...MENANTU IDAMAN...
...Written by David Khanz...
...---------- o0o ----------...
Baru sepekan ini, aku menjadi istri sah Mas Tedi. Sekaligus tinggal bersama Ibu Mertua dalam satu atap. Sebelumnya jujur saja, ingin sekali mengontrak rumah dan hidup berdua dengan suami. Namun karena alasan Ibu Mas Tedi tinggal sendiri, akhirnya terpaksa menuruti kemauan dia sekaligus merawat dan mengurusi wanita tua tersebut. Apalagi dari kelima anaknya, semua berjenis kelamin laki-laki. Suamiku sendiri merupakan anak bungsu.
"Kalau kita ngontrak rumah, kasihan ... ibuku tinggal sendiri di rumah, Dek," kata Mas Tedi begitu kuusulkan tinggal terpisah dari Ibu Mertua. "Kakak-Kakakku semuanya sudah menikah dan punya rumah sendiri. Lagipula, beliau sangat ingin ada anak menantu perempuan yang mau tinggal di rumah dan menemani beliau."
Aku sangat paham keinginan Mas Tedi. Berat sekali harus meninggalkan ibu kandungnya seorang diri, seperti halnya aku harus berpisah dari ibuku sendiri. "Anak laki-laki itu harusnya membawa istrinya, bukan malah terbawa dan ikut tinggal bersama keluarga istri," tutur Mas Tedi menambahkan alasan.
Terus terang, selama mengenal Mas Tedi, jarang sekali bertandang ke rumah keluarga suamiku tersebut. Hanya sesekali. Itu pun hanya pada hari-hari besar saja. Sebelumnya pun sudah tahu, Ibu Mertua adalah seorang janda tua dan telah lama ditinggal suami.
Ada kekhawatiran yang terbersit dalam hati mengenai cerita-cerita mertua. Pengalaman teman-teman media sosialku sering bertutur, tentang sikap ibu-ibu mertua mereka yang egois dan tidak bersahabat. Tidak mau menerima kehadiran menantu, tidak mau berbagi anak laki-laki, bahkan sampai berebut gaji anak mereka dengan menantunya. Aku takut hal itu akan terjadi pula kelak.
Makanya begitu Mas Tedi bermaksud memboyongku ke rumah ibunya, hati ini agak berat untuk menyanggupi. Lebih nyaman tinggal dan dekat dengan ibu kandung sendiri, kalau memang suami belum memiliki tempat kediaman.
"Tapi Mas harus janji, aku masih boleh berkunjung ke rumah ibuku kapan pun aku mau, 'kan?" kataku sedikit merajuk. Mas Tedi tersenyum, jawabnya, "Tentu saja, Dek. Masa aku melarangmu bertemu keluargamu sendiri, sih?"
Ya, begitulah. Awal tinggal di rumah Ibu Mertua terasa asing sekali. Apa pun yang hendak dilakukan, agak kagok dan serba salah. Aku merasa tidak bebas mengerjakan semua hal dengan sesuka hati. Selalu saja ada omongan dari Ibu Mertua. "Masak sayur sop, bukan begitu caranya, Nak. Bahan-bahan sayurannya dipotong kecil-kecil. Terus dicuci. Setelah itu, masukan ke dalam minyak panas setelah bawang gorengnya sudah kekuningan. Jangan setelah nunggu airnya mendidih, baru dimasukkan," ujar Ibu Mertua seraya mengambil wadah berisi bahan sayuran yang masih mentah dari tanganku. Seketika diri ini merasa dipermalukan. Tanpa sadar aku membalas, "Tapi dimasukin sekarang atau nanti juga, hasilnya akan tetap sama 'kan, Bu? Lagian, mau dipotong besar atau kecil juga, nanti akan tetap sama-sama dimakan, kok."
Ibu Mertua tersenyum mendengar jawabanku. Dengan lembut dia mengusap bahu ini sambil berkata, "Betul, Nak. Tapi memasak itu bukan hanya tentang rasa. Tampilan juga perlu, lho, buat menggugah selera."
'Ah, banyak omong banget, sih, perempuan tua ini! Kenapa gak ngurus masakan dia sendiri saja, sih? Mentang-mentang gue masih nebeng di dapur dia!' gerutuku dalam hati. Kesal.
Itu baru contoh kecil. Belum lagi kalau aku mencoba memasak masakan sendiri. Ada saja celetukannya yang membuat hati mangkel. "Tedi itu sukanya tempe goreng yang direndem dulu pake air kaldu, Nak. Jangan tempe iris langsung digoreng begitu. Nanti rasanya hambar. Sini, Ibu contohin, ya," kata Ibu Mertua, lagi-lagi mengambil batangan tempe utuh dari tanganku beserta pisaunya. Lalu mengiris tipis-tipis di atas talenan kayu. "Nah, habis dipotong tipis begini, masukin ke dalam air panas yang sudah ditaburi bumbu penyedap. Biarkan beberapa menit biar meresap. Setelah itu angkat, tiriskan, lalu goreng sampai mateng. Rasanya akan lebih enak ketimbang langsung digoreng kayak kamu tadi, Nak."
'Ih, sebel! Repot amat, sih, ikut campur melulu urusan gue? Dikiranya gue gak becus masak, apa? Baru urusan beginian doang udah rempong! Apalagi entar kalo gue udah punya anak. Perempuan bangka ini pasti lebih nyusahin lagi!'
Makanya, aku paling malas kalau harus masak bareng-bareng Ibu Mertua. Selalu saja mencari-cari alasan jika dia mengingatkan. "Nak, sebentar lagi Tedi pulang kerja, lho. Kamu belum masak, 'kan?"
Dari kamar aku menjawab nyaring, "Iya, entar aja, Bu." Terpaksa mengelak tanpa mau bertatap muka dengannya. "Ibu kalo mau masak, duluan saja, deh. Saya nanti, belakangan."
Sekali dua kali aku memang bisa menolak ajakan Ibu Mertua untuk masak bersama. Namun keseringan melakukan hal yang sama, kadang merasa tidak enak hati juga. Celakanya, untuk urusan makan bareng-bareng, aku tak kuasa mengelak. Apalagi jika Mas Tedi yang mengajak. "Makan bareng ibu, yuk, Dek. Kasihan kalo gak ditemenin. Ibu makan sendirian, tuh," ujar laki-laki itu menghampiriku yang masih malas-malasan di kamar.
"Aku nanti saja, deh, Mas. Biarin ibu makan duluan," timpalku berat hati.
"Jangan begitu, ah. Kalo makan bareng-bareng, 'kan, akan jauh lebih nikmat. Yuk, Sayang," desak Mas Tedi. Aku tak bisa menolak. Jujur saja, sebenarnya dari tadi juga ingin segera makan. Hanya berusaha menahan sambil menunggu kedatangan suami tersebut.
Akhirnya dengan terpaksa, aku menuruti ajakan Mas Tedi. Duduk semeja dengan Ibu Mertua.
"Masakan kamu enak juga, Dek. Mirip hasil olahan Ibu," celetuk Mas Tedi sambil menikmati hidangan. Aku mendelik lalu menimpali, "Itu memang Ibu yang masak, kok, Mas."
"O, iya? Terus ... hasil masakanmu yang mana, Dek?" tanya Mas Tedi seraya memperhatikan satu per satu olahan di depannya. Aku menjawab tanpa mau menatap laki-laki itu, "Tuh, tempe goreng. Itu kesukaanmu, 'kan?"
Mas Tedi mengambil satu dan mencicipi sedikit. "Hhmmm, lumayan. Cuma ... agak kurang terasa asinnya. Mungkin ngerendemnya kurang lama, ya?"
"Masa, sih, Mas?" Aku turut mengambil hasil olahanku tersebut dan menyantap perlahan. "Ah, sama saja, kok, kayak yang digoreng Ibu."
Laki-laki itu kembali mengecap makanan yang masih dia kunyah. Timpalnya, "Bener, kok. Bisa jadi juga karena bumbu kaldunya kurang banyak, Dek." Mas Tedi melirik pada ibunya. "Nanti, coba Adek belajar masak sama Ibu. Masakan beliau enak-enak, lho."
Mendadak acara makanku tak berselera. Susah payah berada di dapur sore tadi, hasilnya hanya jadi bahan obrolan di meja makan. Kalau saja tak ada Ibu Mertua di sana, sudah pasti kutinggalkan meja makan ini, kemudian membanting badan ke atas kasur dan menangis sejadi-jadinya. Menyebalkan!
"Sudahlah, Ted. Masakan istrimu enak, kok. Ini, Ibu saja sudah habis tiga. Sekarang mau nambah, boleh, 'kan?" Tiba-tiba Ibu Mertua menyela. Perempuan itu mengambil sepotong goreng tempe hasil masakanku, lalu menyodorkan piring berisi masakannya tadi ke dekat anak laki-lakinya. "Ini, habiskanlah, Ted. Sengaja hari ini, Ibu masakin kesukaan kamu. Sekalian juga buat mantu Ibu. Makan dan nikmati semua, ya."
Sejak kejadian di depan meja makan itu, aku jadi malas masak. Lebih memilih membeli lauk pauk ketimbang membuat sendiri. Bahkan untuk urusan masak memasak, lebih banyak dilakukan Ibu Mertua. Sampai suatu ketika ....
"Ibu mau belanja, ya?" tanyaku ketika melihat perempuan tua itu hendak keluar sambil menjinjing keranjang. "Iya. Ada apa, Nak?" Ibu Mertua berhenti sejenak.
"Sebentar, Bu," kataku sambil beranjak masuk ke dalam kamar. Kemudian keluar sambil menyerahkan selembar uang padanya. "Saya titip sekalian, ya. Bawang merah seperempat kilo, sayur asem sama bumbu-bumbunya, ikan asin, lalapan, juga bahan sambalnya."
Sejenak Ibu Mertua menatapku dalam-dalam. Ujarnya kemudian, "Ya, sudah. Baiklah, Ibu keluar dulu sebentar, ya, Nak."
Sekonyong-konyong Mas Tedi muncul dari kamar. "Jangan, Bu. Biar Tedi aja yang belanja."
"Lho, Mas ini bagaimana, sih?" Aku menoleh heran ke arah suamiku tersebut.
"Sudah. Gak apa-apa. Sini, biar Tedi aja yang belanja," jawan Mas Tedi seraya mengambil keranjang dari tangan ibunya. "Ibu tunggu saja di rumah, ya."
"Gak apa-apa, Ted. Ibu kuat, kok. Cuma belanja sayuran saja di depan gang sana," sahut Ibu seperti merasa keberatan.
"Enggak. Biar Tedi sama istri Tedi saja yang belanja," timpal Mas Tedi sambil menarik tanganku ke luar rumah. Di jalan, laki-laki berkata kembali padaku, "Lain kali, jangan suka nitip apa pun sama Ibu, ya, Dek. Lebih baik kamu saja sendiri yang beli. Bila perlu, justru kamulah yang bantuin Ibu belanja."
"Aku, 'kan, cuma nitip, Mas. Bukan nyuruh ibu kamu!" balasku sengit.
Mas Tedi terlihat tersenyum. "Iya, tapi apa bedanya dengan nyuruh? Lagipula, Ibuku itu, 'kan, sudah tua. Enggak baik nenteng yang berat-berat. Kasihan."
"Ya, sudah. Besok-besok, kamu saja sendiri yang belanja dan masak. Jangan ngandelin aku."
"Lho, maksudku bukan begitu, Dek. Kita ini, 'kan, sudah menikah. Gak boleh selalu bergantung pada orang tua. Apalagi urusan rumah tangga. Pamali."
"Ya, begini ini, nih, yang paling aku gak suka kalo lama-lama serumah sama mertua. Semuanya serba salah. Kapan benernya aku, Mas?" Aku mulai emosi.
"Lho, gak ada yang nyalahin kamu, kok, Dek. Aku cuma ngasih saran saja, kok." Suara Mas Tedi masih terdengar lembut.
"Saran apaan? Mas selalu membanding-bandingkan masakanku dengan ibu kamu. Seolah-olah masakanku gak pernah enak. Aku juga butuh waktu buat belajar, Mas! Dipikirnya gampang apa masak? Kalo cuma ngomong doang, sih, semua orang juga bisa!"
"Ya, sudah. Nanti kita sama-sama saja masaknya, ya. Aku sama kamu. Sekalian belajar bareng-bareng juga sama Ibu. Gimana?"
Aku tak mau menjawab. Dalam benak ini terbayang bagaimana nanti mulut perempuan tua itu akan terus bersuara menyalahkan apa yang kulakukan. 'Huh, dia pikir cuma masakannya yang enak? Masakan ibu gue juga gak kalah enak! Sombong amat, sih, baru bisa segitu juga!'
Semakin lama, makin tak betah hidup bersama mereka. Selalu saja ada obrolan yang tidak diharapkan. Harus inilah, itulah. Benar-benar tak bisa merasakan kebebasan sebagaimana pengalaman rumah tangga teman-temanku di luar sana. Bisa pergi arisan sesuka hati, ke salon, shoping, jalan-jalan, hingga makan-makan bareng teman reunian. Aku merasa terkungkung selama berada di rumah.
"Nak, jemuran jangan dibiarkan lama di luar. Kalo sudah kering sebaiknya cepet diangkat. Biar gak lekas lusuh, lho." Suara perempuan tua itu kembali terdengar, saat baru saja aku terpejam di dalam kamar siang itu. Bahkan pada hari-hari tertentu, selalu saja tak bosan-bosannya mengajakku ke luar rumah di pagi hari. "Nak, ikut Ibu ke majelis taklim, yuk. Daripada diam di rumah terus."
Benar-benar menyebalkan!
Jujur saja, aku tak mau ikut Ibu Mertua ke pengajian karena di sana kebanyakan jemaahnya ibu-ibu tua. Gengsi sekali jika setiap waktu bergaul dengan mereka. Bisa-bisa aku akan cepat tua dan keriput. Apa kata teman-temanku nanti kalau bertemu di jalan. "Eh, sejak kapan elu jadi emak-emak?" Pasti begitu ucapan mereka. Duh, memalukan!
Satu-satunya jalan agar semua kembali berjalan normal adalah aku harus kembali ke rumah. Tinggal bersama ibuku sendiri. Makan tinggal makan, tanpa harus bersusah payah belanja dan memasak. Mencuci pun cukup memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci dan dijemur. Kalau sudah kering, hanya tinggal memakainya tanpa perlu repot-repot menyetrika. Karena semuanya sudah dikerjakan oleh ibuku. Sementara tinggal bersama mertua, semuanya harus dikerjakan sendiri.
"Kamu ke sini tanpa seizin suamimu?" tanya Bapak begitu aku tiba di rumah. "Iya, Pak. Aku ingin pindah ke sini. Di sana gak betah," jawabku sambil duduk di sofa dan menyalakan televisi.
Mata Bapak mendadak membulat besar. Serunya, "Pulang! Kembali lagi sekarang juga ke rumah mertua dan suamimu!"
"Lho, Pak ...."
"Pulang sana!"
"Ini, 'kan, rumahku juga, Pak!"
Mendadak Ibu muncul dari dalam. Lalu ikut berbicara, "Sekarang hidup kamu adalah tanggung jawab suami kamu, Nak. Kami akan turut berdosa jika membiarkan kamu pergi tanpa izin suamimu. Pulanglah sekarang juga."
"Bu!"
"Pulang sana! Kamu boleh datang kapan pun jika disertai suami kamu."
"Bu!"
Bapak dan Ibu menarikku ke luar. Kemudian menutup pintu rumah rapat-rapat.
"Bapak! Ibu! Aku ingin kembali tinggal di sini sama Bapak dan Ibu!" teriakku memohon.
Tak ada jawaban. Pintu terkunci kuat.
"Pak! Bu!"
Tetap tak ada suara balasan. Itu memaksaku harus kembali ke rumah Ibu Mertua dan menjalani kehidupan yang sudah-sudah.
Membosankan!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Ai Emy Ningrum
lha gini doank cerita nya 😂😂😂😂
2023-06-02
3