2. Misteri Raibnya Pewaris Tunggal

...MISTERI RAIBNYA PEWARIS TUNGGAL...

...Written by David Khanz...

...---------- o0o ----------...

"Papa dan Mama belom pulang juga, Mbok?" tanyaku di petang hari.

Asisten rumah tangga itu menggeleng. Itu pertanyaan kelima yang kuajukan padanya, Mbok Marni, perempuan yang usianya hampir sebaya dengan Mama.

"Udah hampir seminggu ini Papa dan Mama gak pernah pulang, Mbok. Handphone-nya pun gak pernah aktif," kataku kembali. "Pada ke mana, ya? Aneh, deh."

Mbok Marni yang sedang menemaniku nonton televisi hanya menoleh sejenak. Dia kembali fokus menatap layar ajaib itu sambil duduk berselonjor di lantai.

"Mbok."

"Ya, Den," sahut Mbok Marni seraya menoleh kaget. "Ada yang bisa saya kerjain, Den?"

Aku menarik napas sesaat, lantas lanjut mengajukan pertanyaan, "Kira-kira Mbok tahu gak Mama dan Papa ke mana?"

Perempuan itu terlihat berpikir sebentar.

"Kurang tahu, Den," jawabnya kemudian. "Mungkin lagi dinas luar kota atau bisa jadi ke luar negeri."

"Ah, gak mungkin, Mbok," sanggahku tidak percaya.

"Biasanya, 'kan, begitu kalo Tuan dan Nyonya lama gak ada di rumah, Den."

"Tapi kalo beneran Mama dan Papa ada tugas kerjaan, kenapa gak ngasih tahu aku? Seenggaknya nelpon, kek. Ini malah nomor mereka kompak pada gak aktif. Aneh …."

"Sabar, Den. Tunggu aja dulu. Siapa tahu Tuan dan Nyonya gak sempet ngasih kabar ama Aden," timpal Mbok Marni tanpa menatapku sama sekali.

"Terus dari kantor, ada kabar gak, Mbok?" Aku masih penasaran.

"Gak ada, Den."

Ini benar-benar aneh. Tidak seperti biasanya kepergian Mama dan Papa tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Selama ini aku memang jarang bertemu mereka. Paling-paling sempat bertatap muka saat pagi ketika bersiap-siap hendak berangkat sekolah. Malamnya aku sudah tidur begitu orang tuaku tersebut pulang larut.

"Uang di ATM kamu masih ada, 'kan, Aldi?" Biasanya pertanyaan seperti itu yang paling sering kuterima dari Papa.

"Sekolah kamu baik-baik saja, 'kan, Sayang?" Mama menyusul bertanya. "Kalo ada apa-apa, kamu telpon atau datang aja ke kantor Mama dan Papa, ya, Di?"

Selama ini kalau urusan keuangan, aku memang tidak pernah kekurangan. Mereka berdua mencukupinya nyaris tanpa jeda. Namun jarang sekali menyempatkan duduk bersama. Mama dan Papa selalu sibuk dengan urusan pekerjaan dan relasi mereka di luar sana, tidak terkecuali pada hari libur sekalipun.

"Kamu, 'kan, udah gede, Di. Bisa ngurus diri sendiri," ujar Mama ketika aku mengungkapkan kesepianku akan kehadiran mereka. "Lagian ada Mbok Marni yang bisa ngebantu ngurusin keperluan harian kamu. Itulah makanya Mama dan Papa sengaja ngedatangin Mbok Marni buat ngerjain urusan rumahan kita. Mama lihat, dia cukup bagus kerjanya."

Percuma saja aku mengajukan protes pada Mama dan Papa. Mereka punya segudang alasan yang selalu mampu membuatku terdiam. Mau tidak mau, lama-lama di rumah ini aku malah menjadi lebih akrab dengan Mbok Marni. Perempuan itu sendiri sudah hampir setahun ini bekerja pada kami dengan segala kemampuannya di atas rata-rata, dari seseorang yang mengaku hanya lulusan sekolah dasar dan berasal dari perkampungan terpencil. Mengenai perekretuannya sendiri aku tidak tahu, karena hal itu diurus oleh Papa seorang.

Keanehan lain pun mulai muncul dari seorang Mbok Marni akhir-akhir ini. Sikapnya sering kali ikut campur terhadap urusanku pribadi.

"Dari mana saja, Den, jam segini baru pulang?" tanya Mbok Marni ketika aku baru menginjakan kaki pada jelang petang, masih mengenakan seragam sekolah.

"Abis maen, Mbok, ama temen-temen sekelas," jawabku cuek sekaligus merasa risi disikapi demikian olehnya.

"Temen cewek atau cowok, Den?" Kembali perempuan itu bertanya.

Aku menghentikan langkah, menoleh padanya, lantas berkata, "Emang urusannya apa sama Mbok? Terserah aku, dong, mau maen sama temen cowok maupun cewek."

Balas Mbok Marni, "Sekarang akan menjadi urusan saya, Den. Itu udah diamanatkan oleh Tuan dan Nyonya pada saya."

"Apa?" Aku terkejut. "Sejak kapan pula Mama dan Papa mau tahu urusan anaknya, kecuali masalah uang dan uang. Apalagi sampe ngasih Mbok tugas tambahan kayak tadi itu. Heh!"

Mata Mbok Marni membesar. Ujarnya dengan penekanan suara, "Tolong jangan membantah, Den. Mulai saat ini, urusan Den Aldi juga menjadi tanggung jawab saya. Jangan banyak membantah."

"Pembantu aneh!" desisku seraya lanjut melangkah menuju kamar. "Lama-lama kelakuannya makin menyebalkan!"

Kutoleh dia dari kejauhan. Ternyata masih berdiri mematung mengawasiku hingga lenyap di balik pintu kamar.

Benar, kelakuan Mbok Marni kian menjadi-jadi. Dia berubah layaknya pengawas bagiku. Urusan pergaulan pun tidak luput dari perhatian perempuan tersebut. Apalagi jika sudah mengenai teman lawan jenis. Entahlah, apakah dia menaruh hati padaku atau hanya sekadar melaksanakan tugas dari Papa dan Mama? Bingung.

Malamnya aku tidak bisa tidur. Benak ini terus-terusan memikirkan keberadaan kedua orang tua yang tak tentu rimba. Lantas iseng-iseng beranjak ke luar kamar, hendak memeriksa kamar Mbok Marni. Siapa tahu asisten rumah tangga kami tersebut belum tidur. Sekalian akan kuajak berbincang-bincang seputar pertanyaan yang kerap memenuhi ruang kepala selama ini. Ternyata kosong. Dia tak ada di sana. Namun mata ini lantas terbentur pada kerlip lampu kecil yang berasal dari laptop di atas sebuah meja kecil. Sepertinya dalam kondisi 'tidur'. Tergerak hati ini untuk memeriksa dan selama beberapa bulan ini baru tahu kalau Mbok Marni memiliki gadget semacam itu.

Kutekan sembarang tombol pada papan ketik. Langsung terbuka. Tidak menggunakan kode pengaman apapun. Di layar utama pun tidak menemukan hal aneh. Aku makin penasaran, lantas membuka-buka folder dokumentasi. Sejenak meneliti deretan nama-nama kotak folder di sana, hingga membentur pada tulisan 'Marry's files'.

Marry? Apakah itu sebuah nama? Siapa? Hubungannya dengan Marni, apa?

Kemudian kusentuh dua kali bilah kanan tombol pada tetikus (mouse). Sebentar kemudian terpampang beberapa foto-foto lawas. Itu tampak seperti hasil scanning manual. Gambar-gambar seorang bayi mungil. Beberapa di antaranya berpose dengan seorang perempuan muda yang wajahnya sekilas mirip dengan … Mbok Marni. Siapakah itu? Apakah memang sosok tersebut seorang Marni muda? Lantas bocah itu anaknya? Tidak ada keterangan pasti terkecuali sebuah foto keranjang yang di dalamnya berisikan bayi tadi. Tergeletak di depan sebuah pintu rumah. Aku rasa bentuk daun pintu serta lantainya sangat dikenal. Seperti … ya, Tuhan! Itu, 'kan, persis di depan pintu rumahku sendiri. Di sana! Astaga! Ada hubungan apa semua itu dengan sejarah keluargaku?

Aku bergegas mencari Mbok Marni. Ke mana gerangan perempuan itu? Di kamarnya tidak ada. Dapur, toilet, gudang, kamar tamu, juga nihil. Lantas? Jangan-jangan ….

"Mbok, ngapain tidur di sini?" tanyaku keras-keras begitu mendapati sosok pembantu tersebut nyatanya tengah tergolek pulas di kamar kedua orang tuaku.

Perempuan itu tampak kaget. Dia segera bangkit, menuruni tempat tidur, lantas bergegas hendak keluar. "Mbok belum ngejawab pertanyaanku! Apa yang Mbok lakuin di kamar Mama dan Papa, hah?!"

Mbok Marni gugup. Dia menjawab terbata-bata, "Saya cuma kangen sama Tuan dan Nyonya, Den. Saya gak bisa tidur, makanya mencoba tiduran di sini. Maafin saya, Den."

"Bohong!" kataku kasar. "Aku yakin, ada maksud lain yang sedang Mbok sembunyiin dariku, 'kan? Jawab jujur, Mbok!"

Mbok Marni makin terlihat ketakutan.

"Sumpah, Den," jawabnya dengan suara bergetar. "Saya gak ngapa-ngapain, kok. Cuma numpang tidur di kamar orang tua Den Aldi saja!"

Sebenarnya ingin pula kutanyakan perihal foto bayi dalam keranjang di laptop Mbok Marni tadi. Namun kupikir, sekarang bukan saat yang tepat. Akhirnya kulepas dia pindah tidur di kamarnya sendiri. Lantas terbersit sebuah rencana lain esok hari untuk mengungkap pertanyaan yang belum terjawab ini. Yaitu ….

"Pak Richard dan Bu Irene sudah sepekan ini tidak pernah masuk kantor, Dek," jawab salah seorang pegawai kantor tempat Papa dan Mama bekerja selama ini. "Pihak kantor juga sudah beberapa kali berusaha menghubungi nomor keduanya, tapi gak pernah tersambung. Bahkan dari keterangan orang di rumah Adek, Pak Richard dan Bu Irene juga gak pernah pulang."

Tidak pernah pulang? Jadi yang diucapkan Mbok Marni selama ini bohong? Perempuan itu berkata bahwa pihak kantor tidak pernah mempertanyakan keberadaan Mama dan Papa. Ini tidak benar. Ada yang aneh. Terutama tentang asisten rumah tangga kami tersebut. Ada apa sebenarnya dengan dia?

Aku segera pulang dan memburu sosok Mbok Marni. Perempuan itu tidak ditemukan di sana. Bahkan sempat mengacak-acak seluruh lemarinya, hanya menemukan sebuah kotak kayu kecil. Terkunci rapat dengan gembok kuat. Aku tak peduli. Segera dibongkar sebisa mungkin, hingga akhirnya mendapatkan dua buah ponsel milik Papa dan Mama, lengkap bersama berbagai dompet dan isinya.

Astaga!

Jadi Mbok Marni memang mengetahui keberadaan Papa dan Mama selama ini. Buktinya barang-barang mereka masih tersimpan rapi di dalam kotak tadi. Lantas ke mana sebenarnya kedua orang tuaku tersebut?

Masih penasaran, aku pun bergegas memasuki kamar Papa dan Mama. Memeriksa isi lemari. Masih tertata rapi, lengkap dengan koleksi perhiasan yang ada. Tak berkurang. Mungkin juga belum sempat dicuri? Ah, lantas kusingkap kasur. Memeriksa bagian bawah tempat tidur. Ada yang aneh. Lantai keramiknya tampak berbeda corak dan warna di beberapa tempat. Seperti baru diganti. Entah kapan?

"Kamu sedang mencari Tuan dan Nyonya, 'kan, Den?" Tiba-tiba muncul sosok Mbok Marni di ambang pintu.

"Mbok?" Aku terperanjat. "Mbok memang tahu keberadaan Papa dan Mama, 'kan?"

Aku tak berani maju. Mendekati perempuan itu. Karena di tangannya tergenggam erat sebuah revolver dan siap digunakan.

Mbok Marni tersenyum diiringi senyuman dingin. Sosoknya nyaris jauh berbeda dengan orang yang selama ini sudah begitu kukenali.

"Mereka ada di sana, Den," jawabnya datar tanpa ekspresi apapun. "Sudah seminggu ini tertanam di bawah tempat tidur mereka sendiri."

Aku makin terkejut.

"Mbok membunuh kedua orang tuaku?"

Jawab Mbok Marni dengan belalak menyeramkan, "Mereka bukan orang tuamu, Aldi! Kamu itu anak saudara kembarku yang sudah lama mati. Akulah yang mengirim kamu sewaktu masih bayi ke rumah ini! Meletakan seorang Aldi kecil dalam sebuah keranjang dan menaruhnya malam-malam di depan pintu rumah ini, hingga akhirnya Tuan dan Nyonya mengangkatmu menjadi anak mereka. Membesarkanmu hingga sekarang kamu tumbuh berkembang sempurna layaknya orang kaya dengan seorang putra tunggal!"

Ya, aku ingat. Mungkin ini sebagai penjelasan atas foto-foto yang kulihat di laptop Mbok Marni tadi malam.

"Enggak mungkin! Kamu pasti bohong, Mbok!" kataku seraya hendak maju memburunya, namun tidak jadi. Laras senjata di tangan Mbok Marni keburu terangkat mengarah tepat ke kepala ini.

"Tetaplah kamu berada di sana, Aldi!" seru perempuan itu menggidikkan. "Ketahuilah, sudah bertahun-tahun aku ngerencanain ini semua. Masuk ke dalam keluarga jahanam ini dan menyisakanmu seorang untuk menjadi ahli waris tunggal atas kekayaan seorang Richard Sinambian! Karena apa? Laki-laki itu adalah kakakmu sendiri, Aldi. Ayah dialah yang telah menanam benih di rahim adikku, Marry, lalu mencampakkannya begitu saja. Ibumu hampir gila dan bunuh diri usai melahirkanmu. Itu yang perlu kamu ketahui!"

"Ya, Tuhan!"

"Sebagai kakak kandung dari ibumu, tentu saja aku ikut terpukul dan menaruh dendam pada laki-laki itu. Tapi sayang, bandot tua itu keburu mati dan harta kekayaannya jatuh ke tangan Tuan Richard. Maka dari itulah, aku berambisi untuk merebut semua itu, lalu menyerahkan sepenuhnya padamu, Aldi. Agar ibumu merasa senang dan bahagia di alam sana, bahwa anaknya telah berhasil mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hakmu."

"Mbok …."

"Biarkan kedua orang itu membusuk di dalam kamar mereka sendiri. Mengenai dua kendaraan milik Tuan dan Nyonya, aku sudah menjualnya. Uang hasil penjualan itu sudah kusimpan di dalam rekening mereka. Semua sudah aku persiapkan di dalam kotak kayu yang sudah kamu bongkar tadi, Aldi," ujar Mbok Marni kembali. "Kini tugasku sudah selesai. Aku akan pergi dan mengabarkan ini pada adikku, Marry. Semoga kamu bahagia, Aldi anakku."

"Mbok Marni!"

Terlambat. Moncong senjata itu sudah meletus tepat mengenai kepala perempuan tersebut. Melubangi batok kepalanya hingga tembus memecah seisinya melalui lesakan peluru tajam yang dia tembakkan. Kemudian langsung ambruk bercucuran darah tanpa sempat berkata apapun.

"Ibuuu … !!!" jeritku seraya memburu tubuh yang sudah tidak bernyawa tersebut. "Jangan tinggalin aku, Bu!"

Sia-sia saja. Mbok Marni sudah menghembuskan napas terakhirnya saat itu juga. Di kamar itu, bersama dengan kedua sosok yang selama ini kuanggap sebagai kedua orang tuaku sendiri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!