Bab 5

Sekitar pukul 19.00 WIB, keluarga Bramantyo sedang menikmati makan malam. Jelas ada Bramantyo--ayah Alden dan ibu tirinya--Luna dan juga Willy, saudara tirinya. Willy memang saudara tiri Alden tetapi teman-teman nongkrong mereka sama sekali tidak mengetahui fakta ini dan Willy sendiri tidak mau mengungkapkannya, yang orang tahu mereka adalah musuh bebuyutan sejak awal karena mereka tidak menginginkan pernikahan antara orang tua untuk berlangsung. Mereka masih menyisakan kebencian yang sulit dijelaskan dari keduanya, sehingga keduanya tidak bisa berdamai dengan keadaan.

Dan malam itu, dengan malas Alden menuruni tangga lalu berjalan menuju ruang makan dan duduk dengan tidak sopan di single chair yang ada disana. Ia mengupas jeruk dan memakannya, tanpa mempedulikan kehadiran yang lain di meja makan. Atau mungkin Alden mengira ia sendirian di meja makan.

Bramantyo yang melihat hal itu benar-benar merasa kesal dan marah karena Alden tidak pernah bisa mengubah sikapnya.

Alden melirik Willy dengan enteng, Alden menyadari bahwa Willy memperhatikan gerak-geriknya dengan tatapan penuh kebencian selama ini. Namun Alden sama sekali tidak mau memperhatikan dan memilih cuek.

"Ayah harap kau bisa menjaga sikapmu Alden, kau sudah dewasa! Kau mau jadi apa, hah?! Ayah sangat tidak suka dengan caramu bersikap seolah-olah kau adalah tuan rumah ini! Kau hanya seorang anak dan hanya bisa menghabiskan harta orang tua, tanpa Ayah kau bukan apa-apa, jadi bersikaplah sopan!" cibir Bramantyo sambil meletakkan gelas dari tangannya di atas meja dengan sedikit kasar.

Sedangkan Luna hanya menatap khawatir pada Alden, takut mereka akan bertengkar lagi seperti malam-malam sebelumnya.

Alden terkekeh menanggapi penuturan sang Ayah, ia merasa kalimat yang diucapkan sang ayah tidak membuatnya sakit hati sedikitpun. Karena hal itu sudah biasa baginya.

“Numpang di rumah Ayah tentu tidak masalah 'kan? Aku juga anakmu, takut Ayah lupa by the way! Willy juga mendapat fasilitas yang sama denganku, begitu juga dengan Luna. lebih mendominasi dariku, jadi bisa disimpulkan siapa yang jelas-jelas berkuasa di rumah ini selain aku 'kan?" Jawab Alden acuh tak acuh tapi tetap santai.

"Perhatikan apa yang kau katakan! Jelas mereka lebih mengerti apa itu sopan santun, sementara kau tidak tahu aturan sama sekali! Kau benar-benar tidak tahu bagaimana menghormati orang tuamu sendiri, kau juga tidak bisa menerima saudara barumu! Lalu kenapa Ayah harus memperlakukanmu dengan cara yang sama? Kau perlu belajar untuk kedewasaan diri!" Bramantyo berkata dengan tegas dan lugas.

"Lantas bagaimana bisa Alden menghormati seseorang yang telah membawa malapetaka ke rumah ini?" sindir Allden sambil tersenyum kecut, hingga membuat Bramantyo mulai emosi.

"Tutup mulutmu Alden!" kata Bramantyo melotot marah.

"Itu fakta! Nah, apa gunanya menutupinya. Mereka adalah wujud nyata seorang pengemis! Hidup dan juga hanya ingin memanfaatkan kekayaan Ayah. Jadi, bagian mana yang harus Alden tutupi?" tantang Alden yang sama sekali tidak merasa takut.

"Diam Alden! Jangan sembarangan, apa yang kau katakan itu benar-benar tidak pantas untuk dibicarakan! Kau benar-benar anak yang tidak tahu berterima kasih! Minta maaf sekarang juga pada ibumu dan juga pada Willy!" Bramantyo berteriak marah, sementara Alden masih mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh.

Luna menyayangi Alden sama seperti ia menyayangi Willy—anak kandungnya. Meski hanya sebagai surrogate mother, di benaknya tak ada secuil pun kebencian terhadap Alden yang sepertinya membutuhkan kasih sayang orang tua. Padahal Alden sering membangkang, bahkan memandang rendah dirinya. Namun ia menyadari bahwa Alden pasti memiliki kebaikan yang tersembunyi, Alden mungkin masih belum bisa berpikir dewasa karena baru saja patah hati atas kematian ibu kandungnya akibat tumor, sehingga ia masih belum bisa menerima orang baru karena ayahnya memutuskan untuk menikah cepat.

Mungkin Alden mengira hubungan Luna dengan ayahnya sudah berlangsung sejak ibunya masih ada, sehingga setelah kematiannya proses move on dari papanya berlangsung cepat. Dan mungkin bagi Alden itu canggung dan tidak bisa diterima, hingga membuatnya seperti ini. Padahal fakta yang sebenarnya adalah permasalahan mereka hanyalah kesalahpahaman.

Luna lebih memilih bersabar dengan sosok Alden yang sangat membencinya karena tidak bisa menerima kehadirannya bersama Willy. Semua itu membutuhkan waktu untuk berubah dan Luna selalu senantiasa berusaha untuk tetap berlapang dada.

"Alden, apa kau mendengar Ayah berbicara, hah?!" Bramantyo membentak seolah sudah kehabisan kesabaran karena Alden malah mengabaikan pembicaraannya. Dan Alden hanya menikmati jeruk di tangannya dengan santai seolah tidak ada pembicaraan serius di antara mereka.

"Alden?!" panggil Bramantyo lagi, kali ini lebih lantang sambil membanting sendoknya dengan keras ke arah Alden.

Alden mengangkat kepalanya setelah ia pura-pura menunduk seraya mengupas jeruk.

"Ayah dengar kau juga bertengkar dengan Willy iya 'kan?!" bentak Bramantyo, melotot emosi sambil bangkit dari tempat duduknya.

Luna hanya menggelengkan kepalanya lemah, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain berharap kali ini Alden bisa lebih patuh pada Ayahnya. Sementara Willy tersenyum miring sambil mengepalkan tangannya di bawah meja makan seakan ia juga mulai terpancing emosi, tapi ia berusaha menahan.

"Kalau itu benar, kenapa?!" tantang Alden sambil bangkit dari posisinya.

"Ya, kenapa? Ayah yang seharusnya menanyakan itu!" sentak Bramantyo.

"Karena aku benci mereka!" Alden menunjuk ke arah Luna dan Willy tanpa mengalihkan pandangannya yang masih menatap Bramantyo lekat-lekat.

Luna tampak terluka oleh kata-kata Alden yang semakin hari semakin sangat keterlaluan, sehingga ia tidak bisa menahan air mata yang telah ditahannya. Luna langsung pergi dengan perasaan yang sangat hancur.

"Bangsat!" Willy mengumpat pelan.

"Bagiku, kau bukan apa-apa karena kau hanya pecundang di jalan dan kau hanya benalu di keluargaku! Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah menunjukkan belas kasihan kepada benalu! Dan ibumu hanyalah seorang pelacur dan penggoda!" Alden dengan sinis menatap mata lebar Willy, giginya gemeretak dan rahangnya juga mengeras.

Perkataan Alden saat itu selalu terngiang di telinga Willy, hatinya juga tercabik-cabik seperti perasaan yang telah diremas seenaknya. Sementara rasa benci terpancar dari mata Alden, giginya gemeretak marah dan membekas betapa marahnya ia pada sosok Willy yang selalu pandai mencari simpati Papanya.

Plak!

Tamparan keras terdengar dari rumah megah itu. Bramantyo saking bingungnya dan terlanjur emosi menampar Alden dengan gerakan tangan yang sangat kasar yang sudah dinaikkan untuk menampar pipi anaknya dalam sekali hentakan.

Tangan Bramantyo bergetar hebat setelah ia menampar Alden yang seharusnya tidak ia lakukan, ia panik dan sangat menyesalinya. Meski begitu, Alden tetaplah darah dagingnya, anaknya hanya butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan. Namun, mata Bramantyo menjadi gelap dengan tingkah Alden yang sulit dikendalikan, sehingga ia mengucapkan kalimat yang tidak seharusnya diucapkan.

"Kau hanya anak pembawa sial, kau pemboros uang, kau tidak berarti apa-apa bagiku. Pelajari hidup dan sebaiknya kau keluar dari rumahku! Jangan pernah kembali, rasakan hidup di luar! Agar kau tahu betapa sulitnya dunia ini untukmu! Kau tidak tahu diuntung!" hardik Bramantyo sehingga menembus ulu hati Alden dengan sempurna.

Bagi Alden, tamparan dan juga hukuman itu adalah tindakan yang tidak bisa diterima ataupun dimaafkan, apa yang telah dilakukan ayahnya kepadanya adalah mutlak dan jika dilakukan sekali berarti tamat.

Alden menyentuh pipinya yang terasa sangat perih dan dengan penuh kekecewaan ia pun langsung meninggalkan rumahnya tanpa mengatakan apapun atau membawa apapun. Sementara Willy menunjukkan seringai jahatnya.

____Flashback Off___

"Jadi maksudmu, kau berhasil melumpuhkan gadis itu?" tanya Jefry, seorang raja mafia yang kini duduk di kursinya.

Jefry dan Alden sedang berada di markas dan mereka terlihat berbincang serius di sana. Pembahasan yang tidak jauh dari tugas Alden yang berhasil ia laksanakan dengan begitu sempurna.

Alden mengangguk. "Tentu saja, menurut berita yang baru aku baca dari koran pagi, bahwa seorang pria bernama Dirly tewas dan putrinya buta. Bukankah itu kabar baik?"

Jefry tersenyum miring. "Ya, kau benar, tentu saja itu semua adalah kabar baik. Bagaimana aku bisa sedih dengan tragedi itu? Haha, lucu sekali. Baiklah, kau sangat mudah diandalkan dibandingkan dengan Daud. Aku pernah menugaskan Daud untuk menyelesaikan misi ini untuk membunuh Dirly tapi gagal, dan ternyata kau yang terbaik.” puji Jefry yang membuat Alden bangga.

“Tentu saja, aku tidak ingin mengecewakanmu Tuan,” kata Alden yang membuat Jefry tertawa.

“Hmm, aku bangga padamu.” pujinya lagi.

“Lalu apa tugasku selanjutnya? ?" tanya Alden seolah menantang misi selanjutnya.

Jefry tersenyum miring mendengar pertanyaan Alden barusan yang selalu tahu apa yang diinginkannya. "Membantai anggota Dirly dan merebut kekuasaan mereka." jawabnya dengan seringai jahat yang terpampang.

Alden mengangguk paham. "Dapat dimengerti,"

Dan dalam suasana yang berbeda, Elsa baru saja pulang dari rumah sakit karena kondisinya jauh lebih baik, meskipun fakta bahwa ia harus kehilangan penglihatannya masih tidak dapat diterima olehnya. Apalagi dengan kenyataan bahwa hidupnya benar-benar hancur ketika ia mengetahui bahwa ayahnya telah pergi untuk selamanya.

Elsa diantar oleh anggota kelompok 'Red Tiger' menuju pemakaman. Ia terus menangis, menjerit dan meronta-ronta sambil memegang batu nisan. Ia tidak percaya dengan apa yang telah terjadi pada hidupnya. Hidupnya yang indah, hidupnya yang bahagia yang selalu dipenuhi canda tawa dan keceriaan tiba-tiba harus runtuh dengan begitu menyakitkan. Ia tidak bisa berhenti berpikir bahwa perubahan hidupnya yang berubah 180° membuat hatinya sangat sakit.

“Elsa, tenanglah,” Willy langsung berjongkok dan mengusap bahu Elsa dengan lembut.

"Kenapa aku tidak mati saja bersama Ayahku Will?" Elsa terisak pelan.

"Bersabarlah, aku akan selalu ada untukmu." Ikrar Willy serius, sementara Elsa hanya bisa mengangguk lemah diiringi air mata yang tak henti-hentinya.

Terpopuler

Comments

Atik Marwati

Atik Marwati

Elsa semua ada hikmah nya bersabarlah

2023-02-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!