman."

"Bukan begitu Rin, selama 2 minggu kita pindah. Kamu seperti terus menghindariku. Katakan aku harus bagaimana. Haruskah aku begini?" Bambang membuat ekspresi wajah yang lucu, "Begini? atau begini?" Bambang meneruskan ekspresi kocak di wajahnya. Namun Irin menanggapinya datar, membuat Bambang malu lawakannya gagal.

"Hem, biasanya kamu selalu suka saat aku menyanyikan lagu sambil main gitar. Kamu mau dengar aku nyanyi sekarang, Rin?" Bambang masih mencoba mencairkan suasana, tidak betah rasanya tinggal bersama tapi tidak pernah berbicara. Irin malah kaku dan sedikit bergerak menjauh.

"Aku nggak ingat, apa saja yang sudah aku lakukan denganmu dan itu membuatku canggung. Aku nggak tahu hal-hal memalukan apa saja yang sudah aku lakukan. Bahkan aku nggak tahu sejauh apa kamu merawat dan melihatku," ucap Irin tertunduk.

"Tenang saja Irin, semua sudah berlalu sudah aku kubur dalam-dalam nggak papa kalau kamu nggak ingat memang seharusnya nggak usah diingat aku juga sudah mulai melupakannya," ucap Bambang mencoba menenangkan Irin.

Padahal, Bambang masih mengingat jelas saat-saat dimana Irin memakinya pembunuh, berteriak histeris menangis memukulnya mencakar-cakar bahkan melempar botol kaca ke kepalanya hingga mendapat 3 jahitan, untung tertutup rambut jadi Irin tidak menyadari. Saat-saat Irin membanting piring makanan dan dengan sabar dia kembali menyuapi Irin saat Irin sudah tenang. Bahkan urusan buang hajat, mandi dan berpakaian Bambang rela lakukan. Hingga Irin kembali pulih sekarang. Biarkan Irin lupa tapi Bambang tidak akan pernah lupa, dimana rasa sayangnya mulai tumbuh di masa terburuk dalam hidup Irin, walaupun harus meninggalkan kekasihnya saat itu.

"Aku minta maaf, sudah merepotkan Mas selama ini."

"Tidak usah minta maaf Irin, walaupun awalnya semua adalah bentuk tanggung jawabku tapi lama kelamaan aku ikhlas melakukannya, maaf aku sudah mulai menyayangi kamu Irin. Jadi jangan lagi menghindariku, aku mohon. Akulah yang bersalah membuat hidupmu seperti ini, ijinkan aku memperbaiki semampuku." Bambang turun dari kursinya dan berlutut meraih kedua tangan Irin yang duduk di tepi ranjang.

"Dengarkan baik-baik, walaupun aku yang merawatmu, percayalah! aku belum menikmati apapun darimu. Aku takan melakukanya tanpa seizin kamu. Aku bersumpah tidak melakukannya Irin, jika memang itu yang membuat mu menghindariku, aku tidak melakukanya, setidaknya belum sampai kamu mengizinkan." Bambang meyakinkan Irin.

"Benarkah?" tanya Irin dan Bambang mengangguk mantap.

"Benar Irin, kamu masih suci." Irin tersenyum lega ternyata kekhawatirannya selama ini tidak terjadi. Lagi-lagi Bambang ingin memeluk Irin seperti biasanya untuk menenangkan Irin kemudian Irin akan terlelap dipelukannya. Tapi diurungkannya mengingat sekarang Irin sudah berbeda.

"Bagaimana rencana pernikahan kita Rin? sepertinya orang tuaku tidak bisa hadir. Hanya lewat video call saja, mengingat keadaan saat ini perbatasan provinsi masih dijaga," kata Bambang seraya bangun dan duduk di samping Irin. Irin nampak salah tingkah karena Bambang begitu dekat dengannya.

"Aku nggak mau ada pernikahan mas, cukup urusi saja surat-suratnya aku takut terbawa suasana sedih lagi kalau ingat orang tuaku."

"Begitukah Irin? biasanya wanita selalu punya pernikahan impiannya."

"Berat kalau harus melakukan pernikahan tanpa orang tua, lebih baik ditiadakan saja."

"Baiklah, sesuai apa yang kamu minta Irin. Besok biar mas minta teman mas membantu perihal dokumen kita."

Tiba-tiba kilat besar menyambar, membuat kaget siapapun yang mendengar. Irin tanpa sadar mendekatkan kepalanya ke dada Bambang dan Bambang dengan sigap memeluk Irin. Lalu listrik pun padam, Bambang pun menyalakan senter kecil yang sudah dipersiapkannya.

Tanpa kata mereka berdua canggung bersamaan, bagi Bambang biasa memeluk Irin seperti ini. Tapi entah mengapa sekarang jantungnya berdegup kencang sekali, Bambang malu, karena Irin pasti merasakannya detak jantungnya. Dan Irinpun merasakan hal yang sama.

"Jangan takut Irin, aku sudah bawa senter."

Irin membetulkan posisi duduknya, dia merasa sangat malu karena menghambur ke pelukan lelaki seperti tadi. Biasanya ada ibunya yang menemani disaat hujan begini.

"Cerialah kembali Irin! Kata Bi Ijah kamu adalah gadis periang. Cobalah kembali pada jati dirimu, Rin. Biarkan waktu dan aku yang menjadi obat, walaupun sebenarnya ..." Bambang ragu melanjutkan perkataanya,

"Sudahlah Mas, racun dan obat biasanya seperti 2 sisi mata uang yang nggak bisa dipisahkan. Jangan diungkit lagi dirimu sebagai racun yang menghancurkan, jika memang kamu sudah memutuskan untuk menjadi obatnya. Biarkan aku melihat sisi obatmu, kamu simpan sisi racunnya dalam-dalam. Bantu aku melupakan kejadian itu. Kepergian orang tuaku adalah takdir yang sudah aku ikhlaskan," ucap Irin sambil menahan getar pilu di hatinya.

"Iya Irin, iya!" janji Bambang.

"Jadilah Irin yang baru, ayo bangkit, Rin! Aku akan jadi suami yang selalu melindungi kamu."

Waktu berlalu Irin ketiduran sambil menyenderkan kepalanya di lengan Bambang. Bambang membopong Irin naik ke atas kasurnya dan menyelimutinya dengan penuh kasih sayang. Senternya dia taruh diatas nakas, jadi walaupun cahayanya kecil masih bisa menerangi. Mudah sekali untuk menyayangi Irin, sebenarnya dia cantik dengan wajah yang manis dan bibir yang menggoda. Sekarang dia nampak jauh lebih cantik, dulu saat dia acak-acakan saja Bambang sudah mulai sayang apalagi sekarang Irin semakin cantik. Bukan hanya fisik tapi karena Tuhan memang menuliskan takdir mereka berjodoh sehingga semua berjalan begitu mudah.

Ditemani cahaya senter, Bambang nampak mengagumi wajah Irin dari dekat. Hingga dia mengantuk dan ikut terlelap di samping Irin.

 

🍃🍃🍃🍃🍃

Terpopuler

Comments

Fania Imuetz

Fania Imuetz

lanjut

2020-12-06

1

Devy

Devy

bagus.......beda.......biasanya cewek yg slalu berjuang...tp ini cowoknya yg berjuang..👍👍👍

2020-10-18

1

Ima Keyla

Ima Keyla

suka gak banyak iklan lancar

2020-10-17

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!