..."Jangan katakan kepada Allah aku punya masalah besar, tapi katakanlah kepada masalah aku punya Allah yang Maha Besar."...
...(Ali bin Abi Thalib r.a)...
Di ruangan sepetak yang cukup luas berwarna putih dengan pernak-pernik corak tulisan arab. Sajadah panjang berwarna merah terbentang menutupi keramik putih masjid tersebut. Lautan manusia berbaris rapi duduk menyila seraya mendengarkan tausiyah dari seorang pria paruh baya dengan sorban di bahunya. Wajahnya yang dipenuhi dengan keriput akibat dimakan usia tak mengurangi kewibawaannya dalam mensyiarkan dinul Islam.
"Para jama'ah yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, generasi muda zaman sekarang ini ... cerdas saja tidak cukup, tetapi juga harus memiliki iman yang tertancap dalam hati dan pikiran. Karena apa? Iman diibaratkan seperti akar pohon kelapa. Dari akar, maka keyakinan itu akan tumbuh seribu manfaat, tumbuhlah iman."
"Pada hakikatnya yang dialami generasi sekarang sangat dan sangat memprihatinkan. Degradasi moral, digadensi moral terjadi, karena apa? Karena agamanya tidak dibawa, agamanya tidak dipakai. Kenapa orang berbuat dosa? Karena iman dan agamanya tidak tertanam dengan baik di jiwanya."
"Begitu pula dengan generasi Islam. Dengan sebuah iman tumbuhlah beberapa khalifah sedermawan Abu Bakar As-Sidiq. Sekuat Umar bin Khattab, setangguh Ustsman bin Affan dan seshalih Ali bin Abi Thalib."
"Lalu bagaimana dengan perempuan, Kyai? Apakah Islam memandang bahwa perempuan itu lemah? Dengan iman tumbuhlah perempuan-perempuan sesetia Khadijah binti Khuwailid, secerdas Aisyah binti Abu bakar dan seshalihah Fatimah binti Muhammad."
"Tidak hanya berhenti di situ saja. Wanita bukanlah makhluk yang lemah. Buktinya jika di kalangan laki-laki ada Hamzah bin Abdul Muthalib yang dijuluki sebagai singa Allah, maka di kalangan perempuan ada Ummu Umarah yang mendapatkan julukan singa merah. Ada Khalid bin Walid yang mendapatkan julukan pedang Allah, perempuan juga memiliki pejuang tangguh yang dijuluki sebagai pedang Allah dan ada pula Nusaibah binti Ka'ab yang mendapat julukan perisai Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, beliau melindungi Rasulullah dan gugur membela Islam dalam perang Uhud."
"Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya. Yang kita ketahui bahwa iman adalah dipercaya dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan perbuatan."
Suara tegas pria paruh baya itu menyulut semangat. Sungguh, generasi muda Islam harus mempunyai yang namanya iman.
Mata Amar tak kunjung mengerjap, pria itu menghentikan bolpoinnya yang tengah asik menari di atas selembar kertas putih. Sedetik kemudian, ia menghela napas berat. Amar masih memikirkan kejadian petang tadi. Sampai sat ini ia diliputi rasa penasaran akan siapa gadis itu?
"Amar." Telapak tangan yang menepuk bahunya membuat Amar terperanjat sedikit terkejut. Amar menoleh, mencari sang empu yang telah menepuknya.
"Khalid, ada apa?" Kedua alis tebal itu ia naikkan bersamaan dengan seuntai pertanyaan yang Amar layangkan pada sahabatnya, Khalid.
"Kamu masih mau di sini? Kegiatan halaqohnya sudah selesai." Amar melihat ke sekitar. Ia melihat santri lain tengah memberesi seperangkat alat tulis mereka. Tak lupa Kyai Abdurrahman, abahnya telah turun dari mimbar khutbah dengan dituntun beberapa santri.
Astagfirullah, ia melamun sampai-sampai tidak tahu bahwa halaqohnya sudah usai. Ah, jika seperti ini terus lama-lama gadis itu bisa membuatnya gila.
"Ah, iya." Khalid memicingkan matanya. Menaruh pertanyaan akan gelagat aneh sahabatnya ini. Tidak seperti biasanya sangat antusias dengan halaqoh yang dipimpin abahnya.
Setelah membereskan beberapa buku dan seperangkat alat tulisnya, Amar beranjak dan berlalu pergi meninggalkan Khalid yang masih diam membatu dirundung kebingungan.
"Loh, kok ditinggal sih, Mar? Kan saya tadi nungguin kamu."Khalid merengek seraya menyusul langkah Amar yang cukup jauh. Oh Allah, pria itu cepat sekali jalannya.
"Amar." Napas Khalid tak beraturan, kini ia mensejajarkan posisi tubuhnya di samping Amar. Tak ada tanggapan dari pria dingin itu, atensinya fokus menatap objek yang ada di depannya. Sesekali ia tersenyum pada santri yang menyapa dirinya.
"Amar." Suara bariton itu? Dari kejauhan terdengar langkah kaki beradu menyerang jalan. Ditambah lagi beberapa santri yang menunduk seraya menyapa sesosok di belakangnya itu.
"Kyai." Amar melirik tingkah laku sahabatnya yang sama dengan santri lainnya.
Pria itu mengernyitkan dahinya. Setelah menyadari akan panggilan tersebut, Amar menoleh ke sumber suara. Sontak kedua pria itu menunduk dan maju beberapa langkah untuk mencium punggung telapak tangan pria paruh baya yang kini berdiri di depannya. Selayaknya seorang santri, Amar dan Khalid sedikit membungkuk dan menundukkan pandangan. Walaupun ia sendiri adalah putra dari pengasuh pondok pesantren tersebut.
"Wonten nopo Abah?" Pria paruh baya yang dikawal beberapa santrinya terlihat mengusap puncak kepala Amar.
"Melu Abah ning ndalem." Amar mendongak, tak lama kemudian pria itu mengangguk pelan.
Dengan menggandeng telapak tangan sang abah, Amar berjalan menuju ndalem kyai. Entah apa yang ingin dikatakan oleh abahnya. Namun, tak biasanya sang abah menghampiri Amar. Terkadang jika ada yang ingin dibicarakan, abah selalu menyuruh santri yang selalu mengawalnya untuk memanggilkan putra bontotnya itu. Ya, sang abah kini sudah tak cukup kuat lagi untuk berjalan. Usianya yang semakin bertambah membuatnya sering bepergian dengan didorong menggunakan kursi roda. Namun, semua itu tak menghentikan beliau untuk menyebarkan agama Islam kepada ribuan santri yang beliau asuh.
Dari dalam rumah, terlihat beberapa orang yang telah duduk menanti kedatangan abah dan juga Amar. Umma Maryam menyambut hangat sang suami, begitu juga dengan Amar. Tak jauh dari abahnya duduk, terlihat saudara tertuanya yang bernama Idrus juga hadir dalam pertemuan itu. Ah, mungkin lebih tepatnya jamuan malam karena di tengah-tengah terdapat banyak makanan dan kue.
"Mas, sebenarnya ini ada apa sih?" Samar-samar Amar berbisik kepada Gus Idrus. Namun, saudara laki-lakinya itu hanya mengulum senyum tanpa menjawab pertanyaannya.
Atensi Amar teralihkan ketika suara sang abah yang mencairkan suasana tegang kala itu. Tunggu, gadis dengan kerudung hitam itu ... siapa?
"Sebelumnya mohon maaf jika saya membuat kalian menunggu terlalu lama." Pasangan suami istri yang duduk tak jauh dari Abah Abdurrahman terlihat tersenyum sembari menganggukkan kepala.
"Njih Kyai, mboten nopo-nopo." Amar menatap Mas Idrus, berharap bahwa saudaranya itu akan menjelaskan apa yang terjadi kepadanya. Namun, nihil.
"Bagaimana, apakah perjodohan ini bisa dilanjutkan?" Amar membulatkan mata dengan sempurna. Pria itu mendongak disaat kata perjodohan terucapkan. Apakah ia tak salah dengar? Dijodohkan? Jadi gadis itu adalah calon istrinya? Dan pasangan suami istri itu adalah calon mertuanya?
" Tentu, Kyai. Kami sangat senang sekali dan merasa terhormat jika bisa besanan dengan njenengan." Pria paruh baya dari seberang itu menjawab dengan tegas dan sekali tarikan napas.
Ya Rabb, apa lagi ini? Belum selesai rasa penasarannya terhadap gadis yang ia temui di pinggir jalan tadi, kini gadis lain akan mengisi lembar kisah dalam hidupnya?
"Ah, tentu. Lebih cepat lebih baik, bukannya seperti itu?" Semua tertawa bahagia, kecuali Amar. Pria itu hanya menanggapinya dengan senyuman kecut. Sungguh, ia belum siap untuk menerima perjodohan ini. Namun bagaimana caranya mengatakan kepada abah dan ummanya jika ia belum siap? Pastinya, Amar tak mau membuat kedua orang tuanya sedih atas jawabannya. Ah, sudahlah. Ia sangat bingung. Amar tak percaya akan terjebak dalam masalah yang cukup rumit ini baginya.
"Namun, sebelumnya saya serahkan semua kepada putra saya. Kami selaku orang tua hanya bisa memberikan yang terbaik untuk Amar dan Fathia." Gadis itu terlihat sedikit tersenyum. Not bad, gadis itu memiliki paras yang cantik. Pipinya sedikit kemerahan, buku mata lentik ditambah dengan lesung pipi di sebelah kiri.
"Le, bagaimana ... kamu mau 'kan, Nak?" Telapak tangan selembut sutera itu menggenggam erat telapak tangan Amar. Cukup lama atensi mereka beradu pandang. Saat memandang manik indah milik ummanya, rasanya Amar tak kuasa. Ia ingin menolak. Namun, rahim kehidupannya itu membuatnya tak berdaya. Alhasil, Amar menundukkan kepala seraya mengangguk-angguk pelan.
Semua orang yang berada di ruangan sepetak itu merapal hamdalah, terpancar kebahagiaan dari raut wajah setiap orang. Bagi Amar, tak ada yang lebih berarti dibandingkan dengan senyum simpul kedua orang tuanya. Walau ia tahu, sulit bagi dirinya untuk meyakinkan diri bahwa semua ini adalah garis takdir yang Allah berikan untuknya.
***
Setelah acara selesai, Amar memutuskan naik ke atas dan mengunci diri dalam kamar. Sinar rembulan menerobos masuk ke dalam kamarnya lewat celah jendela yang sedikit ia buka. Terlihat beberapa bintang yang tak segan mengedip padanya. Begitu pula dengan suara jangkrik dan katak, menjadi teman dikala sang dewi malam tiba. Buliran tasbih melekat pada sela antara jemarinya. Bibirnya dibasahi dengan zikir.
Zikir adalah obat dikala hati dilanda resah dan gundah. Ia membaca beberapa kalimat tahmid, tahlil, dan tasbih. Dengan berzikir mengajarkan kita arti bersyukur dan sabar. Zikir juga dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
"Amar." Pria itu tersentak. Matanya buram karena cairan bening menggenang di pelupuk matanya. Amar mengelas jejak air mata yang entah sejak kapan datangnya.
Tak ingin membuat orang di luar menunggu terlalu lama, Amar memutar gagang pintu itu dan betapa terkejutnya ia saat mengetahui bahwa sesosok yang mengetuk pintu kamarnya adalah Abah Abdurrahman.
"Abah." Tangan itu mengamit dengan cepat lengan Abah Abdurrahman dan menuntunnya untuk masuk ke kamarnya. Amar duduk menyilakan kaki di bawah seraya memijit pelan kaki sang abah.
"Jangan terlalu dipikir. In syaa Allah ini adalah yang terbaik buat kamu, Nak." Amar mendongak tatkala mendengar kalimat itu. Tunggu. Apakah abahnya tahu jika ia tengah bersedih?
Tak lama, telapak tangan itu mengusap puncak kepala Amar. "Jalani saja dulu, abah tidak memaksa kamu untuk menerima perjodohan ini. Namun, abah hanya ingin memberitahu jika Fathia akan tinggal di pondok pesantren ini dalam beberapa bulan. Ia datang ke sini semata-mata untuk menjadi seorang santri, bukan berstatus sebagai calon istri Gus Amar."
Abah Abdurrahman terkekeh pelan seraya mengacak-acak rambut Amar. Ya, Abah Abdurrahman memberikan kasih sayang lebih kepada Amar karena putra bontotnya itu mengidap jantung bocor sedari kecil. Beliau khawatir tak ada perempuan yang mau menikah dengannya karena penyakit itu. Oleh karena itu, selagi mereka bisa segala upaya Abah Abdurrahman dan Umma Maryam lakukan demi kebahagiaan sang putra. Walau nyawa sekaligus taruhannya.
Bersambung....
Pasuruan, 23 Januari 2023
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments