..."Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan."...
...QS. Al-Insyirah: 6 ...
Semua orang menatap Amar dengan tatapan intimidasi. Huhf! Atmosfer terasa semakin sempit, oksigen kini kian menghilang. Suasana di ruangan itu terasa panas padahal kipas angin sudah menyala.
Amar menyadari akan kesalahan yang diperbuat. Keluar tanpa izin adalah kesalahan besar baginya. Berharap dapat menghirup udara bebas. Kini Amar dalam masalah, pria itu sama saja seperti membangunkan singa betina dari tidurnya. Berharap jauh dari terkamannya, ia malah menantang kematian.
"Abah, Amar minta maaf. Amar--"
"Tidak bisakah kamu berbaring dengan tenang tidak keluyuran? Apakah kamu tahu betapa cemasnya Abah dan Umma melihat bahwa kamu sudah tidak ada di atas tempat tidur?" Gus Idrus tidak dapat menahan amarahnya. Amar memilih menunduk dalam. Sedangkan Laila, gadis itu beberapa kali tersentak ketika Gus Idrus meninggikan suaranya. Ia meremas erat gamisnya. Ya Rabb, jika seperti ini jadinya ia tidak akan pernah membawa Amar keluar jalan-jalan.
"Sudah, Idrus. Kasihan adik kamu baru saja sembuh." Wanita paruh baya itu mencoba menenangkan Gus Idrus. Seperti api yang disiram minyak, emosinya terlanjur memuncak. Bukannya ia tak sayang kepada adik semata wayangnya. Gus Idrus khawatir terjadi hal yang tak diinginkan, mengingat bahwa Amar belum sepenuhnya pulih.
"Dan gadis ini? Siapa dia? Apakah kamu sudah lupa jika kamu telah dijodohkan dengan Fathia?"
Telunjuknya menunjuk tepat ke arah wajah Laila. Badannya gemetar, lututnya terasa lemas. Bibirnya mendadak kelu, sebisa mungkin ia menahan agar suara isak pilu itu tak sampai keluar. Walau ia tahu bahwa itu sulit. Ilahi, tenggorokannya kini terasa sakit. Sepertinya ia tak sanggup lagi menahan isak pilu itu.
"Dia tidak salah apa-apa, Mas. Laila tadi hanya menolong Amar." Mas Idrus bertepuk tangan pelan. Khalid heran, sebenarnya apa yang membuat Gus Idrus begitu marah kepada sang adik. Sejauh ini, ia tak pernah melihat Gus Idrus semarah ini kepada Amar.
"Apakah kamu tahu, Abah rela tidak memeriksakan kesehatannya itu semua gara-gara kamu." Suaranya tercekat. Sedangkan cairan bening Amar tak bisa dibendung lagi. Karenanya? Hei, ketahuilah bahwa ia tak pernah meminta kepada Sang Pencipta tentang penyakit ini.
Amar hanya diam mendengarkan cacian Gus Idrus, kedua telapak tangannya meremas selimut yang menyelimuti nya. Bukan tak ingin menjawab semua cacian kakaknya. Namun, apa yang dikatakan Gus Idrus ada benarnya juga.
"Gara-gara kamu Abah jadi sering jatuh--"
"Iya." Suara itu membuat Abah Abdurrahman tersentak. Tidak. Lebih tepatnya semua orang terperanjat.
"Iya, Amar tahu. Semua ini salah Amar. Di sini Amar hanya berperan sebagai benalu." Tangis itu pecah. Ia tak menghiraukan jika kondisinya kembali memburuk. Namun, perkataan kakaknya membuat Amar sakit hati.
"Amar tidak pernah meminta sakit ini. Amar capek harus minum obat terus." Ujung kalimatnya sedikit ditekan dengan nada tinggi.
"Amar juga malu sama Abah, beliau sampai memohon kepada Kyai Hasan, Ayahnya Fathia agar beliau menerima perjodohan ini." Abah Abdurrahman mendongak. Dari mana putranya itu tahu? Beliau membulatkan mata dan mencoba untuk memberikan penjelasan kepada Amar. Namun, ketika kalimat itu akan keluar, Amar memangkasnya dengan sempurna. Seperti tak ingin memberikan kesempatan abahnya untuk menjelaskan hal yang sebenarnya.
"Amar tahu semuanya Abah ... Amar tahu." Abah Abdurrahman berusaha untuk berdiri. Dengan sigap, Khalid dan Gus Idrus membantu abah berdiri dengan sikap sempurna dan memeluk putra bungsunya. Tangis Abah Abdurrahman pecah, begitu dalam dan sesenggukan. Amar tidak kunjung bergeming, pria itu tidak mengerjap sama sekali hingga cairan bening itu memenuhi pelupuk matanya.
"Amar tidak mau terus-menerus menjadi beban untuk Abah. Lebih baik Amar mati saja Abah." Suara Amar semakin lama semakin melemah, serak. Pria paruh baya itu menggelengkan kepala dengan kuat. Setiap kosa kata yang tersimpan rapi dalam otaknya seperti hilang. Tak kuasa untuk berucap sepatah kata.
Gadis itu? Bagaimana dengannya? Laila memilih untuk menjauh. Tak disangka jika keputusannya mengajak Amar keluar dengan kursi roda dapat menimbulkan pertengkaran besar. Ya Rabb, ampuni Laila. Ia tahu jika perbuatannya salah besar. Ia tak tahu jika semuanya akan jadi seperti ini.
Tanpa sepengetahuan abah dan umma, Laila keluar dengan menatap dalam wajah pucat Amar. Ya Rabb, mungkin ini adalah pertama dan terakhir kalinya hamba bertemu dengan Amar. Mungkin, Laila tak akan pernah melihat senyuman itu kembali.
Namun, hari ini, esok dan seterusnya. Wajah pria itu akan terpatri dalam pikiran Laila. Rasa bersalah yang mendiami hatinya akan terus mengingatkannya pada Amar. Sampai waktunya tiba, rasa benci itu akan berubah menjadi benih cinta. Cinta yang tak tahu dari mana asalnya. Begitu pula dengan Gus Idrus.
Maafkan saya Mas. Siapapun namamu, semoga kelak kita bertemu dalam keadaan yang lebih baik. Jika saatnya tiba, saya akan meminta maaf kepada kamu dan orang tuamu.
***
Aroma embun pagi begitu terasa. Menemani mereka pada panjangnya proses jalan kehidupan. Sang fajar nampaknya malu-malu untuk menampakkan kemilaunya. Begitu pula dengan cakrawala, sepertinya tak sabar menanti indahnya jingga berbaur dengan kemerahan.
Satu bulan sudah setelah Amar keluar dari rumah sakit. Setiap hari, setiap menit dan setiap detiknya Amar selalu menunggu kepastian akan perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Di atas kursi roda, pria itu menghela napas dengan secangkir teh pahit di tangan kanannya.
Pria itu termenung. Lewat kaca jendela rumahnya, ia bisa melihat pohon-pohon yang tampak serupa menjuntai tinggi hingga menyentuh langit. Selama pemulihan, Amar tak melakukan kegiatan apapun. Terkadang jika ada waktu senggang, Khalid menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah sahabat karibnya itu. Segudang cerita di asrama Khalid ceritakan dengan sejuta tingkah konyol yang selalu membuat Amar tertawa. Ah, ia jadi teringat kepada Laila.
Ya, gadis itu. Sekarang ia ada di mana? Bagaimana kabarnya? Entah mengapa, ia teringat pada tingkah lucu Laila. Jika membayangkannya, hal tersebut selalu membuat Amar menyunggingkan bibir manisnya. Gadis ceroboh yang tidak sengaja ia temui di rumah sakit.
"Saya tidak ingin putri saya menikah dengan pria yang penyakitan. Belum genap sebulan palingan sudah ditinggal mati." Samar-samar dari ruang tamu terdengar kegaduhan. Namun, itu bukan suara Abah Abdurrahman pun bukan suara Gus Idrus. Lantas, suara siapa?
Amar menggerakkan kursi rodanya dan menajamkan pendengarannya. Memang terlihat lancang karena menguping pembicaraan antara kedua orang tuanya dan tamu yang berkunjung ke rumahnya tanpa izin. Amar tahu bahwa menguping itu tidak baik. Namun, ia penasaran. Tidak mungkin juga jika ia keluar dan mendengarkan secara langsung bukan?
"Maksud Kyai Hasan?" Suara bariton itu adalah suara Abah Abdurrahman. Ya, suaranya tidak asing di telinga Amar.
"Putra Kyai, Amar yang penyakitan itu mau dijodohkan dengan putri saya? Awalnya saya menyetujuinya dan merasa iba tatkala Kyai bertekuk lutut kepada saya. Namun, saya tidak mau melihat putri saya menderita dengan mengurus suaminya yang penyakitan."
"Perjodohan ini bisa kita teruskan jika Gus Idrus yang akan menjadi calon suami putri saya." Telapak tangan Abah Abdurrahman mengepal. Umma Maryam berusaha meredakan amarah tersebut dengan mengelus punggung suaminya.
"Bah, istighfar. Jangan sampai emosi berhasil mengendalikan diri Abah."
"Maryam tidak mau melihat Abah jatuh sakit lagi, Maryam tidak mau Abah." Segala upaya dilakukan Umma Maryam agar emosi Abah Abdurrahman sedikit mereda. Namun, semuanya mental. Kini Abah Abdurrahman berada di ambang batas kesabaran.
"Abah, kita semua tidak mau melihat Abah sakit lagi. Ingat Amar, Abah. Dia pasti akan sangat sedih dan menyalahkan dirinya jika sampai Abah jatuh sakit." Perlahan amarah itu mulai mereda. Telapak tangannya mulai direnggangkan. Dalam hati Abah Abdurrahman tidak berhenti merapal istighfar. Meminta pada Sang Khaliq untuk diberikan kesabaran lebih.
Ya Rabb, jika memang Fathia bukanlah jodoh terbaik untuk Amar. In syaa Allah hamba ikhlas. Namun, bagaimana caranya menjelaskan kepada Amar tentang semua ini? Alasan mengapa Kyai Hasan membatalkan pernikahan ini.
Amar yang mengetahui semuanya hancur. Di balik tembok, Amar menangis. Pria itu tertegun, desiran perih menyayat hatinya. Sekali lagi, ia harus menerima kenyataan pahit itu. Gagal menikah karena penyakit yang diderita. Seperti sebilah pisau tajam menusuk relung hatinya. Kenyataannya Amar tidak bisa mengelak lagi. Mungkin yang dikatakan oleh ayah Fathia benar. Ia tak pantas untuk menikah dengan putrinya.
"Lebih baik perjodohan ini benar-benar dibatalkan." Dengan tegas dan suara yang lantang, Abah Abdurrahman melayangkan tatapan tajam kepada kedua orang yang duduk beberapa centi meter darinya.
Gus Idrus mendorong kursi roda yang diduduki abahnya masuk ke dalam tanpa mengucapkan sepatah kata. Namun, atensinya menangkap sesosok pria yang tengah terisak dengan membungkam mulutnya menggunakan kedua telapak tangan. Tangisannya terdengar begitu dalam, Abah Abdurrahman melihat putrinya tergugu. Rasanya menyesakkan. Salahkah jika Amar mulai menaruh hati kepada gadis yang dijodohkan dengannya?
"Amar ... Nak?"
"Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan." (QS. Al-Insyirah: 6)
Bersambung....
Pasuruan, 24 Januari 2023
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments