“Sudah ... terima saja semuanya. Jangan jadi wanita egois. Kamu masih bisa jadi istri seorang Farhan aja alhamdulillah. Karena dia nggak akan mengurangi apapun. Kamu akan tetap dapat yang terbaik.”
Tidak, bukan ini maksud dari Maudy. Rasanya ia mau berkeluh kesah pun nggak akan ada tempat yang bisa menampungnya. Ia hanya bisa meratapi semuanya sendiri, tanpa terkecuali.
“Bun ... sebenarnya apa sih alesan bunda lakuin ini semua? Kenapa bunda jahat banget sama aku. Kenapa bunda nggak pernah mikirin hati dan perasaan aku sama sekali? Pastinya di sini bunda paham kan, gimana sakitnya melihat suami sendiri nikah sama adik kandungnya sendiri.”
“Bunda nggak jahat, bunda hanya nggak mau melihat adik kamu sedih.”
Dengan mengorbankan perasaan dirinya?
“Maudy ... kamu mau marah juga nggak buat semua ini berubah kan? Menurut bunda, kamu cuma harus sabar aja kok. Mungkin untuk sekarang masih sulit. Tapi nggak kok untuk ke depannya. Setelah kamu nerima semua ini, bunda yakin kalau kamu pasti bisa lewatin semua ini dengan baik. Asal kamunya sendiri yang enggak terus mengungkit masalah ini. Karena, semakin kamu mengungkitnya. Mereka bakalan terus ungkit balik dan hubungan kalian akan buruk. Bunda nggak mau kalau punya anak yang terus ribut.”
Maudy memalingkan wajahnya dan menghela napas dalam.
Bahkan alasan Maudy selama ini bertengkar sama Nadya juga karena sang bunda yang gak pernah adil. Tapi apa sekarang?
Bisa-bisanya bunda Salma mengatakan hal kayak gini.
“Bun ... nggak bisa. Aku beneran nggak bisa. Ngebayangin dua orang yang selama ini deket sama aku terus khianatin aku tuh bener-bener sakit banget.”
Maudy mencengkram ujung bajunya.
“Kalau saja aku punya hati yang lapang, aku juga bakalan nggak kuat kalau kagak gini. Gak ada orang yang bisa menerima suaminya sendiri nikah sana adiknya. Dan Nadya ini adik kembar aku.”
Maudy menutup wajahnya. Tubuh perempuan itu kembali bergetar.
Entah sudah berapa kali dia menangis. Matanya sudah lelah. Tapi hatinya masih terlalu sakit.
“Nadya ... aku sama Nadya selalu aja bareng-bareng. Bahkan kita ada di perut yang sama. Dari kecil aku sayang banget sama dia. Tapi ya bukan gini. Aku juga punya prioritas kebahagiaan aku dan aku nggak bisa kasih gitu aja ke adik aku. Aku tau ... aku tau banget kalau di sini mungkin bunda bakalan bilang aku ini egois atau aku yang nggak tahu diri.”
“Itu kamu tau!”
Maudy spontan memalingkan wajahnya dan narik napas.
“Tapi, selama ini Nadya udah punya banyak kebahagiaan. Aku nggak mau mengungkitnya, tapi memang bener kan kalau Nadya jauh lebih punya semuanya. Dia selalu dimanjain sama bunda, dia selalu dituruti ini itu, dia yang selalu dikedepanin sama bubda. Tapi aku?”
“Ck ... berisik kamu.”
“Mungkin bagi bunda biasa aja, tapi enggak bun bagi aku. Aku capek ngalamin ini semua. Aku tuh benar-benar dalam definisi yang muak. Aku nggak tahu lagi harus melakukan apa selain nangis.”
Bunda Salma berdiri. Ia menepuk kepala anak pertamanya.
“Nggak usah di pikirin, mendingan kamu mulai mikir gimana ke depannya. Membagi waktu yang baik sama adik kamu. Jadi, kamu nggak akan merasa tersakiti lagi. Pokoknya ya terserah kamu aja gimananya."
"Mana bisa begitu .."
***
Protesnya sama sekali nggak diizinkan. Maudy memilih untuk pulang dengan motornya. Di sana ia masuk ke dalam kamar dan duduk membuka barang yang dulu ia miliki.
Ia tersenyum tipis, mengeluarkan barang kecil miliknya yang nggak pernah ia lupakan sama sekali.
“Semuanya ada dua dan selalu aja begitu. Milik aku dan Nadya. Walau bunda selalu buat akun sama Nadya berantem terus. Tapi namanya anak kembar kita selalu aja bareng. Kita terus main bareng dan nangis kalau nggak punya barang yang sama. Entah aku yang mengamuk atau Nadya yang marah kalau nggak di beliin barang yang sama.”
Maudy memeluk scraft kembar miliknya. Ia memeluk barang kesayangannya itu dan kembali menangis.
“Tapi di antara semua barang yang sama, apa perlu suami juga punya yang sama? Aku nggak paham sama apa yang di pikirin sama Nadya tentang hal ini. Kenapa mereka bisa kenal sejauh itu? Atau kenapa mereka yang nggak pernah mikirin perasaan aku.”
Lagi terus menangis,
Suara mobil yang sangat dikenal Maudy mulai terdengar. Ia menaruh semua barang kembali ke tempatnya dan bergegas keluar. Tapi langkah Maudy terhenti saat di belakang tubuh Farhan ada Nadya yang mengikutinya. Masih dengan mengenakan kebaya yang sama.
Tubuh Maudy seakan kaki. Ia hanya menatap dari atas sampai bawah dan berakhir menghela napas dalam.
“Mas ...”
“Nggak usah protes ya Maudy, sekarang mas sama adik kamu itu suami istri. Udah seharusnya kita tinggal bareng dan mas nggak akan pernah bisa ngebiarin dia gitu aja cuma karena keegoisan kamu doang.”
“Tapi kan ini rumah atas nama aku!” bentak Maudy dengan kencang.
Napas Maudy memburu.
“Iya ... tapi kan rumah ini mas yang beli. Mas cuma taruh nama kamu sebagai jaminan aja dan sekarang mas punya dua istri. Yang berarti Nadya juga tinggal di sini. Jadi, kamu nggak usah egois dulu ya untuk kali ini. Mas bener-bener sangat mohon sama kamu. Sekarang Nadya juga istri mas. Jadi, kamu sambut dia dengan baik ya.”
Sebelah alis Maudy terangkat dan ia terkekeh.
“Menyambut—
Maudy memandang Nadya dari atas sampai bawah. Lalu mengangkat kedua lengannya. Ia tersenyum lebar di tengah air matanya yang terus turun.
“Halo adik kembarku sayang, selamat ya jadi karena udah jadi istri kedua suami aku. Selain punya barang yang sama, ternyata kita punya suami yang sama juga,” papar Maudy dengan riang di tengah tangisnya.
“KAYAK GITU, MAS? Kayak gitu yang kamu maksud? Puas kamu ... puas kamu udah buat hubungan aku sama adik aku rusak.”
Maudy memukuli tubuh Farhan, Laki-laki itu tau dirinya salah dan memilih untuk diam. Ia biarin dada bidangnya di pukulin Maudy.
“Kamu jahat mas, kamu nggak cuma melukai aku. Tapi kamu juga melukai hubungan aku sama adik aku. Seakan aku ini nggak ada apa-apa nya di mata kamu.”
Maudy terdiam, tangannya semakin terkepal dan dia beralih menatap Nadya.
Tatapan penuh luka itu benar-benar terlihat.
“Dek ... selama ini kakak udah ngorbanin semuanya. Selalu kamu dan memang kamu yang selalu jadi pemeran utamanya. Tapi walau pun gitu, kakak nggak pernah ngeluh. Kakak mau kamu dapat yang terbaik. Kakak nggak mau kamu sedih. Makanya kakak kasih semua, walau akhirnya kakak yang nangis sendirian karena nggak ada yang peduli sama kakak.”
Maudy terdiam dan menunduk.
“Tapi untuk sekarang? Kenapa kamu tega ... kakak selalu baik sama kamu. Tapi ini balasannya? Kenapa kamu nggak pernah mikir perasaan kakak sama sekali? Kenapa kamu nggak mikir hubungan kita selama ini?”
Maudy mencengkram lengan Nadya.
“Kenapa kamu ambil suami kakak!!!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments