...SUNDAL...
...Written by David Khanz...
...---------- o0o ----------...
Hujan baru saja berhenti, menyisakan titik bening di dedaunan dan hembus dingin menusuk tulang. Bersamaan dengan genangan air yang berkumpul dalam kubangan, membentuk ragam lingkaran laksana kolam. Beriak kecil terseruput pori-pori bumi. Sementara hari baru saja merangkak senja, selepas gema suci mengumandang di angkasa. Mengalun indah penuh pesona, memanggil para hamba untuk bersimpuh dalam sujud.
Di saat perempuan lain masih elok bergaunkan mukena, Gayatri malah asyik kemasuk mematut diri di depan cermin. Meneliti setiap detil polesan pewarna di beberapa lekuk wajah, serta pakaian ketat terbuka memamerkan raga.
“Mamah mau pergi sekarang?” tanya satu suara mungil di belakang Gayatri mengejutkan. Milik anak semata wayang, cempaka, yang sudah mengenakan penutup kepala serta sebuah buku kecil tergenggam di tangan.
Gayatri menoleh. Seulas senyum tersimpul di balik riasan tebalnya. Jawab perempuan berusia tiga puluh tahunan tersebut, “Iya, Nak. Kamu baik-baik saja di rumah, ya? Sepulang ngaji, langsung kembali dan tidur. Eh, PR sekolah udah dikerjain, ‘kan?”
Gadis kecil yang sudah duduk di kelas enam bangku sekolah dasar itu mengangguk. “Sudah, Mah. Tadi sore Aka kerjain.” Gayatri kembali meneruskan sisa make up-nya yang dirasa belum merata. Balasnya kemudian, “Baguslah. Jadi kamu gak perlu bangun pagi-pagi banget buat ngerjain tugas sekolahmu.”
“Tapi bangun Subuh itu memang harus, Mah. Buat ngerjain kewajiban salat Subuh.” Cempaka masih belum mau beranjak dari tempat dia berdiri. Mata indah gadis itu terus memperhatikan gerak-gerik ibunya di depan kaca.
“Hhmmm, kamu mulai ceramah lagi?” tanya Gayatri tanpa melirik anak tersebut. “Ngomong apa saja guru ngaji kamu tentang Mamah, hah? Ngata-ngatain Mamah, ya?”
Cempaka tak menjawab. Butiran kristal mulai menggenangi pelupuknya. Gayatri memperhatikan anak tersebut melalui pantulan cermin. Ujarnya, “Ditanya, kok … malah nangis? Cengeng kamu, Aka!”
“Aka harap, Mamah gak pergi malam-malam lagi, Mah,” ujar Cempaka lirih dengan suara tersendat.
“Kalau Mamah gak pergi, kita makan apa besok, Aka?” sentak Gayatri. “Kamu mau kelaparan? Siapa yang akan membiayai sekolah kamu?”
Anak gadis tersebut menundukkan wajah. “Aka gak mau orang-orang ngomongin Mamah terus. Aka sering nangis kalo ada yang—“
“Emang kalo Mamah gak kerja, mereka peduli ‘gitu sama kita, hah?” Gayatri mulai emosi. “Jangankan ngasih bantuan, ketemu Mamah saja mereka sudah jijik. Peduli amat sih, ama omongan orang-orang, Aka? Bila perlu, kamu belajar ngaji aja sendiri di rumah. Jangan ikut-ikutan ngumpul sama anak orang-orang brengsek itu!”
“Mah …. “ panggil Cempaka seraya memegang pundak ibunya. “Aka rela gak sekolah. Aka mau bantu-bantu Mamah jualan makanan seperti dulu. Asalkan, Mamah gak kerja malam-malam seperti ini.”
Gayatri membalikkan badan. Menatap Cempaka dengan sorot mata tajam. “Terus … kalo kamu gak sekolah, mau jadi apa kamu nanti? Kayak Mamah, begini? Enggak, Aka! Kamu harus pintar. Jadi orang sukses. Kita harus tunjukkin sama Papah kamu yang enggak bertanggung jawab itu. Kamu bisa berhasil menjadi orang terhormat tanpa meminta belas kasihan dari dia! Ingat itu!”
“Tapi enggak harus bekerja seperti itu ‘kan, Mah?” Cempaka bersikukuh. Gayatri mendorong kasar anaknya, seraya berujar, “Tahu apa kamu tentang pekerjaan Mamah, hah?”
“Mah …. “ Cempaka menahan tubuhnya agar tak terjatuh ke belakang.
“Sudah! Kamu jangan ngurusin Mamah. Kalo mau ngaji, berangkat sana! Kunci rumah, Mamah simpan di dekat pot bunga di depan, ya? Kamu sudah tahu, ‘kan?”
“Aka mau tidur sama Nek Inah saja, Mah,” jawab Cempaka.
“Ya, udah. Terserah kamu saja.”
Masih dengan raut sedih, cempaka menuruti. Melangkah perlahan dan masih berharap ibunya mengurungkan diri untuk berangkat kerja malam itu. Juga untuk selamanya. Namun yang dilihat, Gayatri malah bangkit dari duduk dan bersiap-siap pergi.
“Bawa payung. Takut nanti sepulang ngaji, turun hujan lagi.” Gayatri mengingatkan.
“Mah …. “ Cempaka kembali mendekati.
“Apalagi? Minta duit?”
Gadis itu mengulurkan tangan, meraih jemari Gayatri. Bersalaman. Lantas menciumnya takzim. “Aka berangkat ngaji dulu …. “
Perempuan itu terdiam. Dia memandang anak itu dengan kecamuk perih di hati. Lantas terbersit dalam ingatan, sewaktu Cempaka masih di dalam kandungan, hampir saja dia terbujuk rayu untuk menggugurkannya. Merampas hak darah daging sendiri untuk hidup, karena tak tahu harus berbuat apa lagi guna menutup rasa malu. Lelaki yang diharapkan bersedia memberikan kebahagiaan, nyatanya justru mewariskan petaka tak berkesudahan. Dia raib usai mengetahui Gayatri berbadan dua.
Tidak berhenti sampai di sana, pihak keluarga pun enggan menerima. Mereka murka dan mendadak jijik berada satu atap dengannya. Terlebih ayah Gayatri yang notabene adalah merupakan tokoh terkemuka desa yang sangat dihormati berbagai kalangan masyarakat.
Masih teringat, bagaimana ibu Gayatri meraung-raung di kala anak perempuannya tersebut hendak pergi. Bahkan rela bersimpuh memohon sang suami agar mau memaafkan kesalahan darah dagingnya itu. Apa lacur dikata, laki-laki berpeci putih itu tetap pada pendirian dan bergeming atas apa yang telah diucapkan.
Gayatri memilih jalan hidupnya sendiri. Dengan perut yang kian lama membuncit, mempertahankan diri dengan berbagai cara. Menjadi buruh cuci, mengamen, bahkan sampai meminta-minta. Terakhir saat usia kandungan genap berusia sembilan bulan, seorang bidan desa bersedia menampungnya. Membantu melahirkan, serta memberi perempuan itu pekerjaan. Namun ujian tidak berhenti sampai di sana, seorang lelaki lain hadir dengan beribu janji. Manis laksana gula-gula, melenakan sisi kewanitaan Gayatri yang lama tak terjamah lawan jenis. Dia tak lain adalah suami bidan tersebut.
Tentu saja, setelah hubungan gelap mereka diketahui, pengusiran untuk kali kedua pun terjadi. Gayatri dipaksa pergi membawa serta anaknya yang masih berusia balita. Cempaka. Dari sinilah, awal kehidupan malam mulai perempuan itu kenali. Bermula dari ajakan seseorang yang menaruh iba atas nasib yang Gayatri alami. Dia mengajaknya untuk ikut bekerja. Sekaligus memberi hunian kecil untuk sekadar berteduh dan tidur.
“Kamu itu cantik, Tri. Usia kamu juga masih muda. Pasti banyak laki-laki yang mau sama kamu,” rayu Mamah Rosa, begitu Gayatri memanggilnya, saat itu. Wanita yang usianya dua kali lipat dari ibu Cempaka itu lanjut berkata, “Kasihan anak kamu kalau sampai terlunta-lunta seperti itu. Kebetulan, ada kamar kosong di belakang sana. Bisa kalian tempati berdua. Selagi kamu kerja, ada Mbok Inah yang bisa kamu titipi.”
“Mbok Inah?” tanya Gayatri begitu Mamah Rosa menyebut nama itu.
Mamah Rosa mengisap terlebih dahulu batang rokok ditangan. “Iya. Dia wanita tua yang pernah sama-sama mengalami nasib seperti kamu dulu sewaktu masih muda. Dia kutemukan hampir sekarat di ujung jalan sana. Karena merasa kasihan, makanya aku ajak saja dia tinggal di sini. Lumayan, bisa sedikit bantu-bantu.”
Gayatri menyetujui. Maka terjunlah dia menjadi perempuan malam sejak itu. Melayani para lelaki hidung belang setiap malam tanpa jeda hari. Bahkan menjadi primadona setempat karena kecantikan serta kemolekan tubuhnya. Di belakang gemerlap kehidupan Gayatri yang sarat dengan dosa, Cempaka justru dididik Mbok Inah dengan baik dan lebih terarah.
“Apa pun yang kamu lihat dari Mamahmu, jangan kamu ambil dan tiru ya, Nak. Tetaplah hormati dan hargai dia sebagai ibumu. Buatmu, bercita-citalah menjadi perempuan terhormat yang bisa dibanggakan suatu hari kelak,” ucap Mbok Inah memberi petuah.
“Memangnya, apa yang Mamah lakukan, Nek?” tanya Cempaka polos kala itu. Mbok Inah tersenyum getir. Dia berusaha mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan. Setidaknya agar mudah dipahami oleh anak perempuan seusia Cempaka. Jawab wanita tua tersebut, “Pokoknya, kamu ikuti saja nasihat-nasihat dari Nenek selama ini. Ketika kamu sudah besar nanti, kamu akan paham sendiri.”
“Aka belum ngerti, Nek,” timpal Cempaka kembali. “Terus … kenapa Nenek selalu menasihati Aka selama ini? Nenek pikir, Mamah Aka itu gak baik, ya?”
Mbok Inah mengelus rambut gadis itu dengan lembut. “Percayalah, Nak. Nenek dulu pernah berada dalam posisi Mamahmu seperti sekarang ini. Nenek merasa bersalah dan berdosa. Makanya, Nenek ingin mengisi sisa-sisa hidup Nenek ini dengan sesuatu yang lebih baik. Dekat dengan Tuhan, sekaligus mencegahmu dari …. “
“Dari apa, Nek?” tanya cempaka penasaran.
“Sudahlah. Nanti juga kamu akan ngerti,” elak Mbok Inah seraya melipat sajadah dan mukena usai mereka menunaikan salat Isya. “Sekarang, kita tidur ya, Nak. Biar Subuh bisa bangun tepat waktu dan gak ngantuk. Besok siang, masih mau bawain jualan makanan Nenek, ‘kan?”
“Iya, Nek. Tapi Aka punya PR sekolah yang belum dikerjain, Nek.”
Mbok Inah menguap sebentar. Lalu balasnya, “Ya, udah. Kerjakan saja. Tapi tidurnya jangan kemalaman, ya? Nenek tidur duluan. Capek.”
“Iya, Nek.”
Esok Subuhnya, begitu Cempaka terbangun, samar-samar terdengar ada suara-suara isak di ruang tengah. Itu tangisan Mamah Rosa. Entah apa yang membuatnya begitu bersedih, sampai kemudian Cempaka berusaha mencari tahu. Di sana sudah ada ibunya. Terlihat menundukkan wajah. Duduk berdua di depan seseorang yang terbujur kaku ditutupi selembar kain putih polos. Mbok Inah meninggal dunia.
Cempaka berduka hati. Orang yang selama ini kerap menasihatinya, kini telah tiada. Dia pergi meninggalkan berbagai petuah berharga yang terus terngiang-ngiang di kepala anak tersebut. Hingga kini, menjelang saat dia menginjak usia remaja.
Suatu malam, sepulang cempaka dari pengajian, gadis itu mendapati ibunya masih terbaring di tempat tidur sambil terbatuk-batuk dan memegangi perut. Seringai hebat di wajah perempuan itu menandakan bahwa dia tengah menahan dera rasa sakit yang teramat.
“Mamah kenapa?” tanya cempaka sambil menaruh buku serta tas yang berisi mukena serta sajadah. “Mamah sakit?”
“Oh, Aka. Untunglah kamu sudah pulang, Nak,” sahut Gayatri sambil berusaha bangkit. “Tolong ambilkan Mamah air hangat, ya?” Cempaka langsung menuruti. Bergegas ke dapur dan mengambilkan segelas air panas dalam termos yang dicampur air dingin.
“Mamah sakit? Sebaiknya Mamah gak usah keluar. Mamah tiduran aja, ya?” pinta Cempaka khawatir melihat kondisi ibunya yang sudah beberapa pecan ini selalu mengeluh sakit pada perutnya.
Jawab Gayatri usai meneguk habis gelas yang disodorkan anaknya. “Kamu ini ngomong apa sih, Aka? Kalo Mamah gak kerja, Mamah gak punya uang.”
“Tapi Mamah lagi sakit, Mah,” desak Cempaka kembali.
“Sudah! Diam kamu! Mamah mau berangkat dulu,” seru Gayatri seraya melangkah limbung dan berpegangan pada tembok.
“Mah!” panggil gadis itu hampir menangis.
Gayatri tak memedulikan. Dia tetap berusaha berjalan ke luar sambil memegangi perut.
Di luar rumah, Gayatri bertemu dengan Mamah Rosa. Wanita itu mengerutkan kening begitu melihat kondisi perempuan tersebut. “Kamu masih nekat kerja, Tri?” tanyanya.
“Terpaksa, Mah,” jawab Gayatri di antara ringis menahan kesakitan. “Hanya pekerjaan ini yang bisa kulakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup kami.”
Mamah Rosa tersenyum kecut. “Kamu gak lihat kondisi kamu? Banyak pelangganku yang mengeluh setelah berhubungan denganmu. Kamu rutin berobat dan memeriksakan diri, ‘kan?”
Gayatri menggeleng. “Sudah beberapa bulan ini, aku jarang melakukan itu, Mah. Uangnya habis kupakai untuk keperluan hidup dan biaya sekolah Cempaka.”
“Hhhmmm, pantas saja,” ujar Mamah Rosa. “Sekarang tamu-tamuku sudah tahu tentang kamu. Mereka enggak lagi mau kamu layani. Itu artinya, apa? Kamu sedang menghancurkan usahaku, Tri!”
Gayatri berniat memeluk Mamah Rosa, tapi wanita itu mengelak. Lirih perempuan itu memohon, “Tolonglah, Mah. Aku butuh uang. Sebentar lagi anakku akan masuk SMP. Aku enggak ingin pendidikan Cempaka terhenti, hanya karena gara-gara aku begini.”
Mamah Rosa menggeleng. “Enggak, Tri. Kamu gak boleh kerja,” timpalnya tegas. “Lebih baik, obati dulu sakitmu itu. Aku punya sedikit uang untuk kamu gunakan. Kapan-kapan, kamu bisa kembalikan.”
“Mah, tolonglah …. “
“Enggak! Kamu kembalilah ke kamarmu! Besok, ambil uangnya untuk berobat!”
“Mah …. “
Mamah Rosa tidak mau mendengar. Dia pergi sambil mengisap rokoknya. Menyisakan kepulauan asap putih yang perih dan membuat Gayatri terbatuk-batuk. Bukannya menurut, perempuan itu malah berlalu. Ke arah tempat yang tidak seperti biasanya dia tuju. Jalanan. Berdiri seorang diri menunggu seseorang yang berhenti dan menawarnya untuk bersenang-senang. Hingga waktu pun berlalu tak terasa.
Gayatri mengigil kedinginan. Bertahan di atas pijakan dengan bantuan bersandar pada sebatang tiang lampu jalan. Sampai kemudian, beberapa orang laki-laki datang menghampiri.
“Hei, sssttt … cewek, Bro,” ujar salah seorang dari mereka.
“Pasti pecun tuh!” timpal yang lainnya.
“Kerjain yuk, ah!”
Setelah dekat, mereka segera mengerubungi Gayatri. “Halo, Cewek. Lagi nunggu pelanggan, ya?” Terdengar kekehan serempak.
“Maen sama kita aja. Dijamin puas, deh!”
Gayatri berusaha menahan berdiri. Dia berpegangan pada tiang lampu dengan sekuat tenaga.
“Sekali maen, berapa? Gak usah bayar, deh. Yang penting sama-sama saling memuaskan. ‘Gimana, Mbak?”
“Pergilah kalian! Jangan ganggu aku!” seru Gayatri terpatah-patah.
“Eh, gila! Kita disuruh pergi? Hahaha! Enak aja lu!”
Salah seorang mendorong Gayatri. Dengan mudahnya, perempuan itu tersungkur. “Aaahhh …. “ jerit lirih pun keluar dari bibir pucat itu.
“Bawa ke pinggir, Bro! Kita garap rame-rame!”
Maka tanpa ampun, tubuh lemah Gayatri pun diseret kuat gerombolan lelaki itu menuju semak-semak. Namun beberapa saat kemudian, terdengar makian serta suara-suara hantaman kepalan tangan mengenai bagian-bagian tubuh perempuan tersebut.
“Sial! Pelacur ini penyakitan rupanya, Bro! Mekinya bau banget!”
“Dasar sundal! Sebaiknya lu mampus aja daripada nyebarin penyakit!”
“Untung gua belom sempet pake! Bangsat!”
“Setan lu! Dih!”
Tubuh Gayatri tergolek lemah dengan lelehan darah di mulut serta hidung. Tak ada suara mengerang maupun jeritan. Hanya napas tersendat yang memberi tanda bahwa perempuan itu masih hidup. Entah sampai kapan, hingga kemudian fajar pun mulai menyingsing.
“Cempaka, ikutlah Tante sekarang juga,” kata Mamah Rosa esok paginya. Gadis mungil itu terheran-heran. “Ke mana, Tante?” tanya Cempaka.
Mamah Rosa tidak banyak bicara. Dia segera mengemas semua pakaian anak itu ke dalam tas besar.
“Kita mau ke mana, Tante?” Kembali Cempaka bertanya.
“Enggak usah banyak tanya. Kamu ikuti saja Tante,” jawab Mamah Rosa dengan raut sedih.
“Mamah mana, Tante?”
Bibir wanita itu bergetar menahan tangis. Namun dia berusaha terlihat tegar di depan gadis tersebut. “Mamahmu sedang berobat. Kamu tahu dia sedang sakit beberapa hari ini, ‘kan?”
Cempaka mengangguk pelan. “Kita akan menjenguk Mamah ya, Tante? Tapi … kenapa semua pakaian Aka dibawa semua?”
Mamah Rosa berjongkok di hadapan Cempaka. Kemudian berkata dengan perlahan, “Untuk sementara, jangan tanyain Mamahmu dulu. Biarkan dia berobat sampai sembuh. Sekarang, kamu tinggallah di tempat baru yang jauh lebih baik. Baik-baik di sana dan kamu tenang saja, semua akan Tante urus semampu Tante. Oke, Nak?”
“Tapi kita akan ke mana, Tante?” Gadis kecil itu mengikuti tarikan tangan Mamah Rosa. Memasuki sebuah mobil yang sudah menunggu di depan rumah.
“Berhentilah bertanya, Tante enggak akan menjawab sampai kita tiba nanti di suatu tempat …. “ jawab wanita tersebut menegaskan.
Memang benar. Selama perjalanan, tak ada satu pun percakapan yang keluar dari mulut mereka. Cempaka terpaksa menyimpan rasa heran serta penasarannya. Sementara Mamah Rosa terlihat sedih dengan mata memerah dan basah.
Usai tiba di sebuah tempat, barulah Mamah Rosa berbicara. “Di sini … kamu akan jauh lebih baik, Nak. Tante pesan, jangan pernah berpikir untuk kembali sebelum kamu benar-benar menjadi orang yang diharapkan.”
Cempaka melihat-lihat kondisi tempat yang dituju. Berupa bangunan berderet memanjang dan terdapat banyak ruangan. Di sana tampak beberapa orang anak dengan ragam usia, hilir mudik mengenakan gaun semampai dan serba tertutup. Bahkan kedatangan mereka berdua disambut ramah dengan bahasa yang sudah Cempaka kenali sebelumnya.
“Assalaamu’alaikum. Selamat datang di tempat kami …. “
Hanya sebentar Mamah Rosa berbicara dengan seorang perempuan di sana. Kemudian bergegas meninggalkan Cempaka sambil terisak.
“Maafkan aku, Cempaka. Seandainya dulu anakku mau bertanggung jawab, mungkin Gayatri dan anaknya … tak akan mengalami nasib seperti ini. Tapi selama aku hidup, tak akan kubiarkan cucuku mengikuti jejak aku dan ibunya. Setidaknya, mungkin ini akan meringankan dosa-dosa kami kelak. Termasuk mantan calon mertuaku, Mbok Inah.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
oalaaahh.. berputar2 disitu mereka 🙈🙈
2023-06-04
2