5. Jalan Buntu

...JALAN BUNTU...

...Penulis : David Khanz...

Terik siang panas membakar. Menyengat nyelekit mencubiti pori di hampir setiap bagian tubuh. Menguras deras, peluh membanjiri raga. Seperti yang sedang dirasakan oleh seorang laki-laki, Rendra, melangkah limbung di atas jalan membara. Dengkus napas kelelahan, ditambah sorot mata hampa menatap alam sekitar. Melengkapi derita di tengah kecamuk yang memenuhi kepala.

Rendra berhenti sesaat di bawah rindang pohon di pinggir jalan. Mengelap cucuran keringat di wajah dengan punggung tangan. Seraya menatap langit sesaat, kemudian dia berjongkok termenung mengingat kejadian beberapa waktu berlalu.

"Bagaimana perihal permohonan pinjaman uang itu, Pak? Ini sudah pekan terakhir sesuai dengan yang Bapak janjikan," tutur Rendra kala menghadap atasannya, Wijaya, di ruang kerja laki-laki berpenampilan modis tersebut.

Wijaya menurunkan sedikit letak kacamatanya. Menatap tajam Rendra yang memelas. "Maaf, Pak. Kondisi keuangan perusahaan sedang kosong," timpal Wijaya disertai senyum kecut. "Saya sudah bicara dengan pihak kepala sub bagian keuangan dan bendahara kantor, kata mereka ... ya, seperti itu tadi. Kas kosong. Ada juga dana untuk kegiatan program kantor. Itu tidak bisa diganggu untuk kepentingan lain. Termasuk pinjaman buat Pak Rendra ini."

Rendra menelan ludah pahit. Tenggorokannya tiba-tiba terasa mengering. Dengan hati kecewa, dia bertanya, "Sama sekali tak bisa, Pak?"

Wijaya menggeleng. "Ya, jawaban mereka seperti itu. Maaf ya, Pak."

Rendra menundukkan wajah. Kelopak matanya mulai tergenang titik bening. Sedih bercampur rasa kecewa yang teramat dalam.

"Ada lagi yang ingin disampaikan, Pak?" tanya Wijaya beberapa saat kemudian. "Soalnya ... saya harus kembali kerja."

Rendra mengangkat kembali wajah. Menatap penuh harap pada atasannya tersebut. Setelah menelan ludah beberapa kali, dia berucap, "Mohon maaf, Pak Wijaya. Saya hanya butuh pinjaman uang sebesar tiga juta, untuk biaya anak-anak sekolah. Kalau hari ini tidak bisa membayar daftar ulang, itu artinya ... anak saya mengundurkan diri dari sekolah."

"Iya, saya sudah tahu alasan Bapak mau pinjam uang tempo hari. Saya sangat memahaminya. Tapi ... masalahnya ... ya, seperti yang saya katakan tadi," ungkap Wijaya seraya melirik jam tangannya.

Rendra menarik napas panjang. Dengan suara terbata, dia menambahkan. "Mohon maaf, Pak. Maksud saya ... kalau memang pihak kantor tidak bisa membantu ... mungkin Bapak bisa tolong saya mencarikan jalan keluar lain. Masalahnya, saya sangat butuh sekali, Pak."

"Maksud Pak Rendra?" Wijaya mengerutkan kening. Laki-laki ini mulai mengendus ada aroma lain dari perkataan bawahannya tersebut.

Rendra kembali menunduk. Rasa malu dan terpaksa penuh harap, terus membelenggu benak. Kemudian lirih menjawab, "Sekali lagi, mohon maaf atas kelancangan saya ini, Pak. Saya .... " Laki-laki ini sudah tak kuasa menahan entakan emosi di hati. " ... mungkin Bapak berkenan membantu saya, Pak. Saya sudah bingung harus ke mana lagi meminta tolong. Satu-satunya harapan saya hanya dari kantor atau Bapak sendiri."

"Lalu?" Wijaya menyipitkan kelopak. Sepertinya dia sudah paham, apa yang dimaksud oleh Rendra barusan.

Hening sesaat, sampai kemudian laki-laki bertampang lusuh itu lanjut berucap, "Mungkin ... eeumm, mungkin Bapak punya sedikit uang untuk saya pinjam, Pak." Wijaya tertegun. Tambah Rendra, "Saya janji akan mencicilnya sebesar lima ratus ribu per bulan. Saya sanggup mengembalikan hingga lunas nanti, Pak. Saya janji. Ini untuk kepentingan pendidikan anak."

Wijaya tampak berpikir keras. "Gimana ya?" ujarnya, "masalahnya, untuk saat ini ... saya sendiri tak punya tabungan pribadi." Rendra semakin merasa kecewa. Harapan satu-satunya, kini terancam sirna. "Pak Rendra tahu sendiri, 'kan? Di tengah kondisi pandemik seperti sekarang, hampir semua orang terpuruk. Termasuk saya sendiri. Jadi .... "

Tiba-tiba ponsel Wijaya berbunyi. Ada panggilan dari nomor bernama 'anakku' di sana. Laki-laki itu segera meraih gawainya. Sesaat sebelum menerima telepon, dia memberi kode pada Rendra untuk diam sejenak. "Ya, Nak. Ada apa?"

Derai air mata Rendra menyusuri pipi. Masih dengan posisi menunduk, dia menunggu Wijaya hingga usai berbicara melalui ponsel.

"Oh, motor itu ya?" Wijaya melirik sejenak pada Rendra. Suaranya tiba-tiba sedikit menurun. "Ya, sudah. Kamu datang saja dulu ke dealernya. Pilih yang kamu suka. Nanti Papah langsung transfer uangnya ya, Nak? Gimana? Oke? Baiklah. Papah tunggu kabar dari kamu nanti. Iya, Papah masih di kantor. Kerja. Oke, Sayang? Bye!"

Wijaya menutup percakapannya. Usai meletakkan kembali ponsel di meja, lalu lanjut berkata pada Rendra, "Saya kira seperti itu, Pak. Jadi ... mohon maaf, saya belum bisa membantu."

"Saya hanya butuh tiga juta saja, Pak," desak Rendra lirih.

"Saya tahu, Pak. Kalau saja saya punya, mungkin sepuluh juta juga akan saya beri. Masalahnya ... saya sendiri sedang butuh. Pak Rendra dengar sendiri tadi, 'kan? Anak sulung minta dibelikan motor, yang kedua juga sama harus mendaftar ulang sekolah. Lalu istri saya. Jadi .... "

"Saya mohon, Pak. Saya minta kemurahan hati Bapak," ucap Rendra kali ini disertai isak.

"Maaf, Pak Rendra. Saya belum bisa. Terkecuali .... " Wijaya merogoh kantong celananya. "Jika Bapak mau makan siang, ini ada uang dua puluh ribu. Pakai saja dulu. Tak usah dikembalikan."

Rendra menatap sesaat lembar uang berwarna hijau yang disodorkan Wijaya. Seraya menggeleng, dia menimpali, "Terima kasih, Pak. Saya hanya sedang butuh bantuan. Karena masalah ini, saya malah kehilangan nafsu makan."

Wijaya tersenyum kecut. "Mohon maaf sekali ya, Pak. Saya tak bisa membantu."

Rendra bangkit dari duduk. Setelah ijin pamit, dia bergegas keluar ruangan dengan wajah muram.

Hatinya serasa hancur berkeping-keping. Tak ada yang bisa menghibur. Seperti ungkapan salah seorang rekan kerjanya di bagian office boy. "Gimana, Ren? Elu udah dapet pinjaman duit dari Pak Jaya?" tanya Josep begitu keduanya bertemu di ruang belakang.

Rendra menggeleng lemah. Bibirnya gemetar, tak mampu menjawab pertanyaan rekan seprofesi tersebut. Josep menarik napas. Miris.

"Masa Pak Jaya gak bisa ngebantu sih? Gaji dia itu jauh lebih besar dari kita di kantor ini. Punya mobil. Rumah gede. Jabatan bagus. Hanya dipinta tolong minjemin duit segitu aja, gak mampu?" rutuk Josep sambil berdecak kesal. "Gua gak percaya!"

"Gak tahu, Jos. Gue juga mikir kayak gitu. Tapi, mau gimana lagi? Faktanya kayak gitu," timpal Rendra sedih. Sesak dadanya kian terasa. "Gue pasrah."

"Sialan! Bener-bener atasan gak punya perasaan!" umpat Josep sambil mengepalkan tangan.

"Udahlah. Gak usah dibahas lagi," ujar Rendra sedih. "Berarti gua harus rela, anak gua keluar dari sekolahan."

"Jangan dong! Pendidikan anak itu jauh lebih penting, Ren. Anak elu harus tetep sekolah," pinta Josep. "Gimana kalo elu pake dulu duit gua?"

Rendra terkesiap. "Elu punya duit, Jos?"

Josep menatap sedih rekan kerjanya. "Gajian bulan kemaren, gua sengaja nyisain saldo di ATM. Gak gede sih, cuma dua ratus ribu. Kalo elu mau pake, gua ambilin sekarang juga."

Rendra menggeleng. "Gua perlunya tiga juta, Jos."

"Kalo segitu, gua sendiri gak punya, Ren. Sorry .... " Josep menatap haru. "Seandainya ada, gua gak bakalan pake mikir. Pasti gua kasihin ke elu, Ren."

Rendra menepuk bahu Josep. "Makasih, Kawan. Gua percaya ama elu. Tapi ... maaf, gua gak bisa nerima tawaran elu itu. Kekurangannya masih banyak."

Josep menggaruk kepala. " ... atau gini aja deh. Gua mau nyoba temuin temen-temen seprofesi kita yang lain. Siapa tahu mereka bisa bantu. Elu tunggu gua ya, sampe jam istirahat nanti. Jangan ke mana-mana."

Rendra tersenyum haru. "Makasih, Jos."

Setelah berkata seperti itu, Josep langsung bergegas meninggalkan Rendra. Entah ke mana. Mungkin menemui teman-teman lain di lingkungan kantor tempat mereka bekerja. Ditunggu penuh harap hingga jelang waktu istirahat, nyatanya sosok Josep tak kunjung datang.

Akhirnya Rendra memutuskan untuk meninggalkan kantor. Menyusuri lorong ruangan dengan langkah tertatih. Di pelataran parkir, tak ditemukan motor Josep seperti biasa nongkrong di sana. Mungkin saja dia pergi atau ke mana. Rendra tak ingin banyak bertanya.

Beberapa waktu setelah laki-laki itu pergi, tiba-tiba Josep datang ke kantor. Bergegas memburu ruang belakang, di mana tempat biasa para pekerja seprofesinya berkumpul. Tampak begitu ramai tak lazim sebagaimana mestinya. Kerumunan pekerja lain ikut berdesakan di sana.

"Ada apa ini?" tanya Josep pada salah seorang di antara kerumunan.

"Nah, kebetulan kamu datang, Jos," ujar sosok yang ditanya tadi.

"Ada apa sih?" tanya Josep lagi.

"Kamu lihat saja sendiri ke dalam pantri sana, Jos."

Josep menurut. Sesaat kemudian dia tersurut dengan mata membelalak dan mulut menganga. "Ya, Tuhan!" serunya terkejut.

Beberapa saat lamanya Josep diam terpaku diikuti linangan air mata yang tak mampu dibendung.

"Saya turut prihatin, Jos," ujar satu suara di belakang Josep. Dari sosok yang tadi. "Sekarang, cepat beritahu keluarganya. Karena kupikir, cuma kaulah pekerja di sini yang tahu tempat tinggal anak-istri dia."

Josep tertegun. "Gua pinjem kendaraan elu."

"Lho, memangnya motor kamu ke mana?"

"Gua gadein tadi," jawab Jos seraya mengusap saku celananya yang tersimpan uang sebesar tiga juta rupiah, untuk memenuhi kebutuhan Rendra.

Namun kini, uang itu tak ada gunanya. Berganti rasa sedih yang begitu mendalam di hati Josep.

TOOOTTT!

Suara jeritan nyaring klakson bis kota membuyarkan lamunan Rendra. Mata lelaki itu nanar menatap laju kendaraan tersebut ke arahnya. Masih diliputi rasa sedih dan gemuruh emosi di balik dada, tiba-tiba dia bangkit dari jongkoknya. Lalu melangkah dengan cepat memburu datangnya bis tersebut. Bukan hendak naik maupun menghentikan, namun sengaja berdiri mematung tepat di tengah-tengah jalur yang akan dilewati.

Sepersekian detik, tubuh Rendra akan dihantam tanpa ampun oleh bagian depan kendaraan. Akan tetapi tak terjadi apa-apa. Badan bis dengan mulus melewati laki-laki tersebut, tanpa cidera maupun terlempar mengerikan. Begitu pula dengan lalu-lalang pengguna jalan raya lainnya. Rendra masih utuh berdiri kaku di atas jalanan beraspal.

Karena saat itu, tak ada satu pun manusia yang bisa menyaksikan kehadirannya, maupun mendengar lagi jerit kekecewaan. Laki-laki itu telah memilih jalan lain untuk mengatasi masalah hidup, ketimbang melewati perlahan sambil berharap petunjuk Tuhan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!