Ara merasa ada menepuk-nepuk pipinya. Ia berusaha membuka mata dan mengumpulkan seluruh kesadarannya. Ia menatap sekeliling, dan itu bukanlah kamar kostnya.
"Aku dimana?" lirih Ara yang mulai bangun dari tidurnya saat itu.
Ila menghampiri dengan segelas air putih hangat ditangannya. Lalu Ia duduk disamping Ara sembari membiarkannya minum air yang ia bawa. "Udah bangun? Kamu ada dirumah aku."
Ara seketika tersedak karena ucapan sahabatnya itu. Ia lantas salah tingkah, menatap dan menyusuri setiap ruangan yang ada didepan matanya. Ila yang ada didekatnya mengusap dada ara agar tak batuk lagi dan membuat tenggorokannya perih.
"Kak Brey?" tanya Ila, dan Ara mengangguk padanhya.
Syukurnya saat itu Brey sudah kembali ke kantor untuk semua pekerjaan yang ada. Hingga dirumah itu Ara dapat menghela napas lega terutama dari dasar hatinya.
"Tadi aku kesininya gimana?"
"Ya naik mobil lah, Ra. Masa iya naik motor,"
"Motorku?" tanya Ara pada motor kesayangannya itu. Pasalnya sejak kondisi keluarganya berubah, hanya itu yang ia punya sebagai penyambung jalan menuju kampusnya.
Dulu Ara juga sempat bergaya dengan mobil tercintanya, tapi sudah dijual untuk menutupi semua hutang perusahaan papanya yang bangkrut beberapa tahun lalu. Ia mulai terbiasa hidup sederhana sejak kejadian itu. Makanya Ia amat bersyukur, jika Ila dan She masih mau berteman dengannya hingga saat ini dengan segala kondisi yang ada.
"Aku yang bawa motornya kerumah. Tuh, ada digarasi." tunjuk Ila dengan bibirnya. Dan itu membuat Ara bernapas dengan begitu lega..
Ila meminta Ara istirahat dikamar sejenak. Kamar itu memang khusus untuk tamu hingga Ara tak perlu sungkan disana. Bahkan Ila meminta Ara menganggapnya seperti rumah sendiri dan tak perlu sungkan disana.
"Hah? Gimana?" Tampaknya Ara masih amat cengo dengan segala keadaan yang ada. Bingung, linglung, dan semuanya masih terasa diawang-awang dan begitu sulit menyadarkan dirinya.
"Kan dari dulu begitu kalau lagi main. Anggap saja rumah sendiri. Iya kan?"
"Iya sih. Tapi, sekarang sungkan."
"Sungkan kenapa? Nanti juga akan jadi menantu disini. Uuupsss!"
"Ilaaaaaa! Berhenti ledekin aku!"
"Iya, maaf. Aku keceplosan,"
"Tapi ngga lucu,"
Demi menghindari tangis, Ara mengurung dirinya dibawah selimut. Ia tak bergerak sama sekali bahkan tak membukanya. Ila hanya menggaruki kepalanya yang tak gatal itu, lalu membiarkan ara terus seperti itu hingga ia tenang sendiri nantinya.
Ila keluar, Ia kembali kekamarnya sendiri untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Apalagi dengan segala tugas yang akan ia kerjakan untuk nanti malam. Bahkan Ia berharap, agar Ara menginap dirumah itu malam ini untuk mengerjakan tugas mereka sama-sama.
Tapi sepertinya hanya khayalan semata karena Ara tipe yang sulit menginap disembarang tempat.
*
Hari silih berganti. Ara yang bosan dikamarnya lantas keluar, dan Ia sebenarnya ingin segera pamit pada Ila untuk pulang ke kostnya. Tapi Ia tak tahu, Ila menaruh kuncinya dimana, dan tak enak untuk membangunkannya.
Ara berinisiatif sendiri untuk mencarinya kesana kemari. Ia memperhatikan semua tembok, siapa tahu ada gantungan kunci disana. Namun tak Ia temukan.. Rasanya ara amat frustasi, dan bahkan tak menemukan siapapun disana untuk bertanya.
Kebetulan memang pembantu mereka sedang cuti pulang kampung karena ada acara keluarga. Mereka benar-benar berdua saja saat ini.
Ara masih mengelilingi seluruh ruangan besar itu. Ia melihat semua foto yang terpajang didinding dalam ukuran besar, dan itu merupakan foto keluarga besar Nugraha. Meski masih belia, tapi foto Brey amat tampan disana dan tampak begitu mempesona.
"Iya, dari kecilnya aja udah ganteng." puji Ara yang terus mengaguminya tanpa ia sadari.
"Siapa ganteng?" Seorang gadis mengagetkan dirinya dari atas sana. Ia berjalan dan terus menghampiri ara ditempatnya..
"Itu, lihat foto. Papi masih ganteng aja meski udah tua," kilah Ara.
"Papi apa anaknya," Ila mengedip-ngedipkan mata penuh goda.
"Udah ih... Mana kunci motor aku? Mau pulang aja, kesel." geramnya.
Ila tak menghalangi, Ia membiarkan ara pulang saat ini karena hari memang sudah cukup gelap diluar sana. Hingga ara benar-benar pamit dengan tas yang Ia sandang dibahunya. Ia pergi, meninggalkan Ila yang kembali harus kesepian dirumahnya.
Ara berjalan sendirian menembus jalanan. Hari ini begitu absrd baginya, yang telah lama melupakam masa kecil itu. Ia benar-benar sudah lupa, mungkin karena semua kejadian yang menimpa keluarganya.
Ia kini telah tiba di kostnya. Kamar berukuran tak begitu besar itu terlihat cukup nyaman dan rapi, apalagi Ia tempati sendiri. Hingga Ia dengan bebas bisa menyusun semuanya sedemikian rupa dan benar-benar menyenangkan baginya.
Ia membersihkan diri lalu segera meraih laptop untuk segala tugas yanh menanti. Dengan secangkir coklat panas, ia mulai fokus dengan jari-jari yang menari diatas keyboard laptopnya.
*
"Breyhan, ayo pulang." ajak Sean dengan suara tengilnya. Sementara itu Brey masih fokus dengan laptop yang ada didepan matanya.
"Ada yang belum selesai?" tanya Sean padanya.
"Jangan ganggu," pinta Brey dengan wajah yang amat serius dan tegang. Hal itu membuat sean merasa ada sesuatu dari Brey saat ini, seperti ada sebuah masalah besar yang tengah ia teliti dan ingin ia pecahkan.
Sean langsung duduk dan diam didepan kakaknya itu, menunggu dan membantu sebisanya jika ia memerlukan tenaganya untuk bantuan pemecahan masalah. Ia duduk dengan amat tenang dan terus memperhatikan keseriusan Brey dengan layar laptopnya.
"Brey, ada yang bisa dibantu?" tanya Sean dengan seriusnya.
"Diam, dan duduklah. Nanti akan ku ajak jika ada sesuatu," balas Brey tanpa menatapnya. Semakin membuat Sean yakin jika ada sesuatu yang serius disana.
Sean terus diam dan diam sesuai perintah kakaknya. Ia bahkan sempat mengantuk karena sama sekali tak diajak bicara, tapi Ia berusaha membuka mata untuk terus setia padanya.
"Brey... Seserius itukah?" tanya Sean yang mulai cemas padanya, dan brey hanya menganggukkan kapala. Sean mengagumi betapa fokus brey saat itu tanpa rasa curiga sama sekali. Ia terus menunggu dan menunggu disana dengan segala kesetiaan dan kepatuhan yang ia punya.
" Kau tak pulang?" tanya Brey padanya.
"Nanti kau butuh bantuanku, bagaimana?" jawab sean dengan seriusnya..
"Bantuan? Untuk?"
"Ya, kau bukannya sedang memeriksa dokumen penting?" tanya Sean yang mulai terpancing emosinya. Apalagi, Brey masih memperlihatkan keseriusannya didepan layar sana.
Sean yang penasaran, akhirnya tak sabar lagi padanya. Ia bangun dari kursi dan segera berjalan memutar menghampiri kakaknya disana.
Dan betapa syok Sean saat ini. Bagai hatinya terpecah belah dan terpotek dan berbentuk lagi dibuatnya. Pasalnya Breyhan yang ia tunggu begitu lama itu bukanlah memeriksa dokumen, melainkan tengah memainkan game dilayar laptop itu dengan begitu seriusnya.
"Aku menunggumu hingga ngantuk, kau malah main zombie? Brengsek! Aaarrrrrgghhhh!"
Sean amat sangat marah dibuatnya. Ingin segera menghabisi pria yang ada didepan matanya dan merusak aset ketampanan yang ia miliki. Rasanya ingin ia cabik-cabik hingga tak berbentuk lagi hingga tak ada lagi yang bisa mengenalinya.
"Weeeyy! Ampuuuuun! Mamiiiii!" pekik Brey sejadi-jadinya dengan segala tingkah yang ada.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Marhaban ya Nur17
gw jg ampe ikut serius wkwkw
2023-12-21
1
.
astaga brey sayang, kok bisa bisanya kamu seserius itu😭🤣🤣🤣🙏
2023-07-21
0
Nur Lizza
🤣🤣🤣🤣🤣🤣kshn sean
2023-06-18
1