Maria
..."Ya Allah, permudahkanlah (urusanku) dan janganlah persulit. Tuhanku, sempurnakanlah urusanku dengan kebaikan."...
Langit nampak mendung. Pada barisannya, langit menjulang tinggi menjadi atap alam semesta. Rintik air tak kunjung berhenti juga, mengguyur kota yang kini tak seramai biasanya. Jalanan pun sepi, hanya sedikit kendaraan yang berlalu lalang. Bahkan, tukang ojek yang biasanya sejak fajar menyongsong mangkal, kini tak terlihat batang hidungnya.
Seorang gadis bermata bulat dengan gaun selutut berjalan dengan dompet yang dijadikan payung untuknya. Semilir angin membuat rambut yang digerai oleh gadis itu terombang-ambing. Namun, hal tersebut tak membuatnya terganggu sedikitpun.
Mobil dengan merk pajero berwarna silver melaju dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi sehingga tak melihat bahwa di depannya ada genangan air.
"Anjing." Gadis itu mengumpat ketika genangan air itu mengenai tubuhnya yang menyebabkan gaun warna merah mudanya basah dan kotor.
Mobil itu berhenti beberapa langkah agak jauh dari gadis itu membatu. Dari dalam mobil, keluar seorang pria tampan yang menggunakan sarung dipadukan dengan jas warna hitam membawa payung di tangan kanannya.
"Astagfirullahalazim, maaf saya tidak tahu kalau di depan tadi ada genangan airnya." Gadis itu menatap pria di hadapannya dengan tatapan intimidasi. Atensinya menelisik penampilan pemuda itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sedangkan pemuda itu memilih untuk menunduk dalam.
"Oke, gue maafin. Kenalin, nama gue Maria." Gadis yang kerap disapa Maria menyodorkan telapak tangan ke arah pemuda itu. Namun, ragu-ragu pemuda itu menangkupkan telapak tangan dan pandangannya tetap menatap tanah. Tak berubah sedikitpun dari beberapa menit yang lalu.
"Saya Amar." Maria menurunkan tangannya, gadis itu merasa bahwa ia telah direndahkan dan tak dihargai karena pria tersebut tidak mau berjabat tangan dengannya.
Maria maju beberapa langkah ke depan sehingga membuat langkah Amar mundur perlahan-lahan. Seluruh badannya gemetar, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Dalam hati, Amar terus merapal istighfar. Ilahi, selamat Amar dari gadis ini. Ia tak mau terjerumus dalam kejamnya godaan setan.
Bagi Raihan, godaan terbesar melampaui godaan setan ialah seorang perempuan. Bahkan dalam Al-Quran pun telah dijelaskan:
إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya tipu daya (godaan) kalian wahai para wanita begitu besar” (QS. Yusuf: 28).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِى فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalanku fitnah (cobaan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki, yaitu (fitnah) wanita” (HR. Bukhari dan Muslim).
"Gue perempuan baik-baik." Ujung kalimatnya sedikit ditekan.
"Lo ... muslim?" Kalimatnya menggantung. Allah, ia merasa seperti kehabisan oksigen. Sesak. Kini ia tak bisa membedakan antara keringat dengan bulir air hujan.
Tanpa berkata-kata, gadis itu berjalan menuju mobil yang terparkir di tepi jalan, tak jauh dari meraka beradu pandang. Amar meremas jemarinya yang saling menaut satu sama lain. Maria membuka pintu mobil, memutuskan masuk dan memilih duduk di bangku depan, tepat di samping Amar menyopir.
Amar memejamkan mata, istighfar tak henti-hentinya ia rapalkan. Hingga lamunan itu sirna kala suara Maria mampu menyadarkan Amar dari kegelisahan ini.
"Heh, ayo. Kamu mau di situ sampai kapan?" bentak Maria membuat Amar terperanjat sedikit terkejut.
Amar mengumpulkan segala keberanian dalam dirinya, menghela napas dan menghembuskannya secara perlahan. Telapak tangan yang awalnya mengepal, kini mulai Amar renggangkan.
"Bismillah." Amar membalikkan badan. Namun, langkahnya terasa sangat berat tidak seperti biasanya. Ilahi, jika ini mimpi maka bangunkan ia dari mimpi buruk ini.
Setelah sekian lama, akhirnya mobil berwarna silver itu berhasil Amar kemudikan. Namun, ada keraguan dan gelisah ketika seorang wanita yang tak pernah ia kenal tiba-tiba masuk ke dalam mobilnya.
Hening. Kala itu hanya terdengar suara hujan yang terus-menerus mengguyur. Kabut tebal perlahan menutup jalanan membuat para pengendara kesulitan dalam melihat jalan sekitar. Dari dalam mobil, tak ada percakapan walau hanya sepatah kata saja. Namun, asma indah Ilahi, yakni asmaul husna menjadi penengah di antara keheningan tersebut.
Gadis itu memilih diam seraya memainkan benda pipih berwarna hitam miliknya. "Bisa diganti gak lagunya?"
Suara tersebut berhasil menyita perhatian Amar. Namun, ia tak memberi sedikitpun tanggapan. Entah itu anggukan kepala, atau hanya sekedar kata 'iya'.
Kesal karena tidak direspon, Maria memutuskan untuk mematikan murottal tersebut. Maria menghela napas berat seraya mengibas-ibaskan telapak tangannya. "Gerah."
"Kok dimatikan?" Maria menatap dalam wajah Amar. Pria itu kembali bungkam.
"Saya tegaskan ya, itu bukan lagu, tapi Asmaul Husna." Atensinya tetap menatap ke arah depan. Pria itu fokus dalam mengemudikan mobilnya. Seperti inikah rasanya berdua dengan seorang gadis yang tidak dikenal?
"Nanti turun di mana?" Setelah sekian lama merangkai kata-kata, akhirnya Amar memberanikan diri untuk bertanya kepada gadis tersebut.
Telunjuk Maria mengarah ke depan, menyentuh kaca depan mobil. "Maju terus, pertigaan belok kanan. Rumah warna putih."
Mobil itu masuk pada gang kecil yang terdapat beberapa rumah dan warung. "Itu rumah kamu?" Amar bertanya seraya menggerakkan kemudi mobilnya.
"Bukan." Amar tidak kunjung bergeming. Pria itu mencoba untuk mencerna perkataan yang diucapkan Maria. Ah, entahlah. Mungkin gadis ini hanya ingin mencairkan suasana dengan membuat gurauan kecil.
"Lantas ... jika bukan di situ, di mana?" Tidak ada tanggapan. Gadis itu melepas sabuk pengaman yang dikenakan. Lalu, badannya dicondongkan ke depan, mendekat ke arah Amar. Namun, pria itu tidak bisa berkutik lagi. Badannya tak bisa bergerak, bingung harus bergerak ke arah mana. Pria itu rasanya ingin berteriak. Namun, sepertinya sia-sia karena tempat ia berhenti sepi akan lalu lalang orang. Ilahi, tak adakah sebuah keajaiban?
Amar mencoba untuk membuka pintu mobil. Namun, nihil. Keringat dingin bercucuran, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, seperti pacuan kuda. Napasnya ngos-ngosan. Jemarinya masih berusaha untuk membuka pintu mobil tersebut.
"Tolong jangan mendekat!" Gadis itu tidak menghiraukan titah Amar. Rambutnya yang ikal ia kibaskan, membuat tanda lahir yang berada di bahu sebelah kanannya terlihat.
"Jangan takut." Suaranya yang begitu lirih membuat daun telinganya bergidik ngeri. Suaranya cukup membuat bulu kuduknya berdiri.
"Nona! Saya dan Anda bukanlah mahram, paham?" Suaranya bergetar, ia tetap berdoa kepada Sang Ilahi agar dilindungi dari gadis yang semobil dengannya. Tiba-tiba ....
"Tepikan mobilnya. Mobilmu ini menghalangi mobil yang lain untuk lewat." Suara ketukan berasal dari jendela mobil Amar membuat suasana yang menegang menjadi cair. Gadis itu memejamkan mata seraya berdecak kesal. Dengan tangan yang terbata-bata, Amar mengambil alih kemudinya dan mencari jalan yang cocok untuk mobilnya menepi.
"Aku turun di sini saja, terima kasih." Gadis itu membuka pintu mobil dan berlalu pergi. Atensi Amar tak kunjung mengerjap. Ia masih tak percaya akan hal yang terjadi beberapa detik lalu.
Kejadian itu sungguh cepat. Allah, siapkah gadis itu? Amar diselimuti beribu pertanyaan akan gadis yang telah menggodanya. Tanpa ia sadari, pertemuan ini adalah awal dari segala rentetan kejadian yang akan menghiasi hidupnya.
Bersambung....
Pasuruan, 23 Januari 2023
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments