Garis Takdir

..."Dunia ini ibarat bayangan. Kalau kau berusaha menangkapnya, ia akan lari, tapi kalau kau membelakanginya, ia tak punya pilihan selain mengikutimu."...

..._Ibnu Wayyim Al Jauziyyah. ...

Terik. Kemilau emas nampak melaju mendampingi gumpalan kapas yang memutih di atas sana. Cahaya sang surya menyilaukan mata siapa saja yang menatap keindahannya. Dedaunan kering terombang-ambing terbawa angin lalu. Suasana pondok kala itu masih sama seperti biasanya, terlihat para santri yang lalu lalang dengan mendekap kitab di tangannya.

Hawa panas tak menyurutkan semangat mereka dalam menuntut ilmu agama. Siang itu, Amar dan Gus Idrus tengah berada di ruangan tempat abahnya beristirahat. Terlihat keakraban kedua pria tampan itu tatkala mereka saling berebut untuk memijat kaki Abah Abdurrahman. Sungguh, kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Namun ....

"Amar, kamu sakit?" Menyadari wajah Amar yang pucat, sontak Gus Idrus melayangkan pertanyaan yang membuat abahnya mengalihkan atensi kepada Amar.

Sikap Amar berubah gelisah dan gugup saat Gus Idrus bertanya tentang kondisinya. Ia tak menanggapi pertanyaan sang kakak, pria itu hanya menggelengkan kepala seraya menundukkan pandangan dan terus memijat kaki abahnya. Ah, itu hanya alibi Amar saja supaya ia lolos dari tatapan intimidasi Gus Idrus. Ya, lebih tepatnya ia ingin menyembunyikan kondisi tubuhnya yang beberapa terakhir ini menurun drastis.

Abah Abdurrahman bangkit dari tidurnya dan duduk menatap Amar. Telapak tangan yang keriput itu memegang wajah lugu Amar, membawanya untuk saling beradu pandang.

Wajahnya pucat pasi, bawah matanya berwarna cokelat legam seperti orang yang terlalu banyak begadang. Telapak tangannya berkeringat, begitu pula dengan napasnya yang berat. Ekspresi Abah Abdurrahman berubah, oh Allah apakah kondisi putra kesayangannya ini kembali memburuk? Sejak kapan?

"Sejak kapan kamu kembali merasakan sakit itu, Nak?" Suara itu terdengar serak, tercekat di tenggorokan. Abah Abdurrahman tak kuasa menahan derai air mata. Entah apa yang membuat beliau bersedih. Apakah karena kondisi Amar?

"Amar." Beliau mengguncangkan badan Amar pelan. Tak lama, isak pilu kembali terdengar. Pria itu tergugu dalam dekapan sang abah. Amar meremas erat dadanya, di atas bahu sang abah, pria itu mencoba agar isak pilu tidak sampai terdengar oleh beliau. Ya, Amar berhamburan ke dalam pelukan hangat abahnya.

"Abah, apakah Fathia mau menikahi Amar dengan segala kekurangan yang Amar miliki? Siapkah ia mengurus Amar jika suatu saat penyakit ini kambuh?" Dalam dekapan itu, Abah Abdurrahman dan Amar saling melepas sedih satu sama lain. Pertanyaan itu selalu menghantui Amar. Rasa takut itu selalu bersemayam dalam benak Amar. Ya Rabb, apakah dengan Engkau berikan penyakit ini pada Amar termasuk penggugur atas dosa-dosanya?

"Adakah orang yang baik dan setulus Abah, Umma dalam merawat Amar?" Pria paruh baya itu mencium kening putranya. Gus Idrus memalingkan muka dengan membungkam mulutnya agar tangis itu tidak terdengar oleh Amar dan abahnya.

"Jodoh tidak akan tertukar, Nak. Jika Fathia ditakdirkan untuk kamu. Seburuk-buruknya kekuranganmu, Fathia akan menerima Amar dengan tangan terbuka." Keadaan Amar semakin melemah, lama kelamaan isak tangis itu tak kembali terdengar oleh abahnya. Amar merasakan kepalanya yang pusing dan pandangannya semakin buram. Telapak tangan Amar yang memeluk erat abahnya perlahan terlepas, dekapan itu semakin lama semakin ringan. Hingga akhirnya, Amar tak sadarkan diri dengan cairan kental berwarna merah yang keluar dari kedua lubang hidungnya.

Abah Abdurrahman mengguncang-guncangkan badan Amar dengan pelan, berharap putranya akan segera sadar. Namanya berulang kali disebutkan. Namun, Amar tak kunjung membuka mata. Panik. Pria paruh baya itu berteriak yang membuat Ummu Maryam berlari menuju kamar. Sedangkan Gus Idrus berusaha menyadarkan adiknya.

Tangis itu kembali pecah disaat Ummu Maryam tiba di dalam kamar. Ia melihat dengan kedua matanya sendiri keadaan putra bungsunya yang tak sadarkan diri dengan cairan bening masih menetes dari pelupuk mata sebelah kiri.

Abah Abdurrahman mendekap erat tubuh Amar, tanpa menunggu waktu lama Gus Idrus menggendong adiknya menuju mobil yang telah ia siapkan beberapa menit lalu.

Bertahanlah Amar, saya akan melakukan apa saja asalkan kamu sembuh.

***

Derap langkah terdengar ganjil. Tapak kaki beradu saling menyerang lantai. Terdengar pula suara kursi roda yang melaju membelah keramaian pada ruangan putih dengan bau khas obat-obatan. Kini, mereka telah sampai di sebuah gedung tua yang tak pernah sepi dari orang. Terlihat orang-orang yang lalu lalang bergiliran saling membuka dan menutup pintu bertuliskan instalasi gawat darurat.

Raut wajah panik terpatri dari Abah Abdurrahman dan Umma Maryam. Kedua tangan saling bertaut dengan bibir yang tak hentinya merapalkan doa untuk sang buah hati. Tasbih yang melingkar tidak berhenti bergulir digerakkan oleh sang empu seraya berzikir. Sedangkan Gus Idrus mondar-mandir seraya menunggu pria paruh baya dengan jas putih keluar dari ruangan. Ya Rabb, hanya satu pinta mereka, yakni kesembuhan Amar.

"Idrus." Pria itu menghampiri sang ibunda dan memeluknya. Berharap rahim kehidupannya itu sedikit tenang. Bagaimana bisa jika ini menyangkut nyawa dari salah satu putranya? Putra yang digadang-gadang akan meneruskan jejak abahnya dalam mengasuh pondok pesantren.

"Bi idznillah, Umma. Bismillah, serahkan semuanya kepada Allah." Gus Idrus mengelus punggung ummanya. Pria itu berusaha terlihat tegar, sebisa mungkin cairan bening itu tak jatuh membanjiri wajahnya.

"Bagaimana jika adikmu--" Dengan cepat Gus Idrus menggelengkan kepala. Ya, cairan itu luruh bersamaan dengan hatinya yang seperti disayat-saya ribuan silet. Hancur. Adik yang menjadi sumber kebahagiaan untuknya kini terbaring lemah dengan beberapa selang yang melekat di tubuhnya. Tidak, ia tak boleh lemah. Siapa yang akan menguatkan kedua orang tuanya jika ia sendiri lemah seperti ini?

"Umma tidak boleh berbicara seperti itu. Husnudzon ya, Umma. Bismillah, Adik akan baik-baik saja."Pria itu melerai pelukannya dari Umma Maryam. Gus Idrus menggenggam erat telapak tangan sang ibu, lalu mengelusnya dengan pelan.

Sementara beberapa meter di depan sana, sosok lain tengah berdiri seraya menundukkan kepala, salah satunya adalah Khalid. Mereka terdiam, membiarkan untuk orang itu saling menenangkan satu sama lain. Bukan ia tak peduli, terutama Khalid. Ia sangat peduli pada sahabat karibnya. Bahkan, mereka sudah menganggap Khalid seperti keluarga sendiri. Namun, ada saatnya di mana ia harus diam dan ada saatnya di mana ia harus bertindak.

Tak berselang lama, keluar pria paruh baya dengan memakai jas berwarna putih yang diikuti beberapa suster di belakangnya.

"Keluarga dari saudara Amar?" Suara dokter itu terdengar memecah keheningan. Sontak, semua mendongak, terutama Abah Abdurrahman.

"Iya benar, Dok. Bagaimana kondisi putra saya? Apakah baik-baik saja?" tanya wanita itu sesaat mendekat ke arah petugas medis.

"Alhamdulillah kondisi pasien berangsur-angsur membaik. Pasien hanya sedikit stres saja, hal itulah yang membuat kondisinya memburuk." Semua orang merapalkan hamdalah. Setidaknya, rasa cemas itu telah sedikit berkurang dari sebelumnya.

"Namun ...." Kalimat itu menggantung membuat semua orang menatap dengan raut wajah penasaran.

"Kenapa, Dok?"

"Pasien tidak bisa terus-menerus hidup dengan keadaan jantung yang tak sempurna. Jantung saudara Amar semakin hari semakin memburuk, hal itu yang dapat membahayakan nyawanya jika tidak ditangani lebih lanjut." Wanita itu kembali menangis ke dalam pelukan putra sulungnya. Seperti tak siap untuk kehilangan permata berharga dalam hidupnya.

" Astagfirullahalazim. Adakah cara agar adik saya bisa hidup selayaknya manusia normal biasanya?" Dokter itu mengangguk dengan menyimpan stetoskop miliknya ke dalam saku jas putih.

"Ada, caranya dengan transplantasi jantung."

"Lakukan apa saja yang penting putra saya sembuh dan kembali seperti sedia kala, Dok. Jika perlu ... ambil jantung saya." Pria paruh baya itu memecahkan suasana. Ucapannya penuh harap dengan menangkupkan telapak tangan di depan dadanya. Sontak, seluruh mata tertuju pada Abah Abdurrahman yang duduk tak berdaya di atas kursi roda.

"Saya mohon, Dok. Saya mohon." Kalimat itu yang diulang beberapa kali. Tak tega melihat itu semua, Khalid berjalan menuju arah Abah Abdurrahman dan memeluk beliau dari arah belakang. Dalam dekapan erat itu, memori tentang Amar kembali diputar. Kenangan yang selama ini ia jalani bersama-sama membuatnya tak kuasa menahan tangis. Ah, dapat dari manakah Khalid keberanian itu? Namun, sudahlah.

***

Di dalam ruangan yang dipenuhi dengan selang dan alat-alat medis, lantunan ayat suci Al-Quran kembali terdengar. Lembar demi selembar Abah Abdurrahman bacakan yang beliau peruntukkan demi kesembuhan sang putra. Tangan yang telah dimakan usia itu tak hentinya menggenggam erat telapak tangan Amar.

Aktivitasnya berhenti ketika jemari telunjuk Amar mulai bergerak. Tak lama, kelopak mata Amar mulai terbuka. Dengan lirih, pria itu memanggil-manggil nama ummanya. Terus, berulang-ulang sampai kelopak itu benar-benar terbuka lebar.

"Amar, Nak." Mereka tak dapat mendeskripsikan betapa bahagianya dikala Amar telah siumanan. Walau belum seratus persen sadar. Namun, setidaknya mereka lega mengetahui bahwa Amar baik-baik saja. Benarkah? Akankah ia seterusnya baik-baik saja?

"Cepat panggil dokter!" Titah itu tak bisa ditolak. Gus Idrus bergegas keluar. Sedangkan telapak tangan itu tidak berhenti membelai dahi Amar seraya merapal hamdalah begitu dalam.

Bersambung....

Pasuruan, 23 Januari 2023

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!