Maudy bertekad untuk kasih tahu sang bunda tentang masalah ini. Maudy tau kalau selama ini bunda nya selalu aja lebih bela Nadya. Tapi siapa tahu kan bunda nya lebih membela keadilan? Dan bunda nya bakalan jauh lebih marah sama tingkah Nadya yang memalukan?
Maudy mengangguk yakin.
“Ya .... walaupun selama ini bunda nggak pernah peduli sama aku. Tapi seenggaknya aku harus berpositif thinking kan?”
Maudy menarik napas dalam dan bergegas pakai tas lalu keluar rumah. Ia tidak melihat sama sekali keberadaan dua orang itu. Dua orang yang udah kasih dia luka.
“Ah ... rasanya sakit banget ya.”
Dan pada akhirnya Maudy hanya bisa berusaha tersenyum tipis dan kemudian naik motornya. Ia mengendarai menuju makan ayahnya. Maudy masih butuh tempat untuk cerita dan salah satu orang yang ada di pikirannya hanya ayahnya ini.
Setengah jam kemudian, motornya terparkir di halaman Tempat Pemakaman Umum. Tak lupa ia membeli bunga dan langsung beranjak menuju makam ayahnya.
“Ayah?” gumam Maudy.
Langkahnya terhenti saat melihat makam ayahnya itu. Sampai saat ini hatinya masih menolak untuk menerima. Ia benar-benar nggak bisa menahan diri untuk semuanya. Dia muak. Dia kalut. Ayahnya. Salah satu orang yang paling dekat dengan dirinya kini udah pergi meninggalkan dirinya.
Sampai ... dia cuma sendirian di dunia ini.
Maudy berlutut di gundukan tanah itu. Ia mengusap nisannya itu dan tangisnya kembali pecah.
“Ayah ... aku butuh ayah di dunia ini. Aku nggak bisa hidup tanpa ayah. Aku nggak kuat. Semua orang jahat sama aku.”
Maudy menangis sejadi-jadinya di makam sang ayah.
“Selama ini aku cuma punya ayah. Karena bunda selalu aja bela Nadya. Bunda lebih sayang sama Nadya. Tapi aku? Aku cuma kayak anak tiri yang nggak pantas dapat kasih sayang sama sekali.”
Maudy terisak.
Ia berusaha menenangkan diri. Tapi semakin berusaha lupa. Bayangan suaminya yang bilang mau menikahi Nadya terus hinggap di benaknya. Ia menggeleng kecil, nggak sanggup sama sekali.
“Selama ini bayangan aku cerai aja tuh nggak pernah ada. Karena mas Farhan jadi salah satu orang yang udah buat aku jatuh cinta dan usaha nya nggak usah diraguin lagi. Tapi apa ini? Kenapa pada akhirnya bakalan begini? Kenapa mereka nggak pernah mikirin perasaan aku.”
“Aku nggak kuat yah ...”
Andai ayahnya masih di sini, andai ayahnya masih ada di depan dia, andai ayahnya masih terus mendengar dirinya. Pasti sekarang Maudy akan jauh lebih kuat dan memilih untuk pergi. Pergi berdua sama ayahnya aja.
Maudy mendongak, menatap cerahnya langit.
“Kenapa ya ... kenapa dari kecil aku selalu aja alamin ini semua? Kenapa cuma kesedihan yang datang ke hidup aku? Kenapa nggak ada orang yang bisa membuat aku lebih bahagia. Sebentar aja ...”
Maudy kembali memeluk nisan sang ayah.
“Ayah ... bawa aku pergi.”
***
Maudy memasuki komplek perumahan orang tuanya. Semakin dekat. Semakin perasaannya nggak enak. Ia menelan saliva dan semua prasangka nggak enak itu kembali terbayar saat melihat mobil Farhan ada di parkiran rumahnya.
Dengan kalut, Maudy langsung menaruh asal motornya dan masuk ke dalam rumah.
/Sah .../
“MAS FARHAN!”
Nafas Maudy memburu. Ia menggeleng kuat.
“Keluar, keluar kalian semua. Nggak ada yang nikah. Pergi kalian!” pekik Maudy membuat semua orang di dalam rumahnya pergi.
Siapa yang nggak kaget saat masuk ke dalam rumah dan malah melihat suaminya sendiri sedang ijab jabuk sama seorang ustadz dan jangan lupakan beberapa orang yang baru saja mengucapkan kata ‘sah' secara serempak.
“Apa-apaan ini!” ngamuk Maudy
Amukan Maudy membuat semua orang yang ada di sana saling berbisik dan berakhir pergi gitu aja. Disusul sorakan. Termasuk ustadz yang tadi bersalaman sama Farhan.
“Kakak! Apa-apaan sih ... nggak suka banget liat adiknya bahagia,” marah sang bunda membuat Maudy tertawa lirih dan menggeleng.
“Bunda ... woah?” Maudy meraup wajahnya dan berakhir menangis.
Semua kesakitan akhir-akhir ini ia keluarkan. Tak peduli mereka bakalan menganggap apa. Maudy Cuma butuh hatinya tenang.
“Bun ... sebenarnya aku salah apa sih sama bunda? Kenapa selalu aku aja yang terasingi? Kenapa selalu aku yang berakhir kayak gini? Kenapa selalu aku yang selalu sakit? Kenapa selalu aku yang nggak bunda pedulikan.”
Mereka diam.
Maudy maju dan berdiri di depan Nadya. Membuat adik kembarnya itu menunduk.
“Kenapa selalu Nadya? Kenapa bukan aku? Kenapa aku lagi yang tersakiti? Kenapa harus aku yang mengalah? Kenapa aku terus?”
Maudy nggak kuat. Tubuhnya luruh ke lantai. Ia menangis sejadi-jadinya.
“Kalian tuh kenapa sih?”
“Maudy ... dengerin dulu apa kata mas,” sela Farhan sambil berlutut di depannya. Farhan mengguncang tubuhnya tapi Maudy terlalu malas untuk mengucapkan sepatah kata pun.
Ia terlalu sakit.
“Bukannya kemarin mas udah bilang sama kamu, kalau mas bakalan nikah sama Nadya secepatnya? Dan menurut mas ini waktu yang paling tepat. Kamu cukup ngertiin kami ya. Jangan bertingkah kekanak-kanakan. Apa lagi tadi? Kamu beneran udah buat mas sama Nadya malu. Apa tanggapan orang yang datang kalau lihat kamu yang ngamuk kayak tadi.”
“Tahu,” lanjut Nadya dengan kesal. “Pernikahan itu sakral kak dan Cuma pertama sampai terakhir kalinya. Tapi apa ini? Kenapa kakak malah buat pernikahan aku hancur. Aku nggak mau tahu nanti kakak harus datangin tamu yang datang aja dan bilang kalau tadi kakak cuma salah paham aja. Aku nggak mau harga diri aku jadi terinjak-injak karena mereka tau hal ini.”
Maudy terdiam.
Apa lagi sekarang? Kenapa jadi dirinya yang salah di mata mereka? Kenapa dirinya yang salah atas semua ini?
Maudy menoleh, meminta pembelaan dari bunda Salma yang balik menatap dia heran.
“Kenapa jadi lihatin bunda? Nggak denger apa yang di bilang sama adik kamu dan nak Farhan? Lagian kamu jadi anak tuh nggak punya otak banget. Udah tahu ini pernikahan adik kamu tapi kamu masih aja hancurin. Apa selama ini kamu nggak pernah di didik? Kayak perempuan kampung aja kamu.”
Maudy terdiam.
Sakit sekali rasanya. Benar-benar sesakit itu dan dirinya nggak tahu lagi harus apa.
“Kalian semua belajar kesalahan ini?”
Ia menunduk dan menggeleng pelan.
“Mas Farhan ini suami aku dan apa aku salah kalau marah karena lihat suami sendiri nikah sama adik kandung aku sendiri? Apa aku nggak berhak marah karena semua kesakitan ini?”
“Maudy—
“Apa kalian nggak mikirin hati aku sama sekali? Apa kalian nggak mikir gimana perasaan aku selama ini? Apa kalian nggak punya hati sama sekali?”
Mereka semua diam sampai Nadya berdeham dan berdiri di hadapan Maudy.
“Aku tahu, tapi kakak juga harus tau kalau sekarang kita punya suami yang sama. Jadi, jangan menutup fakta yang satu ini ya kak ...”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments