Mas Andra dan Mba Sila sudah kembali ke rumah mereka. Letaknya tidak jauh dari rumah kami. Melewati sungai dan jembatan, yang menghubungkan antara Desa Makmur dan Desa Ilir. Kalau naik sepeda motor waktu yang ditempuh sekitar 10 menit.
Pagi ini aku menemani Ibu ke pasar. Membeli sayur dan bumbu dapur. Kami pergi ke pasar naik sepeda motor. "Ayo, Mba, nanti nggak kebagian sayur. Ini sudah jam 7 lho!" Teriak Ibu memanggilku. "Iya, Bu. Ini sudah selesai tinggal pakai jilbab saja."
"Ayo, Bu. Naik." Ajakku sambil mengambil tas hijau yang dipegang Ibu. "Ini biar diletakkan di depan saja."
Kamipun berangkat. Suasana desa yang sangat indah. Mentari mulai memperlihatkan sinarnya. Awan yang tadinya bersama, kini sudah menjauh. Bunyi klakson antar pengendara saling menyapa.
Terlihat dari jauh, banyak orang sudah berdatangan. Ya, mereka bahkan ada yang menginap di pasar. Cuaca dan jalan menjadi salah satu faktor mereka (penjual) berangkat lebih awal. Kalau cuaca sedang tidak bersahabat, maka jalanpun sama. Mereka lebih baik naik angkutan laut, seperti perahu dan speed boat.
Aku mengikuti Ibu kemana beliau berhenti. Dari penjual sayur, ikan, bumbu dapur sampai baju. Sebenarnya di desa kami ada mini market yang lengkap. Tapi kata Ibu, beli di pasar lebih segar dan bisa milih. Begitu kata Nyonya.
"Bu, aku ke parkiran dulu, ya. Belanjaan Ibu, aku bawa sekalian. Ibu pasti masih lama." Ujarku sambil menenteng tas hijau yang sudah berisi. Ibu menganggukkan kepala dan memberikan dua lembar uang seribuan. "Untuk bayar parkir, Mba. Mba tunggu di warung Om Farhan saja. Nanti Ibu menyusul."
Sudah kuduga. Ibu masih menunggu hasil goncangan arisan, yang diadakan setiap hari Senin. Aku menuju ke warung Om Farhan. Sampai disana, aku bertemu dan bersalaman dengan Om Farhan. Pada saat itu, warung sedang ramai pelanggan. Jadi, aku disuruh masuk saja ke rumah beliau. Aku lihat Om Farhan sendirian melayani pembeli. Tanpa kusadari akupun masuk ke dalam warung, untuk membantu Om Farhan. "Yang biasa bantu Om diwarung, hari ini nggak berangkat. Sakit katanya." Sambil memberikan plastik putih ke Sekar untuk wadah barang belajaan pembeli.
"Hallo Nyonya Suryo, tumben belanja di warung kecil. Mau ngasih kabar baik ini kayaknya." Kata Om Farhan kepada Ibu bergamis merah polos dengan renda dibagian bawah. Jilbab hitam dengan tas cokelat rajut berukuran sedang ditangan kiri beliau.
"Dia siapa, Farhan?". Tanya Bu Suryo sambil melihat ke arahku. Memindaiku dari atas sampai bawah. Gamis polos cokelat muda dan jilbab berwarna senada membuatku terlihat seperti anak sekolahan, SMP khususnya. Ibu bilang, wajahku itu dari SD sampai sekarang kaya gitu aja. Berubah, tapi nggak keterlaluan. Ditambah pula, aku tidak terlalu sering memakai make-up. Nasib punya kulit sensitif, ya gini. Hufft.
"Sekar, Bu." Jawabku sambil bersalaman dengan beliau. "Baru datang dari Jogja, ya Mba?" Ujar beliau sambil tersenyum.
"Sudah dua hari di rumah, Bu. Oya Bu, maaf ya, lemari Mas Akbar dulu tidak saya bawa pulang ke rumah. Ada yang memakai, Bu. Tidak apa kan, Bu?" Tanyaku kepada beliau karena teringat bahwa beliau adalah Ibu dari Mas Akbar, pemilik lemari cokelat itu.
"Tidak apa, Mba. Santai saja." Ibu Suryo sambil tertawa. "Masih lama disini, gimana sekolahnya?" Sambil mengelus lenganku.
"Sampai seminggu setelah lebaran, Bu. Masih ngerjain skripsi." Jawabku ramah.
"Bagaimana Jeng, mau belanja apa mau cari mantu?" Tawa Om Farhan sambil melirikku.
Kubalas lirikan Om Farhan, seakan menyiratkan makna, enak saja Om ini, aku masih kuliah dan pastinya masih lama aku nikahnya Oom.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments