Flashback
“Aku mau ini!”
Maudy kecil hanya mampu memeluk boneka pink kelincinya yang baru saja ayahnya kasih. Ia menggeleng kecil dan menunduk.
“Bunda ... kakaknya pelit. Masa aku minta boneka yang ayah kasih. Kakak nggak mau kasih!” pekik Nadya kecil membuat sang bunda langsung terpogoh-pogoh menghampiri mereka.
Maudy semakin memeluk erat bonekanya, karena tau sebentar lagi akan dirampas dan benar saja, bonekanya direnggut.
“Bunda ... aku udah kasih adek semuanya. Aku izinin adek buat pakai semua mainan aku, baju yang aku punya, bahkan aku udah izinin adek buat pakai tabungan aku. Tapi jangan yang ini. Ayah kasih aku mainan yang ini dan ayah juga udah kasih boneka ke adek kok. Jadi nggak usah ambil punya aku!”
“TAPI AKU NGGAK MAU BONEKA BERUANG! Aku mau yang punya kakak,” pekik Nadya sambil menyilangkan tangan di dada. “Bunda ... aku maunya boneka yang itu. Nggak mau yang beruang.”
Maudy menunduk.
“Kamu kan tau sendiri kakak suka kelinci, kamu kan yang suka beruang? Ayah udah kasih apa yang kamu mau. Kenapa kamu minta boneka punya kakak juga?”
“Kakak ...,” sela sang bunda
“Bunda?” balas Maudy sambil menggeleng. “Jangan ya. Jangan boneka yang satu ini. Aku benar-benar minta ampun sama bunda. Bunda boleh kasih semua barang yang aku punya tapi jangan boneka aku.”
“Kamu pelit banget sih jadi anak!” marah bunda Salma merampas boneka kelinci gitu aja dan memberinya ke Nadya.
Nadya kecil memekik riang.
Wajah merengut nya labgsung berubah jadi penuh bahagia. “Makasih bunda! Memang cuma bunda doang yang sayang sama aku. Aku senang!”
Dan pada akhirnya mata Maudy cuma bisa melihat bonekanya di bawa sang adik, menjauhi dirinya.
“Bunda ...”
“Jangan nangis! Berisik tahu. Udah, tugas kamu jadi seorang kakak tuh cuma nurut dan kasih kebahagiaan buat adik kamu. Bunda nggak mau lagi denger kamu yang nggak bisa ngalah.”
Pada akhirnya anak kecil itu menangis. Masa kecilnya selalu aja seperti ini.
Beranjak dewasa, Maudy mulai paham kalau semuanya berbeda. Seakan Nadya punya dua orang tuanya dan ia hanya punya sang ayah yang peduli sama dirinya.
Sakit rasanya melihat bagaimana adik kembar nya sendiri yang di treatment seperti ratu dan dirinya yang seperti orang asing. Bahkan Maudy merasa kalau dirinya bukan bagian dari mereka, sangking asingnya. Sayang wajah mereka begitu mirip membuat Maudy membuang jauh pikiran kalau mereka membawa dirinya dari panti asuhan.
***
“BUNDA NGGAK SAYANG SAMA AKU!”
Saat itu umur Maudy sekitar tujuh belas tahun? Iyaps, masa di mana ia harus memilih tempat kuliah untuk melanjutkan masa sekolahnya dan ini yang menjadi batas dirinya.
“Nak ... bukannya bunda nggak sayang sama kamu. Tapi biaya tempat kuliah yang kamu maksud tuh nggak murah. Apa lagi swasta kan? Jadi bunda rasa kamu bisa pilih tempat kuliah yang lain ya. Bunda mohon ...”
Maudy hanya mampu menatap Nadya yang mengamuk, bunda nya yang berusaha untuk memenangkan sang adik, dan ayahnya yang cuma memijat kepala. Karena pada saat itu usaha mereka mulai menurun dan biaya yang masuk sangat kecil. Membuat keluarga mereka harus irit.
Dan, Maudy hanya mampu mengumpulkan brosur kuliah yang baru saja mau ia bicarakan sama orang tuanya. Mengurungkan niat untuk membicarakan masalah ini.
“Bunda ... aku tuh udah kasih tahu temen aku buat masuk ke tempat kuliah ini dan semua temen aku juga pada kuliah di sini. Aku malu bun kalau aku nggak jadi kuliah di sini. Apa lagi karena alesan nggak ada biaya.”
Nadya menyukai rambutnya dan menggeleng.
“Pokoknya aku nggak mau tahu, aku harus kuliah di sana! Dan besok bunda sama ayah harus daftarin aku. Karena kalau enggak, aku beneran bakalan marah dan pergi dari sini! Karena nggak ada yang sayang sama aku.”
Nadya pergi meninggalkan mereka, menyisakan seruan dan panggilan dari bunda Salma yang nggak di dengarkan sama sekali.
Malamnya,
Maudy dibuat bingung saat bunda Salma dan ayah Bima yang masuk ke kamarnya. Mereka sangat serius dan meminta Maudy untuk dengerin apa perkataan mereka.
“Bunda di sini memutuskan untuk kuliahin adik kamu dan mungkin tadi siang kamu udah denger sendiri kan? Jadi, bunda harap kamu sebagai yang tertua sadar apa yang lagi di hadapi sama adik kamu. Gimana? Kamu bisa kan dan nggak bakalan mengeluh sama sekali.”
Maudy terdiam.
“Maksudnya?”
“Ck ... iya kamu harusnya sadar kalau biaya kuliah adik kamu tuh nggak sedikit. Jadi bunda harap kamu nggak pusingin kamu dengan kuliah kamu juga. Kamu bisa kerja dulu. Kamu bisa kan ngertiin kami?”
Pecah tangis Maudy malam itu. Dengan gemetar dia mengeluarkan brosur yang ia punya dan menunjukkannya ke orang tuanya.
“Kamu dapat beasiswa?” tanya ayah Bima yang langsung di angguki Maudy.
Maudy mengangguk cepat.
“Sekolah kasih aku beasiswa ini dengan harapan aku bisa lanjut yah. Walaupun nggak sampai seratus persen, tapi aku dapet beasiswa. Kalau aku nggak kuliah, sayang banget yah. Masa aku sia-siain impian ini dan nggak semua orang bisa sembarangan dapat beasiswa ini.”
Maudy menunduk.
“Aku mohon ... jangan larang aku buat kuliah. Aku janji nggak bakalan buat bunda sama ayah pusing karena biaya, karena aku bakalan tetep bantuin. Tapi aku nggak bisa janji karena aku juga nggak tahu apa yang terjadi ke depannya. Tapi ... jangan larang aku buat kuliah.”
“Bun,” panggil ayah Bima
“Tidak-tidak ... kamu yang ambil beasiswa itu, tapi nanti malah kita yang mikirin biayanya. Udah nggak usah macem-macem lah jadi anak. Kamu tinggal nurut aja buat nggak kuliah dan kerja. Lagian bunda nyaranin kayak gini juga karena sayang sama kamu. Bunda nggak mau kalau kamu pusing mikirin pelajaran di kuliah atau nanti sakit karena tugas kuliah. Terus, kalau kamu kerja juga. Kamu bakalan punya uang kan? Jadi bunda rasa kamu kuliah aja.”
“Bun ...”
Maudy menatap kecewa.
“Aku dapet beasiswa loh, bun. Bukannya yang harus kuliah itu malahan aku? Bukannya Nadya. Kenapa nggak dia aja yang kuliah tahun depan? Kenapa harus aku lagi ...”
“Ck, berisik banget kamu jadi anak. Udah bunda biayain hidup kamu selama ini, tapi ternyata ini ya balesannya? Nggak bisa ... bunda beneran nggak bisa deh. Kamu cuma bisa ngeluh doang. Udah lah ... jangan banyak mau. Kamu cukup kerja dan cuma itu yang bisa bantu kami.”
Maudy menatap ayah Bima, berharap bisa membantu tapi ayah Bima juga nggak bisa apa-apa tanpa sang istri.
Dan pada akhirnya, ia kembali mengalah.
Hidupnya selalu begini. Dari kecil, masa remaja dan saat dewasa juga masih sama. Ini menjadi luka terdalam bagi Maudy. Tapi kini ada alasan lain yang buat Maudy benar-benar kecewa sama bundanya.
Saat bundanya mengizinkan suaminya sendiri menikah sama adik kembarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments