bagian 3

Aku mengambil langkah pertama dari hukuman yang kudapat, sesekali sepasang mata ini berani menatap beberapa manusia yang berkeliaran di luar kelas. Dan tentu saja tak heran jika kudapati beberapa dari mereka menatap tajam kepadaku, bagaimana tidak jika aku sudah menjadi satu satunya orang yang berlarian di dalam lapangan

Kucoba tak menghiraukan beberapa warna suara yang menyebut namaku, tapi sayang tetap saja seolah kata kata mereka berhasil menembus hati yang memang sudah terlalu lembek.

*kriiingg-kriiinggg-kriiinggggg*

Bel masuk berbunyi, tapi aku baru menyelesaikan dua putaran saja, perut bagian bawahku terasa nyeri jika kupaksakan untuk terburu buru.

" duh pasti diruangan aku akan mendapat masalah baru.."

masih tinggal 3 putaran lagi, aku harus cepat-cepat dan menahan sakit di perut bagian bawah meskipun rasanya sangat nyeri dan bahkan terasa menyengat.

Terlihat keadaan sekitar sudah sepenuhnya senyap, beberapa ruangan kudapati telah menebarkan kertas ujian kepada para pesertanya. Hanya aku saja yang masih belum menerima kertas itu

" bruukkkk"

Kaki kiri ini tersandung sebuah batu yang ntah mengapa ada di tempat ini. Tubuhku terhuyung dan mulai merasa semakin pusing saja menatap langit biru yang terhampar luas.

Tanganku meraba kepala kiri yang rasanya sedikit perih, terlihat cairan merah melekat di tanganku

Samar samar mata ini menangkap semua pemandangan yang berada disekitarku, pemandangan yang bisa terlihat nampak tak asing lagi.

" kamar..? Aku dikamar? Kenapa aku bisa ada dikamarku?"

Segera mungkin aku mengubah posisiku menjadi duduk dan menyadarkan tubuhku pada bantal bantal yang tertumpuk di atas kasur tanpa ranjang.

" dimana citra?"

Seperti suara bapak yang berada di dalam rumah, aneh bagiku karena sekarang adalah waktunya ayah bekerja, kenapa bapak pulang. Apa itu karna aku?

" cari saja dikamarnya, gamungkin dia gaada disana. Diakan selalu saja berada didalam kamarnya yang terkunci rapat seolah olah menyimpan harta benda saja"

Tak ada lagi yang kudengar percakapan antara mereka berdua, beberapa detik kemudian suara pintu kamarku yang di buka mengunci pandanganku kearahnya.

" bapak...."

" kamu gapapa nak? Gapapa pak citra cuma sedikit pusing saja"

" syukurlah kalau begitu"

Bagiku bapak adalah orang terdepan tapi terkadang sejujurnya tak selamanya demikian, karena terkadang bapak akan menjelma seperti sikap ibu padaku

" duh udah ya drama bapak sama anak ini. Mana mas uangnya aku mau pergi ke salon sekarang"

" uang 70 ribu kemarin kemana?"

" halah mas mas! Pelit amat aku ini harus pergi ke salon sekarang, kalo ga aku gabakal tampil maksimal nanti malam"

" kenapa kamu terus saja bekerja di cafe itu, bukannya sudah aku bilang aku yang akan mencari nafkah. Kamu tidak usah!"

" apaan sih kamu mas, uang segitu mana cukup dibawa kewarung aja langsung abis dan apa ya? Kamu melarangku untuk bekerja? Asal kamu tau akutuh gamau juga kerja cape cape banting tulang menuhin semua keinginan aku! Kalo aku nunggu kamu perut aku saja tidak akan merasa cocok dengan nominal uang yang kamu berikan"

Kembali lagi cekcok beradu didepan mataku, suara suara keras terus saja menghantuiku tak henti hentinya saling bersahut sahutan.

Aku tak mau ikut campur mereka lagi, dengan mendengar satu kali lagi tamparan mendarat di pipi ibu hatiku terasa sangat teriris.

" ibuu.. bapak.. Kenapa kalian terus terusan seperti ini, aku merasa takut.."

Aku meringkih memeluk erat kedua lututku dengan mendekapkannga ke kedua dadaku

Mereka yang mulai beralih tempat keluar kamar membuat diriku tak tahan untuk membenci diri ini, akhir akhir ini tak kuat rasanya menahan amarah pada diriku sendiri

Aku beranjak dari tempat tidur meskipun masih terasa sakit di kepalaku, aku mengunci pintu serapat rapatnya berharap kamar ini akan menjagaku dari ketakutan ketakutan yang meraja lela.

" aku tetap bisa mendengar kelanjutan dari pertengkaran mereka, andai saja kamar ini bisa menghalau semua suara dari luar kamar. Pasti aku akan merasa sangat tenang dan bisa merasakan damai dalam malam malam yang gelap"

Kali ini aku hanya bisa menatap cermin, menatap pantulan gambar diri sendiri yang penuh dengan teka teki

" hei cit! Apa kamu tidak bisa melerai pertengkaran mereka"

" apa kau tidak bisa untuk menjadi kuat"

" tidak bisakah kau menahan tangis"

" aghhh dasar kamu memang tidak pernah berguna cit"

Berkali kali pertanyaan pertanyaan ini muncul didalam otakku, mereka berputar putar tanpa henti membuat diri ini semakin membenci diri

suara pecahan beling yang berhamburan memecah lamunanku didepan cermin

Tetes tetes air bening mulai membasahi pipi ini, tak kuat rasanya menahan semuanya sendirian.

" buka pintunya..."

Suara gedoran pintu dengan ditemani suara bapak membuat diri ini langsung cepat cepat beranjak untuk membuka pintu

" iya bapak tunggu sebentar"

Ucapku sambil menghapus air mata yang masih basah

Aku membuka pintu dengan cepat hingga sebuah kalimat menyadarkanku

" apa? Kenapa kamu terus saja mengunci pintu! Apa kamu akan terus hidup sendiri? Apa kamu akan mengubur dirimu sendiri ketika sudah meninggal dunia? Dasar anak ga berguna!"

Bapak? Bapak sudah kembali meneriakiku sesuka hatinya lagi, seperti dulu yang kukenal meskipun sekarang hanya sesekali ia memperlakukanku buruk

" ma maaf pak"

Hanya sebatas percakapan kecil yang kami lakukan, bapak yang masih mengerutkan dahinya pergi keluar rumah.

Tak ada lagi suara yang terdengar di dalam rumah ini, suara ibu saja tak terdengar ditelingaku. Mungkin saja ibu sudah pergi keluar untuk menenangkan diri, setiap kali mereka bertengkar mereka akan pergi keluar rumah meskipun aku tak tau apa yang mereka rasakan setelah bertengkar

Aku kembali menuju tempat tidur mencari cari benda yang kubutuhkan saat ini juga3

" dimana dia? Kenapa tidak ada? Pasti ada disekitar sini"

Aku kembali beranjak dari tempat tidur dan mencari cari sebuah jarum yang lupa ku simpan dimana

" nah ini dia"

Sebuah jarum anti karat sudah berada didalam genggamanku, perlahan aku mengangkat lengan seragam putihku yang menutupi area hidupku yang kusembunyikan

Beberapa barisan bekas sayat kecil dari jarum masih meninggalkan warna hitam

" sudah mengering, pasti dia sudah mengerti bahwa hari ini akan terjadi"

Satu persatu garis mulai tercipta lagi dilengan kiriku, menindih luka lama yang masih berbekas

" awww"

Aku menutup mulutku rapat rapat seperti pintu kamar yang kembali kukunci rapat rapat.

Perih tapi rasanya tak terlalu sakit bagiku karena rasanya aku lebih merasakan perih dihatiku hingga membuat luka yang kugores sendiri menjadi tak berarti apa apa

Sedikit demi sedikit titik titik merah mulai melumuri lenganku

Kubaringkan tubuhku diatas kasur ini menyudahi permainanku untuk sekedar menenangkan fikiranku saja.

" untuk hari ini aku tak mau mengeluh lagi, sudah cukup harus berlari mengelilingi lapangan, sudah cukup tidak mengikuti ujian dan sudah cukup mengutuki diri sendiri karena pertengkaran mereka yang tak selalu tentang aku sebabnya"

Aku menutup kedua kelopak mataku secara perlahan-lahan, menutup hari ini disore hari tanpa memikirkan emosi yang tak terkendali dari kedua orang yang akan emosi melihatku tidur tak tepat pada waktunya

Angin malam membangunkan diri yang sedari terlelap dengan luka yang masih basah

" hoaaiii"

Aku menggeliatkan tubuh ini untuk memuaskan rasa puas setelah tertidur

Jam dinding yang berada tepat didepan pandanganku akhirnya menyadarkanku bahwa ini masih memasuki waktu tengah malam.

Luka yang masih basah terasa sedikit perih ketika lengan ini bergerak. Kudapati pintu rumah terbuka lebar, tapi tak satupun dari bapak atau ibu terdengar berada di dalam rumah. Apa mereka belum pulang?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!