..."Sudahlah. Jangan risau perihal hidup. Sebab, sejatinya maut tinggal tertukar, rezeki telah tertakar dan jodoh tak akan tertukar. Semua beredar pada garisnya masing-masing."...
Satu minggu telah berlalu. Hari demi hari ia habiskan di ruangan dengan bau obat-obatan, tempat ia dirawat. Hari berlalu seperti ribuan detik, rasanya jarum jam berputar begitu cepat. Baru kemarin ia dipindahkan ke ruangan rawat inap biasa. Hanya terbaring lemah di atas tempat tidur membuat Amar bosan. Apalagi disaat semua orang tengah pergi ke musholla untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Hanya seorang diri, atensinya menatap ke seluruh penjuru ruangan. Tak ada yang menarik.
Dengan kondisi yang masih lemah, Amar bangkit dari tidurnya. Langkahnya tertatih-tatih. Pria itu mendorong infusnya keluar ruangan tanpa diketahui satu orang pun. Sesekali pria itu meringis kesakitan, telapak tangannya memegang dada yang terkadang sering sakit.
Tiba-tiba, kepalanya seperti berputar. Pusing. Kemudian, sesaat ketika ia akan tersungkur ke lantai, telapak tangan dengan kutek merah bata memegang lengan Amar secepat kilat.
"Innalillahi." Amar menoleh pada sumber suara. Betapa terkejutnya ia saat mengetahui yang menolongnya adalah gadis lugu berparas cantik. Manik mereka sempat beradu pandang satu sama lain. Detak itu? Oh Allah, apakah sakitnya kembali kambuh?
"Maaf, Mas." Sesaat gadis itu melepaskan tangannya dari lengan Amar seraya menundukkan kepala. Pria itu salah tingkah. Semenit kemudian, Amar memilih duduk pada kursi yang telah tersedia. Ia mencoba menetralkan napasnya. Setelah sekian lama, gelenyar aneh itu kembali terasa diiringi dengan degup aneh.
"Terima kasih sudah menolong saya." Gadis itu mendongak. Setelah itu ia mengangguk dengan sedikit keraguan.
Amar mencoba untuk memberanikan diri menatap wajah gadis itu. Namun, ia ingat bahwa dirinya telah dijodohkan dengan Fathia. Tidak baik jika ia berduaan dengan gadis yang tidak ia kenal. Apalagi jika ada yang mengenalnya dan melihat ia tengah bersama dengan yang bukan mahramnya. Bisa-bisa perjodohan itu gagal di tengah jalan. Ah, naudzubillah.
"Sepertinya Mas adalah pasien baru di sini. Mau kemana?" Ah tidak, Ilahi ... pertanyaan apa ini? Dari mana ia mendapatkan keberanian itu? Secepatnya ia merutuki diri. Menunduk dalam dan meremas jahitan pinggir gamisnya.
Melihat raut wajah lucu dari gadis itu, Amar terkekeh pelan. Seakan-akan rasa sakit yang ia derita tak lagi dirasakan.
"Kamu lucu. Sepertinya kamu bukan suster." Gadis itu menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Bingung mau menjawab apa, bahkan pria itu sepertinya senang melihat wajahnya yang memerah seperti kepiting rebus.
"Saya sebenarnya mau jalan-jalan, bosan di kamar--"
"Mau saya temani?" Gadis itu memangkasnya secepat kilat. Hanya hitungan detik saja, gadis misterius itu menyela dengan sekali tarikan napas.
Bukannya marah, Amar kembali tertawa. Berada di dekat gadis misterius itu seperti membawa aura positif bagi Amar. "Boleh, jika kamu bersedia."
Hanya dengan hitungan detik, senyum manis dari bibir merah muda gadis itu terbit. Lengkungan itu terlihat kentara hingga kedua matanya menyipit. Gadis itu berjalan di belakang Amar, sesekali menjaganya agar ia tidak terjatuh. Pria itu hanya menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum miring.
"Apakah kamu kuat berjalan? Jika tidak akan saya ambilan kursi roda." Aktivitasnya berhenti. Perlahan pria itu membalikkan badan seraya sedikit memiringkan kepala.
"Kenapa?" Dengan kedua alisnya yang sedikit terangkat, gadis itu bertanya keheranan. Memangnya ada yang salah dari pertanyaan yang gadis itu ajukan? Tidak bukan? Melihat keadaan Amar yang lemah, tidak salah jika gadis misterius itu menawarkan kursi roda kepadanya.
"Apakah kamu kuat mendorong saya? Sedangkan berat badanmu sepertinya tidak sampai empat puluh kilo." Gadis itu tertunduk lesu. Ah, mengapa ia harus bersedih sedangkan yang dikatakan oleh pria itu ada benarnya juga. Melihat raut wajah gadis itu yang berubah seketika, Amar langsung merasa bersalah. Ah, memang mulutnya ini tidak bisa dijaga. Wahai hamba Allah yang tak diketahui namanya, mohon maafkan perkataan pria itu.
"Apa perkataan saya menyakiti hatimu?" Gadis itu mendongak dan tersenyum, lalu kembali menggelengkan kepala. Astaga, mood gadis itu cepat sekali berubah. Apakah ia harus melihat kakinya? Ia takut jika gadis itu tidak menapakkan kaki, mengingat ia muncul secara tiba-tiba. Akan tetapi ... sudahlah.
"Baiklah, kalau begitu ambilkan saya kursi roda dan dorong saya untuk menyusuri lorong rumah sakit ini." Gadis itu kembali tersenyum. Ah, gadis itu murah senyum. Memang betul, setiap orang yang murah senyum memberikan aura positif kepada orang lain. Amar hanya bisa menyaksikan tingkah lucu gadis itu yang lari dengan langkah kecil.
Namun, rasa pusing itu kembali menyergap. Dadanya terasa sakit, disusul dengan napas yang sedikit sesak. Ya Allah, jangan sekarang. Amar masih ingin menghabiskan waktu berdua dengan gadis lugu misterius itu.
***
"Sebaiknya Abah istirahat di rumah, biar Idrus dan Khalid yang menjaga Amar di sini." Pria paruh baya itu menggeleng. Menolak titah dari sang putra sulung. Sama seperti Amar, karena bertambahnya usia kini Abah Abdurrahman sering jatuh sakit. Bahkan, berat badannya turun drastis ditambah lagi putra bungsunya yang sering keluar masuk rumah sakit.
"Abah tidak apa-apa, Nak." Berbeda dengan Amar. Kelemahan Gus Idrus adalah sang ayahanda. Apalagi jika telapak tangan itu sudah membelai puncak kepalanya. Lututnya terasa lemas, ia tak berdaya mengingat abahnya yang sudah tak sekuat dulu.
Kursi roda itu kembali didorong, jaket hitam dengan syal abu-abu melekat di tubuh Abah Abdurrahman. Tangan Umma Maryam tak terlepas sedikitpun dari tangan suaminya. Selangkah dari ruangan tempat Amar dirawat, Khalid sempat melihat bayangan sesosok pria yang tak asing baginya tengah duduk di atas kursi roda yang didorong oleh sesosok gadis.
"Amar." Lirih itu terdengar di daun telinga Gus Idrus.
"Apa Khalid?" Khalid hanya bisa melihat sekeliling. Jika ia menjelaskan siapa yang baru dilihatnya, Khalid takut atas apa yang barusan ia lihat hanya dianggap halusinasi oleh Gus Idrus. Alhasil, Khalid hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum.
Abah Abdurrahman memegang gagang pintu tempat putranya dirawat. Sesaat setelahnya, beliau tersentak mendapati bahwa putranya tak ada lagi di dalam kamar.
"Amar!" Mendengar abahnya yang sedikit berteriak, sontak Gus Idrus langsung memalingkan wajah ke sumber suara dan benar saja, adiknya sudah tidak ada di atas tempat tidur pun dengan infusnya.
"Idrus, adikmu." Suara wanita paruh baya itu terdengar panik. Mengingat bahwa kondisi Amar belumlah cukup pulih. Ia takut jika Amar akan pingsan tanpa ada satu orang yang mengetahuinya.
"Umma dan Abah tenang, Idrus akan mencari Amar. Idrus yakin jika Amar hanya berjalan-jalan tidak jauh di sekitar sini." Abah dan umma hanya mengangguk. Mereka hanya berdoa yang terbaik untuk putra bungsunya itu. Ya Rabb, lindungilah di mana pun Amar berada.
***
"Nama kamu siapa?" Gadis itu mengerjapkan mata, tangannya yang disilangkan di dadanya spontan ia letakkan tepat di atas bahu Amar.
"Ah, maaf. Sa--saya tidak sengaja."
Amar terkekeh dan semenit kemudian ia menghela napas berat. "Kamu belum menjawab pertanyaan saya."
Lama tak ada jawaban, Amar mendongak menatap wajah gadis itu, bola mata yang berwarna cokelat muda seperti menghipnotisnya. "Jawablah, aku bertanya kepadamu!"
"Ah, itu ... nama saya Laila." Gadis itu mengurangi volume suaranya. Dari penampilan Laila, sepertinya ia adalah gadis baik-baik. Lantas, mengapa ia berada di sini?
"Nama yang cantik." Laila menatap wajah Amar. Kornea matanya membulat sempurna tatkala mendengar pujian tersebut. Ya Allah, apakah Amar melihat raut wajahnya? Astaga, jika iya betapa malunya Laila. Berarti pria itu melihat wajahnya yang memerah seperti tomat rebus?
Laila membalikkan badan sembari menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tidak. Lebih tepatnya Laila ingin bersembunyi dari pria itu. Aneh sekali, kenapa ia sampai salah tingkah seperti ini? Tidak seperti biasanya.
"Amar." Suara bariton itu? Sepertinya Amar mengenalnya.
Amar menoleh ke sumber suara, ia menyipitkan mata untuk melihat sesosok pria yang jarak berdirinya cukup jauh. Begitu pula dengan Laila, gadis itu membuka telapak tangannya. Mencoba mencerna nama dari pria yang disebutkan beberapa detik lalu. Apakah pria yang ada di belakangnya bernama Amar?
Setelah beberapa menit merenung, Amar mengingatnya. Ya, pemilik suara itu adalah kakaknya, Gus Idrus.
"Mas Idrus." Amar membulatkan matanya. Gawat. Tamat sudah riwayatnya, pasti sebentar lagi akan ada tabligh akbar. Laila menoleh ke arah Amar, melihat raut wajahnya yang pucat pasi membuatnya berulang kali menatap ke arah Gus Idrus dan Amar.
Bersambung....
Pasuruan, 23 Januari 2023
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments